Jernih.co

Proyek Belt and Road Initiative Cina Kian Limbung

Beijing semakin khawatir tentang eksposur utang resminya yang besar ke Afrika dan meningkatnya masalah infrastruktur yang dibangun perusahaan milik negara, seperti konstruksi yang buruk dan mangkrak.

JERNIH– Proyek super raksasa yang digagas Presiden Cina Xi Jinping, Belt and Road Initiative (BRI), menunjukkan gejala macet. Lonceng peringatan mulai berbunyi atas rangkaian transportasi, infrastruktur, dan koridor ekonomi yang meliuk panjang, dari Cina, Asia Tenggara, berputar ke Asia Tengah menuju Eropa, untuk juga merangkul Afrika.

BRI sebenarnya diharapkan menjadi proyek warisan terbesar Xi untuk mematok namanya ada prasasti sejarah negara Tirai Bambu itu. Ini pada awalnya digadang-gadang sebagai Jalur Sutra abad ke-21, berdampingan dengan Jalur Sutra Maritim yang akan berlabuh di Afrika. Kemudian definisi tersebut segera menjadi lebih kabur secara geografis, manakala negara-negara Afrika di seluruh benua, termasuk Afrika Selatan, ikut serta.

BRI yang digagas Xi Jinping memimpkan Jalur Sutra seperti masa lalu yang sangat diperluas

Namun beberapa analis memperingatkan bahwa Cina mulai mundur dari BRI. Kombinasi dari meningkatnya utang oleh para peminjam dana BRI dan ekonomi Cina yang menyusut dan semakin introspektif–diperburuk oleh lockdown COVID-19, memaksa Beijing untuk mengkonsolidasikan dan mengurangi pinjaman baru mereka.

Bulan lalu Financial Times melaporkan pinjaman oleh dua bank pemerintah Cina yang menggerakkan BRI, yakni China Development Bank dan Export-Import Bank of China, telah runtuh dari puncaknya sebesar 75 miliar dolar AS pada 2016, menjadi hanya 4 miliar dolar AS tahun lalu.

Financial Times mengatakan, Cina telah gagal melakukan penilaian risiko yang memadai terhadap negara-negara peminjam dan sekarang mendapati dirinya ‘terperosok dalam negosiasi ulang utang dengan sejumlah negara.’

Seperti yang ditunjukkan media tersebut, kedua bank itu meminjamkan 462 miliar dolar AS antara 2008 dan 2019, kurang sedikit dari 467 miliar dolar AS yang diberikan Bank Dunia, pemberi pinjaman multilateral terbesar di dunia.

Para analis menyalahkan penurunan drastis yang terlihat dalam pinjaman Cina ini tidak hanya karena kebutuhannya untuk mencerna pinjaman yang membengkak, tetapi juga kebijakan ekonomi ‘sirkulasi ganda’, yang baru-baru ini mengalihkan fokus dari ekspor global ke konsumsi domestik.

Hal itu dibarengi tingkat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan yang secara signifikan lebih rendah daripada angka spektakuler dalam beberapa dekade terakhir.

Sementara itu, dalam artikel The Diplomat, Tristan Kenderdine dan Niva Yau berpendapat, Cina tidak terlalu banyak mengurangi pinjaman infrastruktur eksternal secara keseluruhan seiring mereka mengalihkan fokusnya dari pinjaman kepada pemerintah, dan ke pinjaman kepada perusahaan swasta dan perusahaan milik negara.

Yang lain mencatat Beijing semakin khawatir tentang eksposur utang resminya yang besar ke Afrika dan meningkatnya masalah infrastruktur yang dibangun perusahaan milik negara, seperti konstruksi yang buruk dan mangkrak. Karena itu mereka mencoba untuk berbagi beban melalui kemitraan publik-swasta, dan mendesak agar perusahaan-perusahaan milik negara di negara-negara pengikut, ikut mendanai proyek.

Kontraksi besar dalam pinjaman infrastruktur seperti yang disarankan Financial Times akan sangat memperlebar kesenjangan pembiayaan infrastruktur yang dihadapi Asia, Afrika dan Amerika Latin. Ini akan sangat merusak Afrika, di mana pinjaman Cina telah membantu membangun proyek infrastruktur besar seperti jalur kereta api Ethiopia-Djibouti dan Mombasa-Nairobi, sebagaimana catatan Eurasia Review.

Namun, memahami tingkat dan sifat pinjaman luar negeri Cina yang tidak jelas adalah seni yang misterius. Deborah Brautigam, direktur China Africa Research Initiative (CARI) di Johns Hopkins University, yang memahaminya lebih baik dari kebanyakan orang, tidak terlalu pesimis. Dia mengatakan kepada ISS Today dia juga melihat pinjaman Cina ke Afrika melambat selama beberapa tahun terakhir.

“Total komitmen pinjaman Cina-Afrika kami untuk tahun 2018 sekitar 9 miliar dolar AS. Itu merupakan komitmen pinjaman Cina ke Afrika terendah sejak tahun 2011,” ujar Brautigam. CARI memproyeksikan angka itu akan turun lebih jauh, menjadi antara 5 miliar dan 8 miliar. “Kami tidak mengantisipasi penurunan besar dalam pinjaman Cina di Afrika.”

Semua ini tentu saja relatif. Seperti yang dicatat oleh Chris Alden, pakar Cina di London School of Economics, negara-negara di luar enam koridor ekonomi BRI tidak pernah mendapat manfaat dari apapun seperti pinjaman yang diberikan bahkan kepada salah satu dari mereka yang berada di koridor tersebut.

Misalnya, Xi menawarkan 60 miliar dolar AS ke seluruh Afrika pada dua KTT terakhir Forum Kerja Sama Cina-Afrika (2015 dan 2018) versus 80 miliar dolar AS hanya untuk Pakistan.

“Saya tidak tahu apakah mereka menarik diri dari BRI tetapi saya tidak berpikir mereka pernah berada di Afrika pada level yang sama. Itu sebagian besar hanya kasus pemerintah Afrika yang melebih-lebihkan signifikansi mereka dalam gambaran keseluruhan Cina,” kata Brautigam kepada ISS Today.

Namun ia juga mencatat, ekonomi Cina yang melambat menjadi sekitar 4 persen, jauh di bawah ‘garis merah’ 6 persen. Baginya, hal itu mungkin akan memengaruhi pinjaman BRI. Begitu juga dengan kebijakan ‘ekonomi sirkulasi ganda’ yang tampaknya menunjukkan pergeseran Beijing ke arah mengatasi kesenjangan ekonomi antara ekonomi pesisir timur yang sedang berkembang pesat dan ekonomi interior baratnya yang sedang kesulitan.

Setidaknya dalam waktu dekat, Alden mencatat Beijing mungkin akan mempertahankan setidaknya retorika BRI. “Mengingat China masih berbicara tentang ‘ekonomi pasar sosial’ dan ‘non-intervensi’ setelah perubahan kebijakan’,” kata dia.  Kebutuhan Cina untuk terus memperoleh kembali utang dan nilai dari keterlibatan BRI mungkin juga berarti berlanjutnya kebijakan di negara-negara tersebut. [financial times, the diplomat, eurasia review/matamata politik]

Exit mobile version