Site icon Jernih.co

Segregasi Rasial Kembali ke Kampus-kampus di AS

Washington — Pemisahan rasial adalah sejarah buruk AS, tapi beberapa kampus di negeri Paman Sam akan menerapkannya lagi.

Pekan depan, ketika mahasiswa kembali kuliah, orang kulit hitam tidak bisa lagi makan bersama di kantin dengan rekan mereka yang kulit putih, dan sebaliknya.

Adalah The Washington Square News, koran mahasiswa Universitas New York (NYU), yang melaporkan rencana itu baru-baru ini. NYU dilaporkan bersedia membantu menerapkan komunitas perbumahan terbuka untuk siswa kulit hitam, dengan Pengurus Penduduk Kulit hitam di dalamnya.

Komunitas akan berada di beberapa lantai asrama, yang terpisah dengan penghuni kulit putih. Dijadwalkan, segregasi etnis di asrama mahasiswa itu akan berlaku mulai musim gugur 2021.

NYU bukan yang pertama menerapkan segregasi etnis. Mereka hanya mengikuti perkembangan di kampus lain. Di banyak universitas, pemisahan rasial di asrama secara halus disebut rumah afinitas.

Pendukung rumah afinitas mengklaim asrama menciptakan lingkungan nyaman, dan aman bagi siswa minoritas. Mereka mengatakan kehadiran mahasiswa kulit putih membuat minoritas tidak nyaman.

Dalam petisi mendukung asrama terpisah, Black Violets — organisasi kulit hitam — menyatakan terlalu sering di kelas dan dalam kehidupan asrama, siswa kulit hitam menanggung beban harus mendidik rekan-rekan mereka yang kurang informasi tentang rasisme.

Penerapan prinsip segregasi di NYU hanya salah satu contoh penerapan pandangan memecah belah. Sebuah laporan yang diterbitkan National Association of Scholars pada April 2019 menyimpulkan neo-segregation adalah fenomena yang berkembang di kampus-kampus di AS.

Lebih 80 institusi pendidikan tinggi terlibat dalam penyediaan asrama terpisah. Laporan lain menyebutkan fenomena ini berkembang sejak 2015, dengan munculnya permintaan dari puluhan kampus.

Pengurus universitas dengan senang hati mengakomodasi Tentu saja mereka tidak akan menyebut segregasi, dan menyamarkannya dengan kata afinitas. Atau mereka menggunakan frasa perumahan bertema, atau bernarasi tentang ruang aman.

California State University di Los Angeles menggunakan istilah lain, yaitu komunitas belajar kulit hitam baru. Dalam laman layanan kampus, pihak universitas mengatakan komunitas itu sebagai inisiatif yang dirancang untuk masasiswa baru.

Tidak hanya pemisahan asrama, kampus juga membenarkan pemisahan fasilitas makan secara sukarela. Morton Schapiro, presiden Northwestern University, mengklaim bahwa mahasiswa kulit hitam yang makan di kafetaria tidak ingin bergabung dengan kulit putih.

“Kita semua berhak mendapat tempat aman, siswa kulit hitam punya hak menikmati makan siang dengan damai,” kata Schapiro.

Ia juga mengatakan setiap orang harus emlihat memiliki akses ke ruang aman, tempat mereka dilindungi agar tidak dibuat tidak nyaman oleh orang lain.

Minta Disegregasi

Pertanyaannya, siapa yang memulai segregasi ini? Schapiro mengatakan tahun 2015, dan awal 2016, sejumlah mahasiwa Afro-Amerika di beberapa kampus di AS mengajukan tuntutan akan ruang aman terpisah di kampus.

Di Obelin College, misalnya, siswa menuntut ruang di seluruh kampus ditetapkan sebagai ruang aman bagi siswa kulit hitam. PEN America, organisasi nirlaba yang memperjuangkan kebebasan berekspresi, mendukung gagasan ini.

Empat tahun lalu, dalam laporan berjudul And Campus for All: Diversity, Inclusion, and Freedom of Speech at Universiies, PEN mengganti nama praktek segregasi sebagai ruang aman sukarela dan meminta universitas mendirikannya.

Menurut PEN, ruang itu harus dimasuki sukarela oleh siswa yang ingin bergabung dengan kelompok tertentu. Meski segregasi sukarela lebih disukai, pengaruhnya masih merusak perilaku kehidupan publik.

Segregasi memiliki sejarah panjang yang merusak. Martin Luther King, dalam pidato panjangnya tahun 1956, mengatakan; “Segregasi selalu jahat, dan hanya kaum reaksioner yang tersesat mengenakan pakaian tipis emosionalisme irasional yang akan berusaha mempertahankannya. Segregasi tidak dapat dijelaskan secara rasional, dan tidak dapat dibenarkan secara moral.”

Jika saat ini Martin Luther King masih hidup, dia mungkin menangis — atau dipaksa memahami — melihat kenyataan betapa orang kulit hitam yang kini minta disegregasi. Tentu saja dengan nama afinitas.

Exit mobile version