Site icon Jernih.co

Umar bin Abdul Aziz; Bukan Usia Panjang, Tapi Kebaikan yang Lestari [1]

Ilustrasi, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, senang naik keledai daripada kuda

Pemerintah Umar bin Abdul Aziz, kendati tidak berlangsung lama, seperti oasis di gunung pasir yang luas. Pemerintahannya adalah yang paling baik selama 91 tahun kekhalifahan Umayyah. Berjalan singkat, namun telah mengubah pandangan terhadap negara. Pemerintahannya menumbuhkan kembali kekuatan demokratis, walau setelah ia wafat timbul lagi usaha mengembalikan otokrasi di bawah Hisyam.

JERNIH– Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah Umayyah yang masyhur. Kerajaannya membentang dari tepi laut Atlantik sampai ke dataran tinggi di Pamir. Suatu hari, ia duduk di kamar kerjanya mempelajari setumpuk dokumen negara. Cahaya lampu yang suram di kamarnya menambah ketenangan kamar dan khalifah hampir tidak mengetahui kehadiran istrinya, Fatimah, sampai ia menyapanya.

“Yang Mulia! Maukah Anda memberikan waktu untukku sejenak? Saya ingin merundingkan masalah pribadi dengan Anda.”

“Tentu saja,” jawab Khalifah sambil berpaling dari kertas-kertas di atas mejanya. “Tapi, tolong matikan lampu itu, yang milik negara, dan nyalakan lampu Anda sendiri. Aku tidak mau memakai minyak negara untuk pembicaraan pribadi.”

Istri yang patuh itu mengerjakan apa yang dikatakan Khalifah. Fatimah adalah putri Abdul Malik, khalifah Umayyah yang perkasa, dan saudara perempuan dari dua khalifah Umayyah berturut-turut, Walid dan Sulaiman.

Pemerintah Umar bin Abdul Aziz, kendati tidak berlangsung lama, seperti oasis di gunung pasir yang luas. Pemerintahannya adalah yang paling baik selama 91 tahun kekhalifahan Umayyah. Berjalan singkat, namun telah mengubah pandangan terhadap negara. Pemerintahannya menumbuhkan kembali kekuatan demokratis, walau setelah ia wafat timbul lagi usaha mengembalikan otokrasi di bawah Hisyam. Usaha ini mengalami kegagalan yang akhirnya memuncak pada peruntuhan kekhalifahan Umayyah di tangan kaum Abassiyah.

Umar bin Abdul Aziz bergelar al Khalifat as-Saleh (khalifah yang saleh). Ia putra Abdul Aziz, gubernur Mesir. Ibunya, Ummu Aasim, adalah cucu Khalifah Umar. Dilahirkan pada tahun 63 Hijrah (682 Masehi) di Halwan, sebuah kampung di Mesir, Umar mendapat pendidikan di Madinah dari paman ibunya, Abdullah ibn Umar yang termasyhur. Madinah, yang pada waktu itu menjadi pusat ilmu umat di dunia Islam, sangat membantu membentuk gaya hidupnya yang sangat lain dari para khalifah Umayyah lainnya. Ia menetap di Madinah sampai ayahnya meninggal pada tahun 704 Masehi.

Pada tahun itu pula ia dipanggil menghadap pamannya Khalifah Abdul Malik, dan dikawinkan dengan putrinya, Fatimah. Umar diangkat menjadi gubernur Madinah pada tahun 706 Masehi oleh Khalifah Walid.

Tidak seperti gubernur-gubernur otokratis lainnya, ia segera tiba di Madinah membentuk sebuah dewan penasihat, terdiri dari sepuluh ahli hukum kenamaan dan tokoh-tokoh terkemuka di kota suci itu. Dalam menjalankan pemerintahannya, Umar berkonsultasi dengan dewan tersebut. Ia memberi kuasa kepada Dewan untuk mengawasi tindak-tanduk bawahannya. Tindakan ini mendapat sambutan dan dukungan besar penduduk Madinah. Ia berhasil memupus tanda-tanda kehancuran Islam di kota suci itu yang dilakukan Yazid dan Abdul Malik.

Selama dua tahun sebagai gubernur Madinah, ia memperbaiki dan memperbesar Mesjid Nabi, serta memperindah kota suci dengan bangunan-bangunan umum. Ia membangun ratusan terowongan air baru, dan memperbaiki jalan-jalan luar kota yang menuju Madinah. Ia “lunak, tetapi tegas,” kata Ameer Ali,“sangat berhasrat memajukan kesejahteraan rakyatnya. Pemerintahan Umar terbukti sangat menguntungkan lapisan masyarakat.”

Pemerintahannya yang patriotis dan adil menarik banyak kaum pengungsi dari Iran, yang mengeluh ditindas oleh Hajjaj bin Yusuf. Menuru Tabaru, migrasi itu membuat Hajjaj yang lalim marah besar. Ia mendesak Walid mengeluarkan para pengungsi, dan Madinah terpaksa mereka tinggalkan dalam suasana “berkabung umum”.

Terangkatnya dia ke puncak kekuasaan didahului oleh penghargaan khalifah Umayyah terdahulu, Sulaiman ibn Abdul Malik, yang sangat menghormati Umar bin Abdul Aziz. Sulaiman kemudian mengangkat Umar menjadi penggantinya. Ini terjadi menjelang wafatnya Sulaiman, dengan penyerahan jubah kekhalifahannya kepada calon penggantinya itu yang sebenarnya agak segan menerimanya.

Dengan menjauhkan segala yang berbau kemewahan, khalifah yang baru menolak pasukan pengawal berkuda dan menyimpan seluruh peralatan keupacaraan di Baitul Mal. Bagaikan rakyat biasa, ia lebih suka tinggal di sebuah tenda kecil dan menyerahkan istana raja untuk didiami keluarga Sulaiman. Ia memerintahkan agar kuda-kuda di istana dilelang dan uangnya disimpan di Baitul Mal.

Salah seorang anggota keluarga Umar bertanya mengapa ia tampak murung. Khalifah menjawab: “Apakah memang tidak ada yang harus aku cemaskan? Aku telah dipercayakan mengupayakan kesejahteraan bagi kerajaan yang begitu luasnya. Aku gagal menjalankan tugas itu jika aku tidak segera membantu kaumku yang miskin.”

Ia kemudian naik ke mimbar dan berpidato: “Saudara-saudara! Aku telah dibebani tanggung jawab kekhalifahan, tugas yang sebenarnya di luar kemauanku. Anda bebas memilih siapa saja yang Anda inginkan.”

Tapi seluruh hadirin sama berteriak bahwa Umarlah tokoh paling sesuai untuk jabatan tinggi itu. Ia lalu menasihati rakyatnya agar selalu dalam kesalehan dan kebajikan. Ia mengizinkan mereka mencabut pernyataan sumpah setianya bila ia dinilai menyeleweng dari jalan Allah.

Pemerintahannya yang singkat itu dikenal demokratis dan sehat. Ia melakukan perang mempertahankan diri terhadap orang Turki, yang telah membinasakan Azerbaijan dan membunuh ribuan orang Islam tak berdosa. Di bawah pimpinan Ibn Hatik ibn Ali Naan al-Balili, pasukan khalifah memukul mundur tentara penyerang dengan banyak korban di pihak musuh. Khalifah mengizinkan tentaranya berperang melawan orang Khariji, tapi dengan syarat agar kaum wanita, anak-anak, dan tawanan perang harus diselamatkan. Tentara musuh yang kalah tidak boleh dikejar-kejar, dan semua barang rampasan dikembalikan kepada keluarganya. Ia mengganti para administrator Umayyah yang korupsi dan bertindak sewenang-wenang dengan orang-orang yang terampil dan mampu bersikap adil.

Tindakannya pertama begitu memangku jabatan adalah mengembalikan harta yang pernah disita kaum Umayyah kepada para pemiliknya yang berhak: “Usai upacara penguburan Khalifah Sulaiman, putranya bertanya apakah ia ingin istirahat sejenak sebelum menangani masalah harta sitaan. Umar menjawab, “Ya, aku akan langsung menanganinya setelah beristirahat sebentar.”

“Apakah Ayah yakin, Anda akan menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya?” Sang Ayah mencium putranya dan memanjatkan syukur kepada Allah bahwa Dia telah memberinya putra yang berbudi luhur. Umar lalu langsung duduk menangani masalah itu. Yang pertama-tama dilakukannya adalah mengembalikan semua barang bergerak dan tidak bergerak kepada Baitul Mal. Ia bahkan menyerahkan sebentuk cincin yang dihadiahkan kepadanya oleh Walid. Budaknya yang setia, Mahazim, begitu terpesona oleh tindakan langka seorang penguasa itu dan bertanya: “Ya, Tuanku, apa yang telah Anda tinggalkan untuk Anak-anak Anda?”

Jawabannya hanya sepatah kata: “Allah”.

Umar mengembalikan kebun Fidak kepada keturunan Nabi, yang diambil Marwan semasa kekhalifahan Usman. Ia meminta istrinya, Fatimah, mengembalikan perhiasan yang ia terima dari ayahnya, Khalifah Abdul Malik. Istri setia itu dengan ikhlas menuruti kemauan suaminya, dan menyerahkan seluruh perhiasannya kepada Baitul Mal. Setelah suaminya meninggal, adik laki-lakinya, Yazid, yang kemudian menggantikan Umar sebagai khalifah, menawarkan kembali perhiasan yang dulu diserahkan kepada Baitul Mal. Fatima berkata kepada adiknya: “Aku kembalikan perhiasan itu semasa suamiku hidup. Mengapa kini harus kuambil kembali setelah dia meninggal?”

Kembali kepada pemerintah Umar, pengembalian Fidak menimbulkan reaksi rakyat yang beraneka ragam. Orang Khariji yang fanatik, yang pernah memusuhi kekhalifahan, segera berlaku lembut kepada Umar bin Abdul Aziz. Mereka berkata, mustahil bagi mereka menentang seorang khalifah yang bukan manusia, tapi malaikat.

Keluarga Umayyah yang terbiasa hidup mewah atas biaya rakyat, memberontak terhadap tindakan tegas tapi adil yang dijalankan oleh Khalifah. Mereka memprotes keras pengembalian harta yang telah lama mereka kuasai kepada negara.

Pada suatu hari, Khalifah mengundang beberapa tokoh keluarga Umayyah untuk makan malam, tapi sebelumnya ia telah memerintahkan juru masak agar menunda dulu penyiapan makanan. Ketika akhirnya para tamu mulai merintih kelaparan, baru Khalifah berteriak agar juru masak segera menyediakan santapan. Tapi bersamaan dengan itu pula, ia memerintahkan agar sambil menunggu dihidangkan dulu roti panggang. Santapan sederhana ini langsung disantap Umar, yang diikuti para tamunya yang kelaparan.

Beberapa waktu kemudian, juru masak muncul menghidangkan santapan yang sudah siap dimasak, tapi ditolak oleh tamu-tamu itu. Alasannya, mereka sudah kenyang. Pernyataan ini segera ditanggap: Khalifah yang saleh dan arif itu, “Saudara-saudara! Jika Anda bisa memuaskan nafsu makan dengan makanan sederhana, lalu mengapa And: suka sewenang-wenang dan merampas milik orang lain?” Ucapan ini ternyata sangat menggugah, sampai para bangsawan Umayyah itu meneteskan air mata.

Selama ia berkuasa, Umar selalu menjalankan kebijaksanaan penggantian kerugian kepada para korban pemerasan.

Pemerintahannya yang adil dan tidak memihak memang bertentangan dengan keinginan kaum bangsawan Umayyah. Soalnya mereka telah terbiasa dengan berbagai bentuk kebebasan yang tidak bertanggung jawab dan acap tidak dapat mentoleransi setiap hambatan bagi kebebasan mereka yang tak terbatas. Mereka bahkan siap membunuh anggota sesuku yang mereka anggap menyetujui kebijaksanaan Umar.

Seorang budak Khalifah mereka sogok agar meracuni Khalifah. Ketika Khalifah merasakan pengaruh racun, ia memanggil budak itu dan menanyainya. Si budak mer jawab, ia disogok seribu dinar untuk jasa meracuni Khalifah. Uang itu diambil Umar dan disimpan di Baitul Mal. Ketika akhirnya ia membebaskan budak itu, Khalifah memintanya segera menyingkir, jika tidak ada saja orang yang akan membunuhnya. [Bersambung]

Dari “Hundred Great Muslims”, Kh Jamil Ahmad, Ferozsons Ltd, Lahore, Pakistan, 1984

Exit mobile version