Delhi — India butuh sepuluh tahun untuk mengangkat 260 juta rakyatnya, atau 25 persen dari populasi, dari kemiskinan. Kini, akibat pandemi Covid-19, seluruhnya kembali miskin.
Lalitha salah satunya. Wanita pekerja di Mumbai itu meninggalkan harta yang sedikit; beberapa jaket, dua piring, beberapa sendok, dan koran bekas, di rumah temannya saat dia memutuskan kembali ke Andhra Pradesh — kampung halamannya.
Ia tak punya apa pun kecuali uang 7.500 rupee, atau Rp 1.400.000, di rekening bank. Suaminya sama sekali tak punya uang di saku, setelah kehilangan pekerjaan sebagai pekerja konstruksi.
Lalitha nyaris tidak percaya dengan yang dialaminya. “Saat datang ke Mumbai, saya punya 120 ribu rupee, atau Rp 21 juta, di bank,” katanya.
Selama di Mumbai, Lalitha dan suaminya hidup seperti orang kaya. Ia mengirim sebagian penghasilan ke desa, untuk biaya hidup anak-anak yang tinggal bersama orang tuanya. Sebagian lain, dalam jumlah lebih besar, untuk membiayai gaya hidupnya yang metropolis.
Kini Lalitha miskin mendadak, bahkan jauh lebih miskin dibanding saat kali pertama tiba di Mumbai.
Penyebab kemiskinan ada dua; krisis ekonomi dan wabah virus korona. India saat ini mencatat 332 ribu kasus virus korona. Itu angka resmi. Yang tak resmi, menurut para ilmuwan, kemungkinan mencapai 800 ribu.
Bhramar Mukherjee, profesor biostatistik di Universitas Michigan, mengatakan; “Anda tidak dapat melihat puncaknya, karena didorong lebih jauh oleh waktu.”
Mukherjee menghapus proyeksi jangka panjang wabah virus korona karena menyebabkan orang panik.
“Saya berharap bisa lebih positif, tapi akan sangat sulit diterima dalam beberapa bulan ke depan,” kata Mukherjee.
Menurut Mukherjeen, pemerintah India memaksakan penutupan pada tahap relatif ini, saat wabah mulai terdeteksi. Yang terjadi adalah konomi kali pertama dalam empat dekade terkontraksi, yang menyebabkan jutaan orang mendadak kehilangan pekerjaan.
Awal bulan ini PM India Narendra Modi melonggarkan pembatasan, tapi sekitar 200 juta orang terlanjut kembali ke jurang kemiskinan.
Pertanyaannya, apakah masalah yang dihadapi Lalitha dan suaminya disebabkan virus korona?
Sama sekali tidak. Dia melacak kembali awal kesengsaraannya, dan menemukan segalanya berawal dari keputusan pemerintah mendeklarasikan 86 persen dari tender legam mata uang pada November 2016.
Langkah itu dimaksudkan untuk menyingkirkan kekayaan tersembunyi, tapi menyulitkan Lalitha dan suaminya untuk menstabilkan pekerjaan. Sejak itu mereka harus menabung secara teratur untuk bertahn hidup.
Selama 50 hari pertama demonetisasi, 40 persen pekerjaan tak terorganisir hilang, menurut studi Desember 2016.
Centre for Monitoring Indian Economy, lembaga think tank sektor swasta, memperkirakan 122 juta orang kehilangan pekerjaan sejak lockdown 24 Maret.
Bagi Lalitha, situasi ini adalah pembalikan nasib yang kejam. Keluarganya relatif sukses bergerak di sektor pertanian, dengan penghasilan tahunan 90 ribu rupee, atau Rp 17 juta. Ia dan suaminya mengirim 11 ribu rupee, atau Rp 2 juta, per bulan.
Kini, keluarga Lalitha tidak hanya harus kehilangan 11 ribu rupee per bulan, tapi kemungkinan harus menjual asset paling berharganya, yaitu tanah.
Ekonomi pedesaan India sangat buruk, dengan 88 persen ruah tangga mengalami penurunan penghasilan selama lockdown. Paket bantuan ekonomi pemerintah dianggap tidak cukup, dengan ekonom pemenang Nobel Abhijit Banerjee kini menjadi kritikus pemerintah.
Dalam artikel, ditulis bersama oleh sejumlah ekonomi, Banerjee mengkhawatirkan jutaan orang India akan terdorong ke jurang kemiskinan terdalam, dan kelaparan.
Lalitha kini kembali ke desanya, tempat dia harus memulai segalanya dari nol. “Mumbai tempat saya menghasilkan uang, tapi bukan rumah saya,” katanya.