Sehari sebelumnya, tiga pemuda Muslim Kashmir dibunuh pasukan India yang menyebut mereka “militan”. Namun, anggota keluarga almarhum menyatakan para pemuda tersebut warga sipil biasa yang tidak memiliki hubungan dengan kelompok militan mana pun.
JERNIH–Di tengah meningkatnya kekhawatiran atas “pembunuhan di luar proses hukum” dan “pertemuan palsu” di Jammu dan Kashmir yang dikelola India, kepala polisi di wilayah tersebut pada kamis (31/12) mengatakan, selama 2029 total 225 militan tewas di wilayah yang dipersengketakan itu.
“Pasukan pemerintah telah membunuh 225 militan, termasuk semua komandan tertinggi dari beberapa kelompok militan pada tahun 2020,” kata kepala polisi Jammu dan Kashmir, Dilbagh Singh, kepada wartawan, Kamis (31/12).
Kata Singh, selama tahun di mana penutupan karena Covid-19 berjalan paralel dengan tindakan keras militer yang agresif dan penguncian komunikasi yang diberlakukan pada 4 Agustus tahun lalu, 299 militan dan rekan-rekan mereka juga ditangkap. Sementara 16 orang polisi, 44 tentara dan tentara paramiliter juga tewas dalam operasi atau serangan militan.
Pernyataan kepala polisi itu datang sehari setelah tiga pemuda dibunuh pasukan India yang menyebut mereka “militan”. Namun, anggota keluarga almarhum menyatakan bahwa pemuda tersebut adalah warga sipil dan mereka tidak memiliki hubungan dengan kelompok militan mana pun.
“Polisi dengan mudah menyembunyikan situasi hak asasi manusia yang sangat buruk di sini,” kata Ahsan Untoo, ketua Forum Internasional untuk Keadilan Hak Asasi Manusia di Jammu dan Kashmir.
“Tiga sepupu tewas dalam baku tembak di bulan Juli. Kemarin tiga keluarga melakukan protes di luar ruang kendali polisi, mengklaim tiga pemuda yang tewas dalam baku tembak itu meninggalkan rumah untuk mengisi formulir pendaftaran di universitas, ”kata Untoo kepada Anadolu Agency.
Bertentangan dengan pernyataan kepala polisi, sebuah laporan yang diterbitkan pada hari Rabu oleh Forum Hukum untuk Suara Kaum Tertindas Kashmir, mengatakan, setidaknya 65 warga sipil tewas secara ekstra-yudisial. Laporan tersebut secara khusus menyoroti “pembunuhan di luar hukum” terhadap tiga pekerja di Distrik Shopian dalam penembakan Agustus lalu. Kelompok hak asasi juga mengatakan bahwa total 474 orang, termasuk 232 tersangka militan dan 177 tentara India, tewas dari 1 Januari hingga 30 Desember tahun ini.
Beberapa kelompok hak asasi internasional lainnya juga menyuarakan keprihatinan mereka atas pembunuhan di luar hukum terhadap warga sipil di Kashmir.
Pakistan mengutuk keras pembunuhan tiga pemuda Muslim tersebut, dan menuntut penyelidikan internasional untuk semua “pembunuhan di luar hukum” di Kashmir yang dikelola militer India.
Singh juga mengatakan bahwa 635 “pekerja lapangan,” istilah yang digunakan oleh polisi untuk menggambarkan tersangka pendukung militan, ditangkap. Sebanyak 56 dari mereka dipenjara di bawah undang-undang penahanan preventif yang disebut Undang-Undang Keamanan Publik. Undang-undang itu disebut sebagai “hukum tanpa hukum” oleh Amnesty International. Seseorang dapat ditahan hingga enam bulan tanpa pengadilan dan penahanan dapat diulang terus-menerus.
Ribuan warga sipil, pemimpin pro-kebebasan dan pro-India di wilayah tersebut ditahan. Beberapa dari mereka kemudian dibebaskan, setelah pemerintah India membatalkan ketentuan khusus negara bagian Jammu dan Kashmir pada Agustus 2019.
Untoo mengatakan bahwa pemimpin pro-kebebasan Ashraf Sehraie, seorang pria berusia 76 tahun yang sakit-sakitan, telah ditahan berdasarkan hukum. “Meskipun dia hampir tidak bisa keluar dari rumahnya selama beberapa tahun terakhir.”
“Hak asasi manusia dilanggar dengan impunitas, seperti di masa lalu,” kata Untoo, yang telah ditangkap beberapa kali oleh otoritas India karena sikapnya yang kukuh terhadap pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut.
Kashmir, wilayah Himalaya yang dihuni mayoritas Muslim, dikuasai India dan sebagian Pakistan, tetapi diklaim oleh keduanya secara penuh. Sebagian kecil wilayah tersebut juga dikuasai Cina.
Sejak mereka dipecah pada tahun 1947, New Delhi dan Islamabad telah berperang tiga kali–pada tahun 1948, 1965 dan 1971– dua di antaranya memperebutkan Kashmir. Beberapa kelompok Kashmir telah berperang melawan pemerintahan India untuk kemerdekaan, atau untuk penyatuan dengan Pakistan.
Menurut beberapa organisasi hak asasi manusia, ribuan orang telah terbunuh dan disiksa dalam konflik yang berkobar pada tahun 1989. [Anadolu Agency]