Site icon Jernih.co

Muslim Rohingya Sendirian Menghadapi Wabah Covid-19

New Delhi — “Bukan Covid-19 yang akan membunuh kami, tapi kelaparan,” ujar Hafiz Mubashar, pengelola pesantren untuk anak-anak Rohingya di Bathindi, wilayah Jammu, India.

Tujuh hari ke depan, menurut Mubashar, akan menjadi saat paling kritis bagi pengungsi Rohingya di India. Sebagian besar keluarga akan kehabian makanan, dan mereka tidak punya apa-apa.

“Sebagian dari kami sudah kealparan. Lainnya makan satu kali salam sehari, dan mengurangi asupan untuk anak-anak,” lanjut Mubashar.

Situasi di kamp pengungsi Rohingya di wilayah India memburuk setelah PM Narendra Modi memberlakukan penguncian. Din Mohammad, yang tinggal bersama istri dan lima anaknya di Madanpur Khadar, New Delhi, melakukan semua cara untuk memberi makan anaknya.

Ia tidak hanya bertanggung jawab kepada keluarga, tapi juga seluruh pengungsi di sekitarnya. Setiap hari ia berkeliling permukiman, menyambangi rumah-rumah gubuk, untuk memastikan pengungsi tak keluar rumah dan menjaga jarak sosial.

Gubuk terbuat dari kayu dan lembaran plastik, beratap apa saja.

Ia tahu betapa sulit menerpakan jarak sosial di pengungsian yang sempit dan kumuh. Orang hidup berhimpitan di dalam rumah, tanpa fasilitas apa pun, termasuk toilet dan air bersih.

“Kami duduk di atas tong mesiu,” kata Mohammad kepada Al Jazeera. “Tidak lama lagi tong akan meledak.”

Hampir 40 ribu pengungsi Muslim Rohingya tinggal di berbagai kamp pengungsi di sekujur India. Mereka lari dari bencana kemanusiaan, dan kini menghadapi bencana lainnya.

Mereka dibiarkan memerangi pandemi virus korona. Tidak ada bantuan apa pun dari pemerintah India. Satu-satunya harapan mereka adalah bantuan internasional.

Tidak hanya Muslim Rohingya yang menghadapi bencana kelaparan, ratusan juta warga miskin India mengalami hal serupa akibat penguncian. Puluhan ribu pekerja migran meninggalkan kota dengan berjalan kaki, membuat mereka dihadapkan pada tiga pilihan; mati akibat kelelahan, kelaparan, dan terjangkiv Covid-19 tanpa perawatan.

Dunia sedang menyaksikan betapa memerangi Covid-19 tanpa perencanaan adalah membunuh warga sendiri.

Takut Covid-19

Sekitar 100 kilometer selatan New Delhi, hampir 400 keluarga Rohingya tinggal di kamp pengungsi Bangsal 7, Distrik Nuh, negara bagian Haryana.

Di sini, sabun adalah barang mewah, apalagi masker dan sanitizer. Semua khawair takut terjangkit, tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk melindungi diri.

Gubuk-gubuk tanpa jarak, membuat orang tak bisa menerapkan social distancing. Mereka tidak punya kases ke layanan kesehatan.

Jaffar Ullah, seorang guru komputer, tinggal di salah satu gubuk. Pria berusia 29 tahun itu menghabiskan sabun terakhir, Sabtu lalu. Kini dia tidak punya sabun lagi untuk mencuci tangan.

“Hanya beberapa keluarga memiliki sabun. Lainnya tak mampu beli,” kata Ullah kepada Al Jazeera.

Pekerja menyemprotkan disinfektan ke perumahan terdekat, tapi tidak ke kamp pengungsi dan wilayah kumuh. Dalam beberapa hari terakhir ada peningkatan stabil kasus demam di antara para pengungsi.

“Saya tidak tahu apakah akibat Covid-19, atau bukan. Yang pasti orang takut dan takut,” katanya.

Mereka yang sakit tidak pernah pergi ke rumah sakit, karena bagian rawat jalan ditutup. Tidak ada orang yang memeriksa kesehatan pengungsi.

Sebagian besar rumah sakit menghentikan layanan rawat jalan, setelah PM Modi mengumumkan penguncian pada 24 Maret lalu.

Kamis pekan lalu, Inisiatif HAM Rohingya — sebuah organisasi nirlaba berbasis di New Delhi — melakukan survei terhadap 334 orang di kamp Madanpur Khadar. Mereka menemukan 37 orang menderita batuk, pilek, dan demam, seperti terserang Covid-19.

“Ada risiko wabah Covid-19 di daerah kumuh dan kamp pengungsi Rohingya,” kata Sabber Kyaw Min, dari Inisiatif HAM Rohingya.

“Pemerintah India melingungi rakyatnya. UNCR, badan pengungsi PBB, telah menutup mata akan penderitaan kami,” lanjutnya. “Kami benar-benar dibiarkan sendirian memerangi pandemi Covid-19.”

UNHCR di New Delhi membantah tidak menanggapi derita Rohingya. Mereka mengaku memantau situasi dengan seksama, dan berkoordinasi dengan organisasi nirlaba lokal.

“Kami mengatur program kesadaran Covid-19 di daerah kumuh selama beberapa pekan terakhir,” kata Kiri Atri, asisten petugas hubungan eksternal UNHCR.

Ia berjanji akan mendistribusikan perlengkapan kebersihan yang mengandung sabun ke kamp pengungsi Rohingya, juga masker dan lannya.

Tanpa Makanan

Badar Alam, dari kamp pengungsi Nuh, sehari-hari bekerja sebagai kuli bangunan. Setelah penguncian, tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencari nafkah.

Pria usia 31 tahun itu harus menghidupi istri dan tiga anak. Semua belum makan selama sepekan.

Alam hanya diberi dua kilogram beras dan uang tiga rupee. “Apa yang harus saya beri kepa anak-anak saya? Batu?” ujarnya frustrasi.

Hampir 1.200 keluarga Rohingya tinggal di Jammu — wilayah yang disengketakan Pakistan dan India. Mereka bekerja di pabrik kacang kenari.

Setelah penguncian, dan pabrik ditutup, mereka tak mendapat upah harian dan kelaparan. Mereka harus tidur dengan perut kosong.

Exit mobile version