- Tiga raja Belanda, nenek moyang Willem Alexander, yaitu Willem III, Willem IV, dan Willem V, terlibat langsung dalam bisnis budak.
- Namun, mengapa perbudakan di Hindia-Belanda, terutama di era VOC, tidak pernah disebut.
JERNIH — Raja Belanda Willem-Alexander diperkirakan akan membuat permintaan maaf atas nama keluarga Kerajaan Belanda atas perbudakan era kolonial.
Media Belanda melaporkan permintaan maaf akan disampaikan pada perayaan Keti Koti, kata dalam Bahasa Suriname yang artinya Memutus Rantai, Desember 2023. Perayaan akan dihadiri keturunan budak dari Suriname, Kepulauan Karibia Aruba, Bonaire, dan Curacao.
Namun William-Alexander sebenarnya telah berhenti memastikan akan meminta maaf atas perdagangan budak, yang menurut peneliti menjadikan House of Orange — sebutan untuk keluarga Kerajaan Belanda — kaya raya.
“Saya pikir kita harus menunggu sampai 1 Juli,” kata Willem-Alexander kepada wartawan saat berkunjung ke Belgia baru-baru ini, soal Perayaan Keti Koti.
“Saya mengerti orang-orang menginginkan saya melakukannya, tapi saya meminta Anda menunggu,” lanjutnya.
Keti Koti akan digelar di Oosterpark, di Amsterdam. Acara akan dihadiri Ratu Maxima dan PM Belanda Mark Rutte. Keturunan budak meminta raja menggunakan kesempatan ini untuk meminta maaf.
“Itu penting, karena komunitas Afro-Belanda menganggapnya penting,” kata Linda Nooitmeer, ketua Institut Nasional Sejarah dan Peninggalan Perbudakan Belanda, kepada NOS. “Penting untuk memproses sejarah perbudakan.”
Sejak gerakan Black Lives Matter muncul di AS, Belanda terlibat dalam perdebatan sengit tentang masa lalu kolonialisme dan perdagangan budak yang mengubah Kerajaan Belanda menjadi salah satu negara terkaya di dunia.
Pusat perdebatan adalah peran bangsawan Belanda perdagangan budak.
Studi di Belanda, yang dirilis Juni lalu, menemukan keluarga Kerajaan Belanda memperoleh 545 juta euro (Rp 8,9 triliun) — menurut nilai tukar saat ini — antara 1675-1770 dari koloni tempat perbudakan tersebar luas.
Leluhur jauh Willem-Alexander, yaitu Raja Willem III, Willem IV, dan Willem V, terllibat dengan sengaja, struktural dan jangka panjang, dalam perbudakan.
Tahun lalu, Raja Willem-Alexander mengumumkan tidak lagi menggunakan Kereta Emas Kerajaan Belanda pada acara-acara kenegaraan karena berhias gambar perbudakan.
Satu panel samping kereta bertuliskan Tribute of the Colonies, menggambarkan orang kulit hitam berlutut menyerahkan hasil bumi seperti cokelat dan tebu kepada majikan kulit putih.
PM Rutte, Desember 2022, menggambarkan perbudakan sebagai ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ saat menyampaikan permintaan maaf kepada keturunan budak. Jelang Natal 2022, Raja Willem-Alexander, dalam pidatonya, mengatakan permintaan maaf pemerintah Belanda adalah awal dari perjalanan panjang.
Resminya, Belanda menghapus perbudakan di Suriname dan tanah-tanah jajahan pada 1 Juli 1863, tapi praktek itu berlanjut sampai 1873, atau sampai masa transisi sepuluh tahun berakhir.
Kerajaan Belanda mendanai ‘Zaman Keemasan’ kekaisaran dan budaya mereka dengan menjual 600 ribu budak Afrika. Sebagian besar budak dijual ke Amerika Selatan dan Karibia.
Menariknya, Hindia-Belanda tidak pernah disebut sebagai bagian penting dalam perdagangan budak. Padahal, VOC — kongsi dagang Belanda yang meletakan dasar kolonialisme di Nusantara — diperkaya oleh perdagangan budak, bukan rempah-rempah.