CrispyVeritas

Kereta Emas Kerajaan Belanda, Simbol Bisnis Keji Perbudakan di Nusantara

  • Kereta Emas Kerajaan Belanda dibuat dari kayu jati Pulau Jawa.
  • Berhias gading gajah Sumatera, dan dibiayai keuntungan bisnis budak di Hindia-Belanda.
  • Semua itu tertera di interior dan eksterior kereta.

JERNIH — Pekan lalu, Raja Belanda Willem-Alexander mengumumkan berhenti menggunakan De Gouden Koets, atau Kereta Emas Kerajaan, menyusul kritik terhadap gambar budak di dinding kereta.

Gambar di atas mungkin yang paling menjadi sorotan. Ratu Wilhelmina dikelilingi orang-orang dari daerah jajahan. Elite Jawa dan pengiringnya berdiri di kanan. Di bawahnya, seorang budak menghatur sembah.

Di sebelah kanan, budak Afrika bersujud. Para elite-nya berdiri. Seorang keluarga kerajaan memberi buku kepada seorang anak kulit hitam, yang disimbolkan sebagai kami mendidik kalian, atau kami memperkenalkan peradaban.

Bertahun-tahun gambar-gambar itu menimbulkan kritik, tapi baru saat ini menggugah keluarga kerajaan. Namun, Raja Willem Alexander menolak gagasan mendiskualifikasi masa lalu.

Argumennya, tidak ada gunanya melihat masa lalu dengan lensa zaman sekarang. Menghapus simbol-simbol masa lalu juga bukan solusi.

Kereta Emas untuk Wilhelmina

Situs historiek.net, dalam tulisan berjudul Geschiedenis van de Gouden Koets, menulis pada 6 September 1898 penduduk Amsterdam menghadiahkan Kereta Emas kepada Ratu Wilhelmina di hari pelantikannya.

Namun, sang ratu tidak ingin menerima hadian apa pun hari itu, sehingga kereta tidak diterima secara resmi sampai satu hari kemudian. Setelah diterima, kereta digunakan selama bertahun-tahun saat Prinsjesdag — hari ketika raja berpidato di sidang pleno parlemen.

Kereta Emas sering disebut berline, mengacu pada Berlin — ibu kota Jerman saat ini dan tempat sedan kali pertama dirancang tahun 1662. Sedan adalah kata yang digunakan untuk kereta kerajaan dan para bangsawan saat itu.

Spijker merancang kereta ini. Ia juga pembuat sedan Belanda pertama. Kereta terbuat dari kayu jati dari Pulau Jawa, yang dilapisi emas. Tukang kayu, peniup kaca, penyamak kulit, dan pandai besi, terlibat dalam dekorasi yang tak terhitung jumlahnya.

Kulit didatangkan dari Brabant, wilayah yang kini terpercah antara Belgia dan Belanda, Gading diperoleh dengan membunuh gajah Sumatera. Lapisan interior sepenuhnya disulam dengan tangan.

Bagian atas kereta adalah lambang sebelas propinsi saat itu, plus Amsterdam. Khusus yang terakhir, orang harus selalu tahu kota ini adalah sumbangan penduduk Amsterdam.

Seluruh kereta adalah simbol. Roda kereta berwarna emas melambangkan matahari keemasan. Engsel dan kunci pintu gerbong dihias motif anjing dan burung hantu, lambang kesetiaan dan kewaspadaan. Bunga lili air di tangga adalah simbol kehati-hatian.

Lukisan minyak di kereta dibuat Nicolaas van der Waay, seorang profesor di State Academy of Art saat itu. Lukisan bagian depan melambangkan masa depan, sebelah kanan representasi pendidikan rakyat, dan sebelah kiri hukum yang melindungi orang-orang membutuhkan pertolongan; janda, yatim piatu, dan pekerja terluka.

Di era kolonialisme dan perbudakan, semua gambar yang ada di kereta relatif tidak menimbulkan masalah. Saat ini, gambar-gambar itu mengingatkan orang pada periode mengerikan dalam sejarah Belanda.

Kini, 124 tahun sejak dipersembahkan warga Amsterdam, Kereta Emas tidak akan digunakan lagi dan akan menghuni museum.

Ketagihan Bisnis Budak

Belanda bukan satu-satunya negara pebisnis budak pada abad ke-19. Prancis dan Inggris juga melakukannya. Namun, mengapa Belanda harus malu ketika yang lain tidak?

Jawabnya sederhana, Belanda ketagihan bisnis budak. Ketika negara lain menghapus perbudakan, Belanda terus menangguk untung dari bisnis ini sampai setengah abad kemudian.

VOC membangun kejayaan lewat perdagangan budak, dengan hampir semua propinsi di Belanda terlibat di dalamnya. Selain VOC, karyawan-karyawan kongsi dagang itu juga terlibat perdagangan ilegal untuk memperkaya diri.

Semua tindakan itu bukan tanpa sepengetahuan petinggi VOC. Pejabat VOC justru merestui, karena mereka juga terlibat perdagangan budak atau mendapat upeti dari bawahan.

Sebelum menuju kebangkrutan, VOC memonopoli perdagangan buadk di kepulauan Indonesia. Tidak hanya menjual, tapi juga memungut pajak budak yang diperdagangkan orang lain.

Reggie Baay, dalam Over deze Nederlandse slavernijgeschiedenis hebben we het nooit, menulis; “Tanpa melebih-lebihkan kita dapat mengatakan bahwa perdagangan budak dan perbudakan di Timur adalah pilar besar yang tidak diketahui di mana sebagian kerajaan VOC yang saat itu dibangun.

VOC bangkrut tahun 1875, ketika Republik Bataaf — nama Kerajaan Belanda saat itu — memutusan menasionalisasi perusahaan. Namun pengambil-alihan VOC terjadi tiga tahun kemudian, yaitu pada 17 Maret 1798, dan pemerintah Belanda menanggung beban utangnya.

Hak Ooktroj VOC diperpanjang satu tahun lagi, dan pada 31 Desember 1799 raksasa bisnis itu benar-benar lenyap dari Nusantara.

Menariknya, Kerajaan Belanda — yang kemudian menyatukan tanah-tanah VOC ke dalam negara jajahan bernama Hindia-Belanda — meneruskan praktek bisnis VOC. Salah satunya, dan paling menguntungkan, perdagangan budak.

Prancis yang kali pertama menghentikan perdagangan budak, yaitu tahun 1833. Tahun 1848, Inggris mengikuti jejak Prancis dengan menghapus perbudakan dan berhenti berdagang budak.

Jadilah Belanda sendirian berbisnis budak. Situasi ini terjadi sampai terjadi pertengkaran hebat di parlemen Belanda tahun 1859. Akhirnya diputuskan perbudakan di seluruh Hindia-Belanda dihapuskan paling lambat 1 Januari 1860.

Ternyata keputusan ini tidak segera berlaku. Perdagangan budak terus berlanjut, sampai akhirnya muncuk keputusan kedua pada 1 Juli 1863.

Reggie Baay menulis keputusan itu benar-benar mengecewakan pejabat di Belanda dan Hindia Belanda. Sebab, ketika diputuskan 1 Januari 1860, hanya sebagian kecil budak di Nusantara yang ditebus.

Tepanya, uang tebuskan hanya dibayarkan untuk 4.739 orang. Ribuan budak lainnya — terutama yang diperbudak orang Belanda di luar Jawa — tetap menjadi budak. Para budak tidak pernah tahu bahwa mereka sebenarnya tidak layak lagi diperbudak.

Penyebab semua ini, menurut Reegie Baay, adalah ketakutan akan kerusuhan di antara para pangeran dan pemilik tanah lokal. Terlebih, menebus orang yang diperbudak menghabiskan uang dan menurunkan pendapatan. Pemerintah Belanda dituntut hati-hati untuk mengakhiri perbudakan di koloninya.

Pertanyaannya, apakah perbudakan di Hindia Belanda selesai setelah keputusan kedua 1 Juli 1863? Ternyata tidak, sikap hati-hati pemerintah Belanda — atau mungkin enggan keluar dari bisnis budak — membuat perbudakan bertahan sampai dekade pertama abad ke-20, atau 50 tahun sejak diputuskan.

Menurut Reegie Bay, semua ini tidak memiliki tempat dalam memori kolektif orang Belanda, tidak ada dalam sejarah nasional, dan seolah ingin dilupakan. Inilah yang membuat Belanda memiliki hubungan sulit dengan sisi gelap sejarahnya.

Juga bukan hal aneh jika baru saat ini muncul kesadaran akan pentingnya tidak lagi menaiki Kereta Emas Kerajaan Belanda, sebuah kereta yang dibangun dari bisnis keji perbudakan.

Back to top button