Site icon Jernih.co

Studi Tim Pakar Jerman: 12 Juta Penduduk AS Terjangkit Virus Korona

Goettingen — Sebuah studi di Jerman memperkirakan saat ini dua juta penduduk Inggris, dan 12 juta penduduk AS, mengidap virus korona.

Laporan studi yang diterbitkan Der Spiegl, koran paling disegani di Jerman, angka resmi dari seluruh dunia yang terinfeksi saat ini hanya mewakili enam persen dari angka sebenarnya.

Angka resmi saat ini, yang dikeluarkan setiap negara, menyebutkan 582 ribu lebih warga AS dan 89 ribu warga Inggris terjangkit. Secara global, virus korona menjangkiti hampir dua juta orang, dan membunuh 120 ribu.

Baca Juga:
— Sayap Kanan Sebut Muslim Penyebab Pandemi, Umat Islam Inggris Ketakutan
— Di New York, Pasien Sekarat Dibiarkan, Pasien Baru Coba Diselamatkan
— Peneliti AS dan Cina Temukan Virus Korona Mampu Membunuh Sistem Kekebalan Tubuh

Para ahli Universitas Goettingen, yang melakukan studi ini, mengatakan perbedaan standar pengujian yang memotivasi mereka untuk tahu berapa angka sebenarnya korban terjankit virus korona.

Akhir Maret lalu, menurut perhitungan para ahli, Inggris miliki dua juta orang — atau tiga persen dari populasi — terinfeksi. Spanyol jauh lebih tinggi, yaitu enam juta, Italia tiga juta. AS dan Turki masing-masing hampir 12 juta.

Studi juga menghitung tingkat infeksi dan kematian, perbedaan antara waktu infeksi dan angka kematian yang dilaporkan. Harusnya, kata para pakar, ada kesamaan.

Para pakar mengatakan negara mana pun, yang memiliki penyimpangan signifikan dari statistik, mungkin keliru menilai jumlah warga terinfeksi.

Contoh, mengapa angka kematian di Italia mencapai 11,7 persen, sedangkan di Jerman hanya 1,1 persen. Ada perbedaan 10,6. Padahal, patogennya sama.

Itu menunjukan, demikian kesimpulan para pakar, kualitas setiap negara menyimpan catatan berbeda.

Untuk mengetahui berapa tingkat infeksi sebenarnya, tim peneliti mengekstrapolasi data jumlah terinfeksi di Cina daratan, dan membandingkannya dengan penduduk Wuhan yang kembali dengan penerbangan repatriasi.

Para ahli juga mengutip ekspatriat Wuhan, yang menjadi sasaran pengujian ekstensif, yang menyebut sejumlah besar kasus tidak mungkin terdiagnosis. Inilah yang menjadi patokan untuk mencatat angka kematian akibat infeksi virus korona di 40 negara.

Hasil studi menyebutkan waktu rata-rata dari timbulnya gejala sampai kematian sekitar 18 hari. Jika secara konservatif berasumsi bahwa individu diuji empat hari setelah timbul gejala, dan jika setiap negara berhasil melacak sebagian besar infkesi, lalu membagi kumulatif jumlah kematian pada 31 Maret dengan jumlah kumulatif kasus yang dikonfirmasi pada 17 Maret, harusnya menghasilkan tingkat kematian yang sama dengan tingkat infeksi fatal yang dilaporkan.

Di semua negara, jumlah kasus yang dikonfirmasi pada 17 Maret jauh lebih rendah karena jumlah total kematian dilaporkan dua pekan kemudian.

Tingkat deteksi rata-rata enam persen membuat jumlah kasus yang dilaporkan setiap hari menjadi tidak berarti. Untuk memperkirakan jumlah infeksi sebenarnya pada 31 Maret, tim mengasumsikan tingkat deteksi konstan dari waktu ke waktu.

Kesimpulannya, ketika John Hopkins University melaporkan jumlah infeksi kurang satu juta, jumlah sebenarnya adalah puluhan juta.

Banyaknya kasus tak terdeteksi membuat pembatasan perjalanan dan penerapan jarak sosial menjadi satu-satunya cara mengurangi jumlah infeksi baru.

Tanpa langkah seperti itu, virus mungkin tidak terdeteksi untuk jangka waktu lama, dan gelombang baru wabah hanya tinggal tunggu waktu.

Tim juga mencatat pengujian antibodi mungkin akan mengklarifikasi jumlah sebenarnya dalam beberapa bulan mendatang. Laporan juga mengakui terkadang ada standar berbeda dalam mencatat penyebab kematian, yang mempengaruhi statistik.

Sebasian Vollmer, penulis studi ini, mengatakan pemerintah dan pembuat kebijakan perlu berhati-hati menafsirkan angka kasus dan tujuan perencanaan.

“Perbedaan ekstrem dalam jumlah kasus dan kualitas pengujian di berbagai negara berarti bahwa catatan kasus resmi sebagian besar tidak informatif dan tidak bermanfaat,” kata profesor Ekonomi Pembangunan Universitas Goettingen itu.

Dr Christian Bommer, rekan Vollmer, mengatakan peningkatan besar akan kemampuan negara mendeteksi infeksi baru sangat mendesak.

Exit mobile version