Site icon Jernih.co

Taiwan Gunakan Sukses Memerangi Wabah Sebagai Alat Diplomasi, Cina Marah

Taipei — Taiwan menggunakan langkah sukses memerangi wabah Covid-19 sebagai alat diplomasi ke seluruh dunia. Cina marah.

Januari 2020, Taiwan — pulau berpenduduk 23 juta di bawah pemerintahan demokratis — bertindak cepat setelah kabar pertama kemunculan wabah virus korona di Wuhan.

Taiwan menghentikan penerbangan dari dan ke Wuhan, serta kota-kota lainnya di Cina. Setelah itu kapal pesir tidak boleh berlabuh di Taiwan.

Akhir Maret 2020, Taiwan memproduksi masker besar-besaran dengan dua tujuan; memenuhi kebutuhan dalam negeri dan dunia.

Hingga Sabtu 16 Mei 2020 Taiwan mencatat 440 kasus virus korona, dengan tujuh kematian. Sebagai perbandingan, Australia berpendduk 25 juta, kasus tercatat 7.000 dengan 98 kematian.

Taiwan mendokumentasikan semua langkah dan kisah menahan dan memerangi Covid-19, dan menggunakannya sebagai alat diplomasi. AS, Jepang, dan Selandia Baru, mendukung Taiwan bergabung dengan Majelis Kesehatan Dunia (WHA) pekan depan, dalam pertemuan tahunan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Beijing Marah

Cina menganggap Taiwan bagian dari wilayahnya. Selama bertahun-tahun, Cina memblokir diplomasi; politik dan ekonomi, yang dijalankan Taiwan di tingkat global. Beijing juga menolak hubungan diplomatik dengan negara-negara yang mempertahankan hubungan dengan Taiwan.

Taiwan bukan anggota WHO, tapi bergabung dengan WHA sebagai pengamat sejak 2009 sampai 2016 — ketika pulau itu diperintah Kuomintang.

Kuomintang lebih ramah kepada Beijing, kendati memiliki permusuhan historis dengan Kuochangtang — atau pemerintah komunis Cina saat ini.

Ketika Partai Progresif Demokratik (PDP) yang pro-kemerdekaan mulai berkuasa tahun 2016, hubungan dengan Beijing runtuh. Sejak itu Taiwan tidak pernah lagi bergabung dengan WHA.

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen berusaha meraih kembali tempat negaranya di WHA. Kamis lalu ia menulis di Twitter-nya; “Kami adalah tautan integral dalam jaringan kesehatan global.”

Ia melanjutkan; “Dengan lebih banyak akses ke WHO, Taiwan akan dapat menawarkan lebih banyak bantuan dalam perang global melawan Covid-19.”

WHO mengatakan hanya negara-negara anggota yang memutuskan siapa yang menghadiri pertemuan WHA, dan menolak klaim Taiwan tidak terlibat dalam diskusi virus korona. WHO merujuk pada kolaborasinya dengan iluwan dan pejabat kesehatan Taiwan.

Virus korona memberi Taiwan kesempatan langka untuk meningkatkan profil internasionalnya. Beijing menuduh Taiwan mendorong kemerdekaan formal, dan meningkatkan latihan militer di sekitar pulau.

Ada beberapa seruan dari Cina agar Beijing menggunakan kesibukan dunia menangani Pandemi untuk menyerang Taiwan. Beijing tidak bergeming, dan berusaha meredakan emosi nasionalisme.

Demokrasi vs Otoritarianisme

Ketika jumlah infeksi baru di Cina turun dan melonjak di banyak negara, media pemerintah memuji Beijing. Muncul klaim betapa sistem politik otoriter lebih unggul dibanding demokrasi liberal saat menghadapi pandemi.

“Kepemimpinan tegas Partai Komunis Tiongkok adalah alasan penting bagi Cina mengalahkan virus korona,” demikian komentar CCTV.

Namun, Taiwan muncul sebagai bukti bahwa sistem politik demokrasi juga mampu memerangi pandemi virus korona. Menariknya, Taiwan menghindari aksi penguncian ketat seperti di Tiongkok.

Tanggapan cepat dan transparan Taiwan, dengan pejabat medis melakukan briefing harian sejak awal krisis, adalah contoh bagaimana negara demokrasi melawan virus.

Di Barat, Cina menghadapi kritik dari banyak negara dalam hal penanganan awal wabah. Pihak berwenang Cina menghadapi tuduhan membungkam pekerja medis, yang mencoba membunyikan alarm.

Beijing juga dianggap meremehkan tingkat keparahan wabah, menolak asumsi penularan dari dan ke menausia. Taiwan nyaris tanpa kritik dari banyak negara, kecuali Cina.

Beijing berulang kali membantah melakukan kesalahan, kendati walikota Wuhan — kota tempat awal virus korona — mengakui pemerintahnya tidak mengungkapkan informasi wabah tepat waktu.

Cina, melalui media yang dikuasai, berusaha mempertahankan citra melalui utusan diplomatik. Di Twitter, diplomat Cina semakin agresif, yang memunculkan ketegangan dan kritik.

Taiwan Juga Bisa Bantu

Ketika Cina menjalankan diplomasi masker, membantu banyak negara dengan menjual dan menyumbang alat pelindung diri (PPE) serta kebutuhan medis lainnya, muncul pertanyaan apa di balik semua itu.

Maret lalu, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa (UE) Josep Borell memperingatakan tentang komponen geopolitik dari sikap lunak Beijing. Eropa, kata Borell, harus menyadari politik murah hati Beijing.

Kementerian Luar Negeri Cina bulan lalu mengatakan Beijing telah memberi bantuan medis ke 127 negara, empat organisasi internasional, dan mengirim 13 tim ahli ke 11 negara.

Beijing menjalankan diplomasi masker dengan menggebu-gebut, sampai mereka lupa akan kemungkinan publikasi negatif. Belanda, misalnya, menarik 600 ribu masker bantuan Cina karena cacat produksi tidak berfungsi dengan baik.

Spanyol bermasalah dengan test kit produk Cina yang tidak bisa diandalkan. Jelasnya, test kit yang dibawa Beijing memiliki akurasi rendah.

Beijing mendesak semua negara tidak mempolitisasi kualitas pasokan medis dari Cina, setelah insiden itu. Sedangkan Taipei membantu negara-negara terkena wabah dengan slogan; Taiwan Juga Bisa Bantu. Uluran tangan Taiwan diterima dengan lebih baik.

Bulan lalu, Kementerian Luar Negeri Taiwan mengumumkan akan menyumbang 10 juta masker ke AS, Eropa, dan 15 sekutu diplomatiknya; negara-negara kecil di Karibia, Pasifik, dan Afrika.

Ketika masker ‘Made in Taiwan‘ — plus gambar bendera merah, biru, putih — tiba di setiap negara tujuan, ucapan selamat mengalir dari pejabat senior AS dan Eropa.

“Selama masa-masa sulit teman sejati tetap bersatu,” kata Menlu AS Mike Pompeo.

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen secara terbuka berterima kasih kepada Taiwan, dengan mengatakan Eropa menghargai sikap solidaritas.

Beijing Sibuk Mengecam

Ulah Taiwan membuat Beijing sibuk mengecam negara-negara yang mendapat bantuan dan berterima kasih kepada Taipei. Kantor Urusan Taiwan di Beijing, misalnya, mengecam kerjasama AS-Taiwan dalam memerangi Covid-19.

Beijing mengirim nota protes ke Praha, atas kesepakatan Taiwan dan Republik Ceko. Taiwan terus bergerak, dan berusaha menggandeng India dengan menawarkannya menjalin saluran komunikasi reguler Taipei-New Delhi.

Selandia Baru juga menjadi sasaran kemarahan Cina, karena secara terbuka mendukung Taiwan kembali ke WHA. Jepang dan Kanada juga melakukan hal serupa dengan Selandia Baru.

Taiwan tahu semua risiko yang akan dihadapi. Di Cina, imbauan reunifiksi paksa Taiwan ke Cina daratan terus menguat. Tidak diketahui sampai kapan Partai Komunis Cina mampu menahan diri dari tekanan emosi nasionalisme rakyatnya.

Yang pasti, pandemi Covid-19 membuat Selat Taiwan memanas, dan AS bersiaga penuh.

Exit mobile version