Site icon Jernih.co

Buleng, Teater Tutur Khas Betawi

Ilustrasi: Juru pantun Sunda, gambar oleh alm Onong Nugraha

Umumnya cerita Buleng mirip Pantun Sunda dan Pantun Betawi, tapi tanpa iringan kecapi. Bahkan ada perbedaan versi cerita, misalnya dalam Pantun Sunda, Ciung Wanara bertemu ayahnya lewat adu ayam. Sedangkan dalam buleng, Ciung Wanara bertemu ayahnya lewat sayembara. Pada perkembangan selanjutnya, buleng biasa pula membawakan cerita seperti lenong, termasuk cerita-cerita asal Cina seperti Sampek Engtay dan Dewi Kuan Im.

JERNIH– Dongeng atau sastra lisan mulanya disampaikan dengan cara yang sederhana, dari orang-orang tua kepada orang-orang yang lebih muda. Namun dalam perkembangan selanjutnya, sastra lisan hanya bisa disampaikan oleh orang-orang berbakat dan memiliki minat besar.

Sejak itu muncul penutur sastra lisan yang mempunyai status dan peranan khusus dalam kehidupan kebudayaan masyarakat. Selanjutnya para penutur sering melengkapi diri dengan tetabuhan agar cerita lebih hidup dan menarik. Dari sinilah lahir suatu bentuk seni pertunjukan yang sekarang disebut teater tutur.

Sejumlah teater tutur masih hidup sampai sekarang, di antaranya milik masyarakat Betawi. Mungkin ini karena masyarakat Betawi lebih heterogen daripada masyarakat lainnya. Dewasa ini masyarakat Betawi memiliki tiga jenis teater tutur, yakni buleng, gambang rancak, dan sahibul hikayat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998/1999).

Arti kata buleng belum diketahui asal-usulnya. Namun sering didefinisikan cerita lisan yang dibawakan dalam bentuk prosa. Biasanya bahasa yang dipergunakan Melayu Tinggi bercampur Bahasa Sunda. Buleng dibedakan antara dongeng dengan cerita. Dongeng dipergunakan untuk menyebut cerita-cerita kerajaan, yaitu cerita para raja atau bangsawan dan babad. Sedangkan cerita atau cerita roman dipergunakan untuk menyebut cerita-cerita dari kehidupan rakyat, yakni kisah kehidupan sehari-hari di masa lampau ataupun masa kini.

Judul-judul yang sering dibawakan, antara lain “Gagak Karancang”, “Telaga Warna”, “Dalem Bandung”, “Ciung Wanara”, dan “Raden Gondang”. Umumnya cerita mirip Pantun Sunda dan Pantun Betawi, tapi tanpa iringan kecapi. Bahkan ada perbedaan versi cerita, misalnya dalam Pantun Sunda, Ciung Wanara bertemu ayahnya lewat adu ayam. Sedangkan dalam buleng, Ciung Wanara bertemu ayahnya lewat sayembara. Pada perkembangan selanjutnya, buleng biasa pula membawakan cerita seperti lenong, termasuk cerita-cerita asal Cina seperti Sampek Engtay dan Dewi Kuan Im.

Buleng biasanya dibawakan dalam bentuk penceritaan umum, disertai irama dan gaya bercerita yang khas. Ekspresi penuturnya juga disesuaikan dengan gambaran suasana dan karakter tokoh yang diceritakan. Di beberapa tempat, seperti Ciracas, Cijantung, dan Kali Malang, masih terdapat orang-orang yang setia pada buleng. Rata-rata mereka sudah berusia lanjut.

Biasanya mereka mendapat panggilan dari orang yang mempunyai hajatan untuk ikut memeriahkan malam ngangkat, yaitu malam sebelum pesta yang sesungguhnya dilaksanakan. Mereka tidak mendapat imbalan uang. Pada waktu pulang mereka hanya diberi oleh-oleh makanan dan minuman untuk keluarga yang berhajat. [  ]

Ditulis Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya, mantan wartawan “Mutiara”, dalam blog beliau.

Exit mobile version