Dari sejumlah kontributor tulisan, hanya beberapa orang yang dinilai Ajip “bersih”, sementara sumbangan tulisan lain hampir semuanya harus ditulis kembali oleh Ajip. Itu sebabnya, penyusunan ensiklopedi itu molor dari lima tahun menjadi hampir sepuluh tahun.
Oleh : Atep Kurnia
JERNIH– Buku tebal berjilid hitam itu nampak kokoh di antara pustaka sejenisnya di ruang tamu yang disulap menjadi tempat penyimpanan buku. Di atas rak kayu yang pendek, buku hitam itu sering menjadi acuan dalam menulis hal ihwal yang terkait dengan kesundaan.
Saat ini, buku tersebut terbilang langka di pasaran. Bila pun ada yang menjualnya bisa mencapai harga satu juta, atau sekurang-kurangnya lima ratus ribuan. Untung, saya mendapatkannya secara cuma-cuma, sebagai hadiah.
Buku hitam tebal berjilid hitam itu bertajuk “Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi”. Buku itu diterbitkan PT Dunia Pustaka Jaya, di Jakarta, yang bekerja sama dengan The Toyota Foundation dan Yayasan Kebudayaan Rancage pada tahun 2000. Menariknya, konon, buku itu termasuk buku ensiklopedi etnis pertama yang diterbitkan di Indonesia.
Buku yang tebalnya 714 halaman ini memuat 3.500 lema. Dari sekian ribu lema itu, tercakup 497 tokoh Sunda yang terdiri dari seniman 274 orang; ilmuwan 55 orang; 32 orang tokoh militer; ulama 35 orang; aktivis kemasyarakatan 31 orang; politisi 21 orang; dan seterusnya. Lemanya diawali dengan Aam Amilia (pengarang dan wartawan), diakhiri lema Zainal Asikin Kusumah Atmadja (pensiunan hakim agung). Selain tokoh Sunda, buku ini diisi beragam tradisi rakyat, religi, pantun, kesusastraan, peralatan sehari-hari, makanan, pencak silat, permainan anak-anak, sejarah, majalah, koran, dan pelbagai aspek kebudayaan Sunda lainnya.
Pemimpin redaksi sekaligus penggagasnya, Ajip Rosidi. Edi S. Ekadjati sebagai Redaktur Pelaksana. Sementara Dodong Djiwapradja, Embas Suherman, Ayatrohaedi, Abdurrachman, Nano S., Atik Soepandi, dan Komaruddin Sastradipoera menjadi anggota redaksi dan dibantu 40 penulis lainnya.
Bagaimana ide penulisan buku ini bermula dan berkembang? Setelah buku “Hasan Mustapa jeung Karya-karyana” terbit, Ajip mengajukan lagi permintaan grant kepada The Toyota Foundation untuk menyusun ensiklopedi kebudayaan Sunda. Ide tersebut dirundingkan Ajip bersama-sama dengan Edi S. Ekadjati di daerah Kadudampit. Saat itu Ajip menilai bahwa “Sekarang banyak orang Sunda yang tidak mengetahui lagi keseniannya, kebudayaannya, kesusastraannya, sejarahnya, tokoh-tokohnya sehingga perlu ada ensiklopedi yang bisa dijadikan rujukan baik oleh orang Sunda sendiri maupun oleh orang lain yang hendak mengetahui kebudayaan Sunda” (“Hidup Tanpa Ijazah”, 2008).
Dengan kata lain, “Ensiklopedi Sunda” lahir dari keprihatinan akan kurangnya dokumentasi mengenai data seputar kesundaan. Memang, sebelum ensklopedi ini terbit, belum pernah ada buku rujukan yang komprehensif yang disusun secara alfabetis dan berisi aspek-aspek kebudayaan Sunda, yang dapat digunakan oleh orang Sunda sendiri ihwal inventarisasi kekayaan budaya Sunda sekaligus menjadi wahana bagi orang di luar orang Sunda untuk mengenalnya.
Permohonan Ajip untuk mengerjakan proyek ensiklopedi selama lima tahun dikabulkan. The Toyota Foundation menyediakan biaya perjalanan Ajip dari Jepang ke Indonesia, sekali dalam setahun, untuk mengadakan rapat dengan para editor di Bandung. Yayasan ini pun menyediakan ongkos jalan di Indonesia buat para editor dan honorarium buat setiap artikel yang ditulis tapi tidak menyediakan honorarium tetap bagi editor.
Namun, pada praktiknya proses penulisannya berjalan lamban. Karena tidak semua orang yang sudah menyatakan kesediaannya dapat melaksanakan kesediaan itu. Dari pihak yang mengirimkan tulisan tentang bidang yang dikuasainya itu ternyata tidak biasa menulis atau tidak pernah mempelajari bagaimana cara menulis karangan untuk ensiklopedi. Dari sejumlah kontributor tulisan hanya beberapa orang yang dinilai Ajip “bersih”, sementara sumbangan tulisan lain hampir semuanya harus ditulis kembali oleh Ajip. Itu sebabnya, penyusunan ensiklopedi itu molor dari lima tahun menjadi hampir sepuluh tahun.
Sejak tahun 1991, selama hampir sepuluh tahun pulang ke tanah air dua atau tiga kali sehubungan dengan penyusunan “Ensiklopedi Sunda”. Rapat-rapat selalu diadakan di Gedung Merdeka, yaitu di kantor Edi S. Ekadjati yang menjadi Kepala Museum Asia-Afrika. Ajip menilai waktu itu, “Setiap rapat kami menghitung berapa jumlah tulisan tentang entri yang sudah masuk. Jumlahnya selalu lebih rendah daripada target” (2008: 1040).
Pada pertengahan tahun 1995, Ajip berangkat ke Belanda sebelum ke Indonesia, melanjutkan menyusun “Ensiklopedi Sunda”. Ajip menguras buku-buku berbahasa Sunda dan yang bertalian dengan Sunda koleksi perpustakaan KITLV dan UB. Namun kenyataanya, waktu sebulan lebih antara 13 Juli-20 Agustus 1995 itu tak mencukupi bagi Ajip untuk menguras koleksi UB. Ia berhasil memeriksa semua buku Sunda atau tentang Sunda di KITLV dan memfotokopi teks yang dianggapnya penting. Selain itu, Ajip pun memesan mikrofilm berkala berbahasa Sunda sebelum PD II (2008: 1153-1056).
Pada liburan musim panas 1996 Ajip ke Indonesia. Tujuan utamanya untuk rapat redaksi. Ia tiba di Jakarta, 5 Agustus 1996. Keesokan harinya, Ajip ke Perpustakaan Nasional, hendak mengambil dan membayar pesanan mikrofilm “Sipatahoenan” sebelum PD II dan fotokopi beberapa majalah Sunda sebelum perang. (2008: 1086).
Pada rapat 9 Agustus 1996, di Perpustakaan Prof. Dr. Doddy A. Tisnaamidjaja, kepada para anggota redaksi Ajip mengatakan bahwa artikel yang tadinya disanggupi akan ditulis oleh ahli dalam bidangnya tetapi tidak kunjung datang, harus ditulis oleh para anggota redaksi. Ajip menggesa semuanya agar bisa menyelesaikan 500 artikel setahun (target awal 800 artikel setahun). (2008: 1088-89).
Akhirnya pada tahun 2000, “Ensiklopedi Sunda” terbit. Dalam peluncurannya di Aula Perpustakaan Nasional, Ajip meminta Dr. Taufik Abdullah, yang diangkat sebagai konsultan sejak awal, agar mengemukakan pendapatnya mengenai “Ensiklopedi Sunda”.
Sejak diterbitkan hingga sekarang terbentang dua dasawarsa, “Ensiklopedi Sunda” pun agaknya patut diperbarui. Yang menjadi dasarnya, tentu saja, selama dua puluh tahun itu aneka data seputar kebudayaan Sunda sudah bertambah. Misalnya dari data baru hasil penelitian-penelitian dan penemuan-penemuan yang berkaitan dengan kebudayaan Sunda, termasuk aneka data lama yang belum dimasukkan, pembacaan naskah-naskah Sunda kuna, penerbitan buku Sunda yang baru, dan sebagainya. Data yang sudah dimuat pun layak ditinjau kembali, bila ditemukan lagi data baru. [ ]
*Peminat literasi dan budaya Sunda, tinggal di Bandung.