Pengantar :
Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Cerita bersambung di bawah ini mengulas sekelumit masa mudanya. Manakala ia masih seorang Malik.—
Malik ingin menolak usapan-usapan sang ayah di kepalanya. Ia tak butuh itu. Yang ia butuhkan kehadiran sang ayah yang lebih sering di rumah itu. Malik telah kehilangan ibunya akibat perceraian, mengapa pula dengan gampang ayahnya itu melanjutkan kebiasaannya bepergian?
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Episode–8
Bab 5– Tahun-tahun ‘Kematian’
Sampai nyawa terpisah dari badannya, Malik tak akan melupakan tahun itu: 1920. Tahun saat tak hanya usianya menegaskan keharusan untuk lebih mandiri, mencoba lebih bijak di tahun-tahun pergantian ke saat dewasa dari masa kanak-kanak, tapi karena betapa ia sejak tahun itu mengalami masa-masa berat. Seolah apa yang penyair bilang, mulai saat itulah ia menghadapi tahun-tahun kematian, yang untungnya mampu ia lalui meski bekas cederanya tampak di sekujur badan.
Godam itu datang tanpa salam. Suatu saat Andungnya tergopoh datang ke Padang Panjang dari Kampung Tanah Sirah di tepi Danau Mainjau menemui ayahnya, Haji Rasul. Malik melihat Andungnya bertanya dalam nada heran dan mempertanyakan.
”Guru Haji! Guru Haji, mengapa Kau tinggalkan anak-anak? Mengapa Kau ceraikan ibu Si Malik?”
Ya Allah, pantas saja tiga hari lalu ibunya pergi, bilang padanya mau menemui Andung dan melarangnya ikut dengan alasan sekolah dan mengaji. Dua adik terakhirnya saja yang dibawa ibu, anak ketiga dan keempat. Keduanya memang belum bersekolah. Saat itu ibunya menangis, tapi ia hanya dapat ikut bersedih tanpa mengerti apa yang terjadi. Beberapa waktu belakangan ia memang lebih kerap menemukan ibunya tengah menangis, dan hanya tersenyum mengelus-elus kepala Malik bila ditanya mengapa.
Saat itulah baru Malik mengerti mengapa dua pekan lalu ayahnya tiba-tiba jauh lebih penyayang saat memanggil dia dari permainan. Saat Malik mendekat, ayah langsung meraih tangannya, meletakkannya di haribaan sang ayah, kemudian bertanya,”Jika ayah bercerai dengan ibumu, dengan siapakah Engkau akan tinggal? Kau akan ikut siapa?”
Saat itu jangankan menjawab, Malik langsung merasakan hantaman godam di kepala yang membuat segalanya hitam pekat. Tapi sampai hari kedatangan Andung itu ia tak menyangka bahwa saat kegelapan itu telah tiba.
Maka jangankan kemudian Malik bisa bercengkerama dengan Andung yang dirindukannya, ia tak mampu lagi berpikir apa-apa. Diam-diam Malik pergi ke dapur, dari sana berjalan ke kebun kosong, tempat selama ini ia datangi manakala sedang ingin seorang diri.
Menangislah ia di sana, memangis sepuasnya seorang diri. Bahkan jika saat itu datang Chamsinah sekali pun, Malik tetap akan meneruskan tangisnya.
Usai tangisnya habis, barulah ia pulang ke rumah menjelang sore. Andungnya sudah tak ada lagi, pulang ke Tanah Sirah. Makin kelamlah hati Malik. Matanya yang sembab tak bisa sembunyikan. Malik tahu, ibu tirinya yang selama ini tinggal bersama pun tahu ia menangis, begitu pula saudara ayah, kemenakan ayah, juga adik-adik tiri dari dua ibu tirinya.
Sayang saat itu tak ada Pijah, kakaknya dari almarhumah Raihanah binti Haji Zakaria, istri pertama Haji Rasul. Almarhumah Raihanah adalah kakak Shafiah, ibu Malik. Ibu Raihanah meninggal di Mekkah saat berhaji bersama Haji Rasul. Sepeninggal istrinya itu Haji Rasul menikahi adik istrinya, Shafiah. Bila Pijah yang selama ini tinggal bersama Andung ada di dekatnya, tentu ada yang membujuk Malik sebagaimana saat Malik masih bocah.
Tapi kini Pijah tak ada. Semua berdiam diri. Tidak ada yang mencoba membujuknya, berusaha membuatnya gembira. Tak ada! Diam-diam Malik merasa justru orang-orang itu kini bergirang hati dengan perceraian ayah-ibunya.
Itulah sisi adat Minang yang sejak kecil sudah dibenci Malik. Perkawinan berulang-ulang, kawin cerai, yang pada beberapa pihak dianggap kemegahan adat. Padi yang masih akan cukup dimakan setahun, sawah yang luas berundak-undak, ladang yang sejauh mata memandang dibatasi pohon-pohon kelapa, adalah sandaran teguh bagi para penghulu adat atau mamak buat menerima seorang alim atau seorang penghulu jemputan menjadi menantu. Mereka yang dipilih ini tak perlu memikirkan uang belanja atau nafkah bagi istri.
Ada para mamak atau saudara yang akan menjamin hidup perempuan itu dan anak-anaknya. Ia pernah mendengar petuah panjang seorang penghulu adat pada saat sebuah walimah perkawinan digelar. Tentu kalau pun ia ulang tidaklah akan pas hingga ke setiap suku kata sebagaimana ia dengar. Tetapi kira-kira begini:
“Perkawinan di tanah adat tidaklah semata-mata hubungan antara suami-istri, tetapi lebih utama adalah hubungan antara dua suku. Mungkin saja engkau menyayangi sepenuh hati kepada istrimu, tapi jangan terlalu kau pegang teguh dan yakin akan kelanggengan rumah tanggamu. Yang paling penting kau perhatikan adakah kaum kerabat dalam hubungan persukuanmu, saudaramu laki-laki-perempuan, para penghulu adat dan mamakmu sukakah kepada perempuan yang jadi istrimu itu? Padahal jangan lupa, kau kawin pun atas izin dan restu mereka.”
“Jagalah istrimu agar keluarga sesukumu, sanak saudaramu laki-perempuan, mamak dan para penghulu tak sekali pun merasa tidak suka padanya. Bila tidak, akan ada ‘ranting meletar’ nanti!”
“Jika di negeri adat itu engkau beristri lebih dari seorang, maka ketahuilah baik-baik, istri yang lebih engkau sayangi dengan segera akan menjadi kurang disukai keluargamu. Sementara istri yang kurang kau perhatikan akan mendapatkan pembelaan dari keluargamu.”
Itulah sistem keseimbangan yang berlaku di tanah yang Malik tinggali.
Kini Malik mengalami sendiri apa yang selama ini didengar dan dilihatnya menimpa temantemannya. Seperti mereka, Malik kini menjadi ‘anak tinggal’ di tempat ayahnya. Sejak ibunya kembali ke rumah Andung dan Angku di Tanah Sirah, Malik merasa terasing di rumah ayahnya di Padang Panjang. Apalagi Haji Rasul adalah seorang aktivis dakwah kelas atas, yang senantiasa bepergian tak hanya dari satu kota ke kota lain, tetapi juga sering kali harus menyeberang ke Pulau Jawa, bahkan meninggalkan Hindia Belanda pergi ke negeri-negeri lain.
Kian keraplah kini Malik mendengar ibunya dikata-katai dengan buruk, seolah di rumah itu tak ada dia, anaknya. Kadang Malik merasa, orang-orang, para kerabat ayahnya itu malah sengaja membuka-buka keburukan ibunya di dekatnya, seakan hendak menumpahkan kepadanya segala dendam mereka terhadap ibunya!
Kini, makan pun ia tak lagi diajak kecuali saat ayahnya ada di rumah. Malik tahu diri, ia pun merasa tak harus diberitahu setiap kali tiba waktu makan. Apa susahnya mengambil sendiri nasi dan lauk pauknya?
Berangsur-angsur Malik kini mencuci pakaiannya sendiri, juga pakaian-pakaian adiknya, Qudus. Ia tak ingin orang-orang di rumah itu merasa makin terganggu karena kehadiran mereka berdua. Makin lama, kian sering Malik tak ada di rumah, kecuali saat-saat makan.
Sebenarnya hal itu tak akan terlampau aneh di Tanah Minang, tempat anak-anak setelah maghrib pun memang banyak yang bermalam di surau. Mereka pulang pagi-pagi ke rumah, atau tengah hari selepas sekolah. Juga sebelum maghrib, sekadar untuk makan. Banyak anak Minang memang dibesarkan surau dan lingkungannya.
Tanpa setahu ayahnya, sering Malik pulang ke Tanah Sirah. Jarak sekitar 40-an kilometer ditambah perjalanan menyusuri Kelok 44 yang sepi, dijalaninya dengan berjalan kaki. Rindu akan ibu dan Andung-Angkunya lebih kuat dibanding rasa takutnya selama perjalanan.
Perlu hampir sehari penuh untuk sampai rumah Andung, itu pun dengan kaki yang sudah pegal-pegal kecapekan. Pada saat pertama kali melakukannya, kedua kaki Malik bahkan sampai bengkak karena perjalanan jauh itu.
Suatu hari, ketika pulang itu dilihatnya ibunya mengambil foto ayahnya yang masih tergantung di dinding. Ditatapnya foto itu dalam-dalam, lalu ditangisinya. Sementara di rumah Padang Panjang pun ayahnya pernah didengarnya sayup-sayup menyanyikan lagu-lagu kasidah Arab dengan nama ibunya terselip di situ. Saat itu Malik tahu, kasih sayang di antara kedua orang tuanya tidaklah hilang. Adat dan para fanatik adatlah yang memisahkan mereka. Adatlah yang menghambat pertemuan kembali ayah ibunya dalam sebuah keluarga. Adat pula yang membuat dirinya dan ketiga adiknya tak bisa hidup bersama ayah-ibu mereka. Adat, atau bila ingin kata yang lebih jelas tegas, tentu saja rasa kehormatan para mamak dan sukunya. Malik merasakan kesedihan dan sakit hati yang sukar ia jelaskan bentuk dan sebabnya.
Sekitar sepuluh bulan setelah perceraian itu, Malik mendengar dari ibunya bahwa seorang pedagang dari Deli meminangnya. Pinangan yang segera diterima para mamak ibunya dan penghulu-penghulu sukunya.
Ibunya datang ke Padang Panjang saat pamitan untuk berangkat menuju Deli, mengikuti suami barunya itu. Malik mencoba tersenyum saat ibunya memeluk dan menciuminya. Tapi yang keluar justru tangis dan air mata. Seorang anak di usia menjelang 13 itu berusaha tegar, meski mungkin secara lahiriah orang akan menganggapnya gagal karena ia menangis.
Kepergian ibunya itu tentu membuat Malik lebih sedih lagi. Di Tanah Sirah kini hanya tinggal Andung bersama Mukti, seorang adiknya yang paling kecil dan sakit-sakitan. Angku berpulang tak lama setelah perceraian ayah-ibunya. Adiknya yang perempuan, Asma, dibawa ibunya ke Deli. Pijah telah bersuami dan dibawa suaminya ke Pekalongan di tanah Jawa.
Keadaan itu membuat hubungan Malik dengan ayahnya kian renggang. Mungkin ada sedikit kekecewaan di hati Malik, mengapa ayahnya tak mengambil sikap mempertahankan keluarga dibanding ikut tata cara adat. Malik semakin jarang di rumah. Kini ia lebih banyak bertualang kemana suka. Ia hanya akan pulang bila dipikirnya ayah tak ada di rumah, itu pun hanya untuk melihat keadaan adiknya, Abdul Qudus. Lain tidak, karena tak ada lagi orang di rumah yang ia merasa dekat dengannya. Sesekali Malik akan mengunjungi Tanah Sirah dengan berjalan kaki. Tak ada lagi rasa takutnya, bahkan meski niat untuk berjalan pulang ke kampung Andung itu datang saat menjelang Ashar, yang artinya ia akan berjalan malam-malam menembus gelapnya Kelok 44.
Sekolah? Ah, lupakan saja. Bagaimana bisa Malik bersekolah dan belajar mengaji dalam kondisi seperti itu. Malik masih terhimpit sekian banyak duka, dan ia memilih bertualang ke sana ke mari untuk sekadar menghiburkan diri. Apalagi ada cerita pahit soal sekolah ini.
Suatu hari saat libur, kebetulan Haji Rasul sedang tidak dalam tugas dakwahnya. Hari itu ia berada di rumah, bersama Malik dan Qudus. Malik berada di tengah rumah, membaca buku yang baru dipinjamnya dari Blibliotek Zainaro. Sebuah buku bagus tulisan pengarang yang sangat disukainya, Charles Dickens, berjudul ‘Oliver Twist’.
Tiba-tiba pintu depan diketuk orang, berkali-kali.
“Malik, bukakan, ada tamu,” kata Haji Rasul, meminta. Malik pun bergegas membukakan pintu. Seketika wajah Malik pucat. Yang datang ternyata Engku Mudo, guru Malik sekaligus murid terkasih ayahnya. Saat itu Malik mendengar langkah ayahnya dari kamar menuju ruang tamu yang berhubungan langsung dengan pintu.
Tak hanya Malik yang terkejut, Engku Mudo pun begitu.
“Kau sudah sehat, Malik?” tanyanya. “Syukurlah.”
Malik hanya menjawab tak jelas dan tergagap-gagap. Sudah dua pekan lebih ia bolos sekolah. Wajar bila Engku Mudo terkejut manakala dilihatnya Malik sudah sehat dan baik-baik saja.
Seketika itulah badai pun bermula. Haji Rasul yang mendengar obrolan pendek antara anak kandung dengan murid kesayangannya itu pun kontan bertanya.
“Malik sudah dua pekan tak masuk sekolah, Engku Haji,” kata Engku Mudo. “Saya mendapat kabar, dia sakit. Jadi syukurlah bila sekarang sudah sehat kembali.”
Jawaban itu langsung membuat raut wajah Haji Rasul berubah warna seolah tembaga. Kondisi itu dengan segera dilihat Engku Mudo. Setelah urusannya beres, dia tergopohgopoh minta diri pamit. Sesaat sebelum memunggungi Haji Rasul, Malik melihat Engku Mudo memandangnya dengan tatapan bersalah. Ia tahu, apa yang akan menimpa Malik setelah itu.
Barangkali di luar Engku Mudo pun masih tergopoh meninggalkan halaman rumah, saat Haji Rasul mendekati Malik yang gemetar terduduk di kursi. Mukanya pusat lesi, seolah tak ada aliran darah di sana.
“Jadi dua pekan ini kamu sakit, Malik?” Suaranya menggelegar penuh amarah. Didekatinya anak laki-laki tertuanya itu. Lalu, “Pang!”
Langsung telinga Malik berdenging. Tempelengan ayahnya bukan alang kepalang kuatnya. Tak hanya kepalanya yang sempat terjajar ke samping. Pandangan Malik pun berkunang-kunang.
Namun seketika itu pula Haji Rasul sadar dengan apa yang barusan ia perbuat. Bagaimanapun anak itu adalah darah dagingnya sendiri, senakal apa pun dia. Terbit kasihan dan penyesalannya. Didekatinya Malik, diusap-usapnya kepala anak itu sambil bertanya apa yang ia sukai dan bisa segera dibelikan. Disebutnya beberapa nama kue, mainan. Semua dijawab Malik dengan gelengan. Tak ada nafsunya makan makanan, apa pun makanan itu.
Tak ada hasrat untuk minum, meskipun itu es sirop yang sangat disukainya. Tak terasa air mata Malik meleleh membasahi sudut matanya. Ia teringat ibunya, yang selalu membelanya atau paling tidak menghindarkannya dari hal-hal yang buruk manakala ayahnya marah. Ia merasa menjadi anak yang tak dikehendaki. Mengapa ayahnya marah, sementara ia pun sering tak berada di rumah? Di sini ia lebih banyak bersama ibu tiri yang tentu jauh bedanya dengan Safiah, ibunya sejati. Sementara yang ia tahu, ayahnya hanya marah kalau ada yang tak berkenan di hatinya.
Malik ingin menolak usapan-usapan sang ayah di kepalanya. Ia tak butuh itu. Yang ia butuhkan kehadiran sang ayah yang lebih sering di rumah itu. Malik telah kehilangan ibunya akibat perceraian, mengapa pula dengan gampang ayahnya itu melanjutkan kebiasaannya bepergian tanpa berpikir bahwa dalam kehidupan anak-anaknya telah ada yang berubah kini?
Namun Malik tak sanggup melakukan itu. Ia masih sadar, selain ibunya, ayahnya juga punya hak untuk ia hargai, ia hormati. Lebih jauh, itu adalah garis yang diwajibkan Islam, agama yang dengan sepenuh hati ia anut meski ajarannya masih banyak yang tak ia pedulikan.
Menyabung ayam, melihat dengan asyik bagaimana orang-orang berjudi, misalnya. Lama-lama, anak 13 tahun itu perlahan menutup mata. Di luar kesadarannya, ia memang mendambakan sentuhan kasih sang ayah. Malik tak tertidur, tetapi perasaannya terasa damai dalam dekapan sang ayah yang dalam keseharian lebih sering memelototinya itu.
***
Dalam sejarah, Perang Paderi tercatat terjadi pada tahun 1821-1837. Tetapi pada faktanya, peperangan itu berakar 1802, saat Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang lama bermukim di Mekah, kembali ke Sumatera Barat.
Ketiga haji itu kaget dengan kondisi masyarakat Minang saat itu, yang jauh dari agama Islam yang lurus. Masyarakat yang beralasan memegang teguh adat itu gampang saja membiarkan perjudian, sabung ayam, minum-minuman keras merajalela.
Tetapi persoalan yang menjadi sebab pecahnya Perang Paderi pun sebenarnya tak tuntas hanya karena perang itu usai. Malik merasakan itu. Sebenarnya penyebab perpisahan keluarganya pun mungkin bisa dipulangkan kepada sebab besar tersebut: reformasi agama dan adat di Minangkabau. Dan Malik beserta adik-adiknya sejatinya adalah ‘buah terlarang’, hasil sampingan dari pertikaian tersebut.
Ayahnya, Haji Rasul, adalah tipologi kaum Paderi, para reformis yang menghendaki agama Islam dijalankan ‘secara murni dan konsekuen’ di Tanah Minang. Meski tak mengalami, benak Haji Rasul sepenuhnya adalah benak yang mewakili kalangan Paderi. Sementara Andung dan Angku, serta mamak-mamak Malik dari pihak ibu adalah wakil kalangan adat.
Bukan setahun dua pertikaian itu terjadi, mulai dari pembahasan tak berujung soal manfaat atau tidaknya menari randai, memperbandingkan berpantun dengan membaca Alquran, atau bahkan tentang kegunaan bermain silek. Lalu naik pada soal yang lebih serius semisal main kartu, berjudi dan menyabung ayam. Semua yang menjadi permainan dan kesenangan para mamak Malik dari pihak ibu.
Maka ketika pengaruh para mamak dan Angku mulai dicobatanamkan kepada Malik, paling tidak dalam penilaian ayahnya, Haji Rasul jelas tak menghendaki. Ia tak hendak anaknya menyeberang menjadi pendukung kaum adat, kalangan yang di masa lalu menjadi lawan para Paderi. Ia tentu lebih memilih dan pasti memilih anaknya akan besar sebagai orang alim, seorang ulama tempat warga bertanya, sebagai seorang ulama pewaris Nabi.
Hal-hal kecil, pertikaian sepele yang bermula dari soal randai dan kaba antara Angku dan ayahnya itu kemudian melebar, beranak pinak dengan segala judul dan jenis, membuat luka menahun, yang berujung perceraian ayah dan ibunya.
Langkah Malik tegap dan gagah saat memasuki arena sabung ayam di tepian Danau Maninjau itu. Apa yang kurang? Berbaju ganiah bagus meski tak lagi baru, bercelana sarawal hitam dengan sandal kulit pemberian Angku Leman, paman atau mamak dari ibunya.
Belum lagi ketiaknya mengepit ayam jantan besar kokoh bernama Si Kuniang pemberian Angku Magek yang belum sekali pun kalah di arena sabung ayam mana pun, mulai Maninjau, Padang Panjang, Payakumbuh sampai Bukittinggi.
Belum sempurna bila kita luput melihat kepala Malik yang kini terbungkus destar, menyisakan potongan kain yang berkibar manakala tertiup angin. Alangkah gagahnya anak 13 tahun itu.
“Itu ayammu, Bujang?” tanya seorang lelaki berpakaian ghaniah merah, berdestar warna emas mengkilat, menunjukkan kelasnya di arena ini.
“Iya,” jawab Malik cepat.
“Bagaimana bila diadu dengan ayam anakku?” Ia kembali bertanya. Kali ini dengan senyum tersungging di bibir. Bukan senyum bersahabat, melainkan lebih sebuah tantangan yang pantang ditolak.
“Mengapa tidak?” Malik menjawab pendek-pendek. Tak senang juga ia melihat gaya orang itu. Kesannya terasa pongah, mengerdilkan orang lain.
“Kau mau bertaruh untuk ayammu, Bujang?”
Malik sejenak memperhatikan orang yang dari usianya bisa menjadi bapaknya itu lekat-lekat. Baru ia menjawab. “Ambo tak pernah bertaruh untuk ayamku, Tuan. Orang-oranglah yang bertaruh untuk ayamku. Selalu begitu.”
Orang itu tertawa. “Hebat juga kau punya cakap, Bujang.” Dipanggilnya anaknya, seorang yang sebaya Malik yang datang tergopoh dengan ketiak juga mengepit ayam. Sebagaimana Si Kuniang, ayam itu menunjukan ayam aduan jempolan. Jenggernya merah kukuh di atas kepala. Sementara patuknya tajam melengkung ibarat patuk rajawali. Dada ayam aduan itu bidang dengan kaki-kaki yang kokoh kuat menapak.
“Ayam kau hebat bila bisa mengalahkan Si Elang, ayamku ini,” kata anak tadi, memandang Malik dengan senyum mengejek. Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga memang. Sebagaimana ayahnya yang macak, anak itu pun memakai ganiah hitam berhiaskan benang emas yang jarang Malik lihat. Destarnya terbuat dari kain berbahan benang emas yang selain jarang pasti pula mahalnya.
“Kita lihat saja,” kata Malik. Orang-orang mulai berkerumun di sekitar mereka, membentuk lingkaran. Beberapa bertanya tentang Si Kuniang kepada Malik, beberapa meminta data Si Elang. Terbentuklah segera dua kelompok, pro dan kontra, baik kepada Si Kuniang maupun Si Elang.
Mulailah dari masing-masing pihak keluar ejekan berupa pantun. Pihak pendukung Si Kuniang diserang lebih dulu. Si Kuniang dikatakan ayam jago kuning yang tak lagi perlu dikasih kunir kalau mau digulai. Sempat panas hati Malik mendengarnya. Untunglah dari pihaknya ada juga jago pantun yang membalas ejekan itu dengan telak. Disebutnya Si Elang sebagai ayam keberatan nama, yang akan jadi pecundang karena tak mampu menerima beban itu.
Kepala Malik juga sempat mencari-cari kata-kata merangkai pantun. Ia menemukannya, sebuah pantun hinaan yang menurutnya rancak bana. Tetapi akhirnya ia urungkan. Biarlah, toh masing-masing sudah punya pendukung sendiri. Biar merekalah yang berpantun. Dirinya sebaiknya fokus mengurus Si Kuniang.
Seseorang maju ke tengah, mengambili uang taruhan para petaruh. Segera saja tangannya penuh lembaran uang, sementara baskom yang dibawa asistennya pun penuh dengan talen, gobang, ketip dan kelip, hampir memenuhi mulut baskom.
“Siap kalian?” kata orang tadi setelah tak ada lagi petaruh. Semua telah dicatat dengan cepat oleh asistennya.
Malik mengangguk, sementara Si Ghaniah Mewah merasa kurang bila tak berucap. “Dari tadi pun Si Elang sudah siap memangsa gulai Kuniang,” katanya, disambut teriakan dan suitan riuh rendah pendukungnya.
Malik berusaha setenang mungkin. Dengan hati-hati ia melepas ayamnya ke arena. Anak itu pun segera melepas ayam jago yang disebutnya Si Elang itu dengan cara melemparkannya ke arah Si Kuniang. Mungkin ibarat Elang menukik turun menangkap mangsanya. Baru saja kedua kaki Si Elang menapak tanah, Si Kuniang tanpa ampun mematuk jengger ayam aduan itu tanpa melepasnya. Dijepitnya jengger itu kuat-kuat dengan paruhnya, lalu melompat ke udara sambil memuntir dan menarik jengger itu kuat-kuat.
“Keeoook! Keoook!”
Jengger Si Elang kontan memerah karena rembesan darah. Ayam yang diberi julukan garang Si Elang itu segera kehilangan sifat keprajuritannya. Ia ngacir meninggalkan gelanggang penyabungan, dikejar-kejar pemiliknya yang terlihat sangat kecewa.
Sementara ayah anak itu menghindar. Mungkin malu, atau kemungkinan membantu anaknya menangkap kembali ayam pecundang yang kabur itu.
Malik tersenyum puas. Diambilnya Si Kuniang, dibelai-belainya leher ayam aduan itu dengan kasih sayang. Tangan Malik merogoh kantong ganiahnya, mengeluarkan sarang tawon ukuran sekepal tangannya. Dibukanya sarang tersebut dan dikeluarkannya dua larva yang masih menggeliat-geliat. Disodorkannya larva tawon itu ke depan Si Kuniang. Ayam itu segera mematuk dan memakannya habis. Begitu pula dengan larva kedua.
Pas Malik akan beranjak, seseorang menjejalkan segenggam uang kertas ke dalam sakunya. “Bagianmu Bujang,”katanya, tersenyum. “Sampaikan salam pada mamakmu, Angku Magek ya.”
Malik mengucap terima kasih dan berjanji menyampaikan salam lelaki 40-an tahun itu setelah bertanya namanya.
“Ambo sampaikan, insya Allah, Engku,” katanya, lalu mengepit ayamnya berjalan pulang.
Tak ingin ia mengadu ayam kesayangannya itu sampai lebih dari sekali sehari, kecuali memang tak mungkin menghindar. Jarak antara area sabung ayam ke jalan raya tak terlalu jauh, hanya sekitar 250 meter. Di sana Malik bermaksud mencari bendi yang bisa membawanya ke Tanah Sirah. Kalau Angku Magek masih ada di sana, ia akan melaporkan kemenangan hebat Si Kuniang yang hanya perlu hitungan detik untuk membuat lawannya terbirit.
Baru saja Malik hendak masuk jalan raya, seseorang berteriak memanggilnya.
“Woooi, tunggu! Wooi!” Anak berghaniah mewah itu ternyata. Ia sendirian berlari ke arah Malik, tak terlihat ayahnya bersamanya. Begitu pula ayam aduannya. Mungkin keduanya masih di arena sabung, atau bisa jadi sudah pulang secepatnya karena tak tahan menanggung malu. Malik diam menunggu. Si Kuniang sejak tadi sudah dimasukkannya ke dalam sangkar aduan yang bisa ia jinjing. Sangkar itu kini ia letakkan di tanah.
“Ada apa?” tanya Malik saat anak itu sudah berada di dekatnya, sekitar dua meter jaraknya. Anak itu tak bisa cepat menjawab, dadanya turun naik mencoba menangkap udara setelah berlari tadi.
“Kau menang karena curang, hayo mengaku!” kata anak itu setelah menarik nafas beberapa kali. Matanya tajam, pandangannya melecehkan.
“Apanya yang curang? Ada puluhan pasang mata mengawasi sabung ayam kita tadi. Ayammu kalah karena memang bukan lawan ayamku, Si Kuniang,” Malik membalas sengit. [bersambung]