Dicky menekankan bahwa upaya 3T (testing, tracing, dan tracking) serta menerapkan protokol kesehatan 5M, percepatan vaksinasi, dan pembatasan kegiatan masyarakat di dalam negeri juga harus terus dilakukan.
JERNIH– Ketika angka COVID-19 di Indonesia terus menurun, haruskah kita menurunkan kewaspadaan akan datangnya gelombang ketiga?
Kasus baru per Sabtu (17/9) lalu bertambah 3.835 orang dari total 388.292 spesimen yang diperiksa. Di tengah perbaikan laju penularan COVID-19 dengan angka positivity rate sudah di 1,31 persen, para ahli menilai risiko gelombang ketiga pandemi tetap perlu diwaspadai.
Pekan ini, rasio kasus positif COVID-19 di Indonesia per Senin (13/9) lalu tercatat yang terendah sejak pandemi melanda awal Maret 2020, sebagaimana dilaporkan CNN Indonesia. Berdasarkan laporan harian Satgas COVID-19, rasio positif harian hanya 2,14 persen. Rasio kasus positif ini juga lebih rendah dari ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 5 persen.
Juru Bicara Satgas Penanggulangan COVID-19 Wiku Adi Sasmita mengatakan, pemerintah sedang mewaspadai kemungkinan gelombang ketiga wabah di Indonesia, terutama karena beberapa negara di dunia sedang menghadapi third wave semacam itu.
“Kita harus waspada dan tetap disiplin protokol kesehatan agar kita tidak third wave atau lonjakan ketiga dalam beberapa bulan ke depan,” ujar Wiku, seperti ditulis CNN Indonesia.
Di ibu kota, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan tiga langkah yang dilakukan Pemprov DKI untuk mengantisipasi gelombang ketiga COVID-19. Ketiga langkah tersebut merupakan pelajaran-pelajaran penting yang diambil dari pengalaman menghadapi gelombang pertama dan kedua, seperti ditulis Berita Satu.
Pertama, Pemprov DKI terus mengaktifkan sistem deteksi dini, yakni meningkatkan kapasitas pengujian dan penelusuran. “Terkait dengan kita di Jakarta dengan pengalaman gelombang pertama dan kedua, sistem deteksi dini itu diaktifkan terus, sampai sekarang belum diturunkan sistem deteksi dini itu. Apa itu? Kegiatan testing tetap tinggi,” kata Anies di Jakarta pada Rabu (22/9) lalu.
Anies mengatakan, tingkat pengujian di Jakarta masih tinggi, meski positivity rate atau persentase kasus positif COVID-19 di Jakarta sudah ditekan hingga berada angka satu persen. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dalam sepekan terakhir terdapat 112.737 orang dites PCR, sementara standar target WHO untuk Jakarta adalah minimum 10.645 orang dites PCR setiap pekan.
Dengan total tes PCR DKI Jakarta kini telah mencapai 577.990 per sejuta penduduk, testing di Jakarta sudah mencapai hampir 11 kali lipat dari standar yang ditetapkan WHO. Sementara itu, positivity rate berada di angka 1 persen atau jauh dari ambang batas ideal positivity rate 5 persen yang ditetapkan WHO.
Langkah kedua, Pemprov DKI meminta masyarakat terus disiplin menerapkan protokol kesehatan, apalagi saat ini sudah banyak dilakukan pelonggaran-pelonggaran kegiatan masyarakat mulai dari kantor-kantor hingga tempat hiburan, menurut Berita Satu.
Langkah ketiga, ujar Anies, Pemprov DKI terus menggalakkan vaksinasi dengan harapan mengurangi tingkat keparahan inveksi COVID-19.
Puncak gelombang pertama pandemi COVID-19 di Jakarta terjadi pada 3 Februari 2021. Peningkatan jumlah kasus aktif saat itu diduga merupakan dampak liburan akhir tahun 2020 dan awal tahun 2021. Selanjutnya, puncak gelombang kedua terjadi pada 16 Juli 2021. Jumlah kasus pada gelombang kedua itu melonjak hingga empat kali lipat dari puncak kasus gelombang pertama, yang turut disebabkan mutasi baru varian Delta yang lebih berbahaya dan lebih mudah menular.
Mengenai potensi gelombang ketiga wabah, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menyebutkan bahwa waktu pastinya akan bersifat dinamis. Melihat situasi saat ini, ia memprediksi gelombang ketiga akan terjadi pada Desember 2021.
“Dulu saya memprediksi Oktober, tapi ini berubah lagi, mundur lagi, jadi Desember. Desember pun gelombangnya menurun juga, merendah, enggak sebesar seperti prediksi sebelumnya,” kata Dicky, kepada Kompas.com, Minggu (19/9) lalu.
Menurut Dicky, itu terjadi karena adanya intervensi seperti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diperpanjang. Jika ada sejumlah intervensi yang dilakukan melalui kebijakan, Dicky menegaskan bahwa itu akan memperkecil potensi gelombang ketiga COVID-19. “Semakin kita konsisten, semakin disiplin dalam memberikan intervensi, termasuk capaian vaksinasi, ini akan membuat potensi gelombang ketiga itu semakin jauh atau mengecil tapi tetap ada, jauh mengecil.”
Menurut Dicky, gelombang ketiga COVID-19 berpotensi terjadi karena tingkat masih rendah sehingga mayoritas belum memiliki kekebalan atau imunitas. “Dalam artian imunitas itu dari vaksin, vaksinasi dosis penuh, apa pun vaksinnya. Ini kan 80 persenan masyarakat masih rawan karena belum mendapat vaksin.”
Rendahnya tingkat vaksinasi juga diperparah dengan serangkaian varian baru COVID-19. “Tidak ada negara yang meskipun vaksinasinya sudah lebih dari 60 persen bisa menghindari gelombang ketiga, sulit,” ujar Dicky.
Kompas.com mencatat harapan Dicky agar jika terjadi gelombang ketiga COVID-19 di Indonesia, itu tidak akan sebesar gelombang sebelumnya. “Kecuali kalau ada varian yang jauh lebih hebat atau setidaknya seperti varian Delta, itu bisa sama (gelombang infeksinya).”
Dicky juga menyarankan sejumlah langkah antisipasi, salah satunya memperketat perbatasan Indonesia. Ia berpendapat, karantina untuk pendatang juga harus dilakukan dengan lebih ketat, setidaknya selama 7 hari bagi pendatang yang telah divaksinasi secara penuh dan dengan hasil tes PCR negatif. Sebaliknya, bagi yang belum divaksinasi lengkap dan harus PCR negatif, mereka harus menjalani karantina selama 14 hari.
Dicky menekankan bahwa upaya 3T (testing, tracing, dan tracking) serta menerapkan protokol kesehatan 5M, percepatan vaksinasi, dan pembatasan kegiatan masyarakat di dalam negeri juga harus terus dilakukan. Meski positivity rate rendah, tetapi 3T di Tanah Air juga masih relatif kurang. “Karena berarti kemampuan kita mendeteksi kasus-kasus di masyarakat menjadi tinggi. Sudah dicapai nilai standar dari WHO, itu tidak dijamin,”ujar Dicky.
Hal senada diutarakan Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban menyuarakan kekhawatiran bahwa COVID-19 di Indonesia bisa menjadi hiperendemi akibat pelonggaran pembatasan dan kembalinya denyut kehidupan masyarakat.
Menurut Zubairi, kondisi pandemi sangat fluktuatif dan dinamis. Ia mengingatkan bahwa pelonggaran pembatasan terutama yang terlalu dini bisa mengakibatkan kasus COVID-19 lebih banyak sehingga malah terjadi hiperendemi. “Kalau longgarnya kebablasan, bisa-bisa malah jadi hiperendemi alih-alih menuju endemi,” ujar dia. [berbagai sumber]