Site icon Jernih.co

Agama Berakhlak

Ilustrasi

Istilah Arab untuk etika adalah “akhlak”. Satu asal kata dengan “khalik” (pencipta) dan “makhluk”. Dengan demikian, akhlak mulia itu harus memancarkan keterpaduan antara ideal-ideal ketuhanan dengan faktualitas makhluk hidup dengan segala keragaman budaya, spasial dan pengalaman.

Oleh   : Yudi Latif

JERNIH– Saudaraku, umat terbaik mestinya berakhlak (beretika) terbaik. Apakah orang beragama otomatis berakhlak baik? Untuk memperoleh insight ada baiknya membaca buku “Islam and Morality“, karya Oliver Leaman (2019); seorang profesor filsafat AS yang bersimpati pada pemikiran keislaman.

Yudi Latif

Istilah Arab untuk etika adalah “akhlak”. Satu asal kata dengan “khalik” (pencipta) dan “makhluk”. Dengan demikian, akhlak mulia itu harus memancarkan keterpaduan antara ideal-ideal ketuhanan dengan faktualitas makhluk hidup dengan segala keragaman budaya, spasial dan pengalaman.

Kekeliruan umum sering menyamakan etika dengan hukum (fiqh). Hukum dan etika tak bisa dipisahkan, tapi bisa dibedakan. Hukum berbasis pada aturan. Etika, bukan hanya berbasis aturan, tapi juga pada konsekuensi dan konteks suatu tindakan.

Lazim disebutkan bahwa dasar ontologis shariah (maqasid al-sharia) adalah kemaslahatan/kesejahteraan (maslaha). Namun, realitasnya, terdapat kesulitan yang persisten dalam etika Islam untuk merekonsiliasikan antara maslaha dan maqasid.

Merumuskan maqasid memerlukan kemampuan merumuskan prinsip-prinsip pokok dari suatu tindakan. Dan itu tidak bisa dengan mudah diambil secara siap pakai dari Al-Qur’an; melainkan perlu bantuan hadits, sunnah, sirah Nabi, interpretasi para sahabat dan ulama jumhur.

Setelah prinsip dirumuskan, tantangan selanjutnya adalah memahami faktualitas kehidupan yang terus berubah. Dengan demikian, meski prinsip dari maqasid tak berubah, demi maslaha, dimungkinkan perubahan penafsiran sesuai dengan perubahan kontekstual.

Dengan demikian, etika Islam mestinya sejalan dengan desain penciptaan Tuhan yang mempertahankan keragaman, memberi ruang bagi perbedaan pengalaman, dalam rangka saling menyempurnakan dan berlomba dalam kebajikan.

Untuk itu, diperlukan usaha konseptualisasi etika Islam secara kontekstual dan dinamis, disertai konsistensi aktualisasinya sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu. Dalam hal ini, iman, ilmu dan amal harus dihela dlm satu tarikan nafas untuk membuatnya tetap terjaga dan menyala. [  ]

Exit mobile version