Ada 160 proyek pemerintah maupun swasta, yang diberi label PSN, dalam sewindu terakhir, dan hampir selalu memicu masalah dengan warga lokal.Tiga tahun lalu di Makassar, misalnya, polisi menenggelamkan perahu-perahu nelayan yang memprotes penambangan pasir di laut oleh perusahaan Belanda. Nelayan ditangkapi dan kapalnya dikaramkan. Perlombaan memikat investasi potensial untuk terjatuh menjadi perlombaan menuju jurang (race to the bottom): kerusakan alam, ketimpangan ekonomi dan makin buruknya keadilan sosial.
Oleh : Farid Gaban
JERNIH—Cara aparat menggusur warga Rempang hanya kelanjutan saja dari trend penampakan wajah brutal Pemerintahan Jokowi demi menarik investasi. Itu sudah terjadi di banyak daerah Indonesia, terutama setelah pemerintah mempromosikan proyek-proyek strategis nasional (PSN) sejak 2015.
Ada 160 proyek pemerintah maupun swasta, yang diberi label PSN, dalam sewindu terakhir, dan hampir selalu memicu masalah dengan warga lokal.
Tiga tahun lalu di Makassar, misalnya, polisi menenggelamkan perahu-perahu nelayan yang memprotes penambangan pasir di laut oleh perusahaan Belanda. Nelayan ditangkapi dan kapalnya dikaramkan.
Pada waktu hampir bersamaan, di Pulau Timor (Nusa Tenggara Timur), warga masyarakat adat Pubabu menolak perpanjangan kontrak lahan mereka untuk peternakan, yang diusahakan pemerintah setempat bersama perusahaan Australia. Warga Pubabu diusir dari rumah dan hutannya. Anak mereka diskors dari sekolah.
Hampir dalam sebagian besar kasus sejenis, petani dan nelayanlah yang dikorbankan. Mereka harus berhadapan dengan polisi yang punya dalih mengamankan investasi.
Mengikuti anjuran dan contoh dari Presiden Jokowi, daerah-daerah (provinsi maupun kota/kabupaten) pun berlomba menjadi kawasan ramah investasi.
Dalam perlombaan yang kian ketat untuk melayani investor yang jumlahnya terbatas, pemerintah pusat maupun daerah akan potensial menurunkan standar perlindungan terhadap alam maupun sosial.
Polisi (dan kadang tentara) dipakai untuk mengamankan investasi sekaligus memberangus suara protes. Dengan kepiwaian hukum, jaksa dan hakim juga dilibatkan untuk “menegakkan ketertiban”.
Seperti yang sudah kita lihat sejak Orde Baru, obsesi terhadap investasi dan pembangunan infrastruktur besar berjalan seiring dengan penindasan.
Konflik-konflik seperti ini sudah banyak terjadi sejak Orde Baru. Tapi makin luas bersama mulusnya legislasi UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang memang tujuan utamanya untuk mempermudah/melindungi investasi.
Alih-alih menciptakan lapangan kerja, Omnibus Law justru tak hanya menghilangkan ruang ekonomi petani dan nelayan, tapi juga menindas hak asasi lain seperti hak berekspresi dan hak memprotes kebijakan pemerintah.
Perlombaan memikat investasi potensial untuk terjatuh menjadi perlombaan menuju jurang (race to the bottom): kerusakan alam, ketimpangan ekonomi dan makin buruknya keadilan sosial.
Sudah saatnya ada evaluasi mendasar terhadap proyek-proyek strategis nasional yang tak hanya merusak, tapi juga miskin transparansi, akuntabilitas dan partisipasi warga. [ ]