Saya merasa, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dunia tidak seharusnya diam terhadap kezaliman Cina terhadap kaum Uighur. Menentang kezaliman itu selain sebagai amanah Islam, juga sekaligus amanah Konstitusi Indonesia.
Oleh : Shamsi Ali*
JERNIH– Siang ini, Senin 22 Maret saya diundang hadir dalam sebuah acara rally (demonstrasi) dukungan kepada etnis Uighur. Tema rally kali ini adalah “No blind eye to the genocide” (Jangan tutup mata terhadap genosida Uighur). Acara yang diinisiasi oleh Aliansi pelajar Muslim-Yahudi ini dihadiri oleh tokoh-tokoh agama Yahudi, Kristen dan Islam, anggota Kongress dan juga aktivis lainnya.
Dalam presentasi singkat saya menyampaikan hal-hal berikut:
Pertama, saya bahagia hadir dalam acara yang dikelolah secara bersama antara Yahudi dan Muslim karena saya yakin perjuangan untuk kebebasan (freedom) dan keadilan (justice) tidak mengenal batas-batas (bounds). Kita yakin, ketidak adilan di sebuah tempat adalah ketidakadilan di semua tempat. Kezaliman kepada seseorang adalah kezaliman kepada semua orang.
Kedua, saya menyampaikan bahwa kehadiran saya terasa mewakili banyak wajah.
1. Sebagai wajah Islam. Menentang kezaliman dalam ajaran Islam adalah sesuatu yang mendasar. Perintah amar ma’ruf dan nahi mungkar menjadi bagian penting ajaran agama Islam.
2. Sebagai wajah Indonesia. Saya merasa, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dunia tidak seharusnya diam terhadap kezaliman Cina terhadap kaum Uighur. Menentang kezaliman itu selain sebagai amanah Islam, juga sekaligus amanah Konstitusi Indonesia.
3. Sebagai yang bangga tinggal di Amerika. Kebanggaan saya terhadap Amerika bukan karena kekuatan ekonomi atau militernya. Tapi Amerika menghargai hak-hak dasar semua manusia. Termasuk hak agama (religious freedom).
4. Tapi yang terpenting saya hadir dengan wajah manusia. Karena isu Uighur adalah isu kemanusiaan. Karenanya tidak dipahami sebagai isu Islam atau batasan lain. Tapi isu Uighur adalah isu kemanusiaan. Dan saya hadir mewakili wajah kemanusiaan yang menentang kesemena-menaan.
Ketiga, menekankan sekali lagi bahwa semua manusia terlahir dengan kemuliaan (karomah). Kemuliaan ini adalah “God given” (karunia Tuhan). Sehingga tidak ada siapapun yang berhak merampasnya. Dan karenanya semua manusia berhak untuk dan harus diperlakukan secara mulia (treated with dignity). Memaksa kaum Uighur untuk menanggalkan agama dan identitas mereka jelas pelanggaran nyata terhadap hak-hak dasarnya, sekaligus merampas hak kemuliaannya (human dignity).
Keempat, menyerukan kepada pemerintahan Biden untuk mengambil langkah-langkah nyata dalam membela kemanusiaan Uighur. Mengingatkan kembali Biden akan janji-janjinya untuk membela mereka yang terzholimi, tidak saja di Amerika tapi di seluruh belahan dunia.
Kelima, Saya juga menyerukan kepada dunia Islam untuk tidak mudah disuap (bribed) atau dibeli oleh Cina sehingga tetap diam di hadapan genosida itu. Sedih melihat dunia Islam yang diam akan kezholiman itu karena mulut-mulut mereka tersumbat dana pembangunan infrastruktur dari Cina.
Keenam, saya menyerukan kepada semua orang yang masih berakal sehat (people of reason) dan punya hati (people of hearts) untuk bersama-sama berani menyuarakan resistensi ini kepada Cina. Hanya hati dan akal sehat yang akan mengalahkan kekuatan Cina yang semakin berambisi menguasasi dunia (global dominance) saat ini.
Akhirnya saya tutup dengan sebuah ungkapan terkenal: “Enough for evil to thrive when the good people do nothing”. Yang kira-kira berarti bahwa kejahatan atau kezaliman hanya akan bisa bertahan dan berkembang ketika orang-orang baik pada diam dan tak acuh.
Semoga usaha kecil ini jadi saksi Jika kita telah berbuat untuk Saudara-Saudara kita yang terzholimi. Semoga!
New York, 22 Maret 2021 [ ]
* Presiden Nusantara Foundation