Bila terjadi sebaliknya, yakni manakala secara langsung atau pun tidak Jokowi mendukung, bahkan membantu calon presiden tertentu pada 2024 nanti, bersiaplah mengulang kembali pengalaman buruk negeri ini manakala warga terbelah tajam dalam kekuatan pro dan anti-Jokowi. Bedanya, lain dari 2014 dan 2019, mungkin saja kali ini kekuatan anti itu akan mendapatkan dukungan kelompok warga dan simpatisan PDIP yang pro-Mega.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH– Jika kita cermati dengan baik, boleh dibilang selama enam bulan terakhir ini nyaris tak ada hari tanpa dukungan massa untuk Ganjar Pranowo menjadi presiden Republik Indonesia di 2024. Ahad (28/8) kemarin pun setidaknya ada empat kegiatan berskala besar yang tak lupa membawa-bawa dukungan untuk Ganjar tersebut.
Yang pertama, nun di Jambi sana, media menulis bahwa ribuan orang yang tergabung dalam gerakan relawan Des Ganjar Jambi mendeklarasikan dukungan mereka kepada Ganjar Pranowo untuk menjadi Presiden di 2024. Kegiatan kedua digelar di Jakarta, tepatnya di JI Expo, Kemayoran, dengan mengerahkan—konon–belasan ribu santri yang tergabung dalam Himpunan Santri Nusantara (Hisnu). Mereka menggelar “sholawatan” dan mendoakan Ganjar menjadi presiden pada 2024 mendatang. Kegiatan sejenis dengan peserta yang lebih minim, sekitar 500 orang seperti ditulis SindoNews.com, juga terlaksana di Yogyakarta, atas nama gerakan Santri Dukung Ganjar (SDG).
Namun yang pasti lebih bergaung karena melibatkan kehadiran Presiden Jokowi di dalamnya, adalah Musyawarah Rakyat (Musra) Relawan Jokowi, yang digelar di Arcamanik, Bandung, Jawa Barat. Pada momen tersebut, seorang ibu—emak-emak dalam istilah gaul saat ini—menyerukan nama Ganjar Pranowo sebagai calon presiden yang menurutnya bisa menjamin keberlanjutan pembangunan saat presiden berganti di 2024 nanti.
“Saya memilih siapa pun yang akan meneruskan Pak Jokowi,” kata ibu yang dengan malu-malu hanya menyebut diri sebagai Nung itu. Dia menyebut nama Ganjar Pranowo saat didesak pembawa acara.
Ganjar sendiri tak pernah hadir dalam acara-acara mobilisasi dukungan seperti itu. Namun, ia juga seolah tak pernah berhenti mendatangi acara-acara yang melibatkan jumlah massa berlimpah. Misalnya, pada Sabtu (27/8) lalu, bersama Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, Ganjar hadir dan memberikan motivasi kepada ribuan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Keberadaan mereka di satu forum, plus bersama-sama menyanyikan lagu khas “Kemesraan” yang dipopulerkan puluhan tahun lalu oleh Iwan Fals di akhir acara, membuat banyak asumsi dan perkiraan pun segera mengemuka. Misalnya, tentang kemungkinan mereka berduet di Pemilu Presiden 2024 nanti. Padahal, mungkin saja semua itu terjadi karena anggah-ungguh Ganjar yang pakewuh kalau harus mengisi acara itu sendirian, sementara “penguasa wilayah” Jawa Timur jelas-jelas adalah Khofifah.
Seolah tanpa letih, lesu atau pun loyo, esok harinya, Ahad (28/8), Ganjar sudah berada di Banyuwangi, bernyanyi bersama penyanyi yang pada 17 Agustus lalu menggoyang Istana Negara, Farel Prayoga. Acara yang digelar di Wisma Atlet Banyuwangi itu dihadiri banyak warga masyarakat setempat.
Masifnya dukungan untuk Ganjar di berbagai penjuru negeri, plus kehadirannya di sekian banyak tempat laiknya tokoh sakti yang bisa melipat ruang dan waktu itu wajar membuat kening banyak kalangan berkernyit heran. Setidaknya, mereka menghubung-hubungkan hal tersebut dengan kebiasaan buruk yang telah lazim dan menjadi budaya di kita: sokongan dana diam-diam lewat pintu belakang. Toh, siapa pun lama-lama kian percaya skeptisisme Barat bahwa there’s no such thing as a free lunch. Tak ada itu yang namanya makan siang gratis. Lebih jauh skeptisisme publik itu juga bisa berarti bahwa mereka meyakini, setidaknya menduga kuat, ada kekuatan besar di balik semua itu.
Pertanyaan tersebut juga mengimbas datangnya pertanyaan lain, yakni betapa dengan kinerja yang tergolong sangat biasa, namun selalu saja dalam sekian banyak survey, elektabilitas Ganjar senantiasa moncer. Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, adalah orang yang antara lain mempertanyakan hal itu.
Jamiluddin membandingkan Ganjar dan Puan Maharani dalam kinerja, karier politik dan elektabilitas. Dia menilai, pada keduanya belum ada prestasi kerja monumental yang membuat masyarakat berdecak kagum. “Capaian kerja mereka saat memimpin datar-datar saja,” tutur Jamiluddin. Tetapi dia merasa aneh bahwa dengan kinerja yang biasa saja, Ganjar Pranowo lebih moncer dalam elektabilitas versi hasil lembaga survei. Sementara untuk Puan, elektabilitas dirinya tetap jeblok.
“Jadi memang aneh, dengan kinerja yang biasa saja, mereka berbeda dalam elektabilitas. Elektabilitas Puan tetap jeblok, sementara elektabilitas Ganjar moncer,”kata Jamiluddin. Bagi dia, dengan perbedaan elektabilitas itu, sampai sekarang masih sulit dirasionalkan. “Mungkin hanya lembaga survei yang dapat menjelaskannya,”ujar dia.
Sementara tentang kekuatan besar di belakang Ganjar, publik melihat ada indikasi tak langsung, katakanlah hint, yang terlalu kuat untuk diabaikan. Tentu belum bisa dijadikan hujjah kuat, apalagi bukti, tapi tak mungkin juga diabaikan begitu saja saking kuatnya indikasi tak langsung tersebut. Apalagi, bukan sekali hal tersebut muncul.
Hal itu beriringan dengan kian lesunya ide “Jokowi Tiga Periode” yang sempat digaungkan laiknya kampanye, namun ditentang mayoritas publik. Apalagi dalam setidaknya dua kali kesempatan hadir di hadapan pendukungnya, Jokowi seperti tak bisa menahan diri untuk memberikan ‘clue’ tentang siapa yang akan didukungnya pada Pilpres 2024. Pertama pada acara Rakernas V Projo di Magelang, Jawa Tengah. Kedua, pada acara Musra di Bandung, Ahad kemarin, secara tak langsung Jokowi menguatkan praduga publik akan dukungannya terhadap Ganjar.
Misalnya, manakala Jokowi mengatakan bahwa sosok capres yang diusung (memang) harus mendapatkan dukungan dari partai politik. Namun, segala pilihan ada pada rakyat pada saat pencoblosan nanti. “Memang kita harus tahu juga bahwa menurut UU, menurut Konstitusi, yang mengusung capres-cawapres itu adalah partai atau gabungan partai. Tapi pada saat pencoblosan yang menentukan gantian adalah rakyat,”kata Jokowi. Bagi sementara pengamat, boleh jadi itu pun bisa diartikan sebagai sindiran halus bagi PDIP yang kukuh mengusung Puan.
Apalagi sebelumnya, lewat cuitan di Twitter, Jokowi mengungkap kriteria pemimpin yang dibutuhkan Indonesia di masa depan. Dia tak spesifik menyebut nama, hanya mengungkap atribut yang harus dimiliki sosok tersebut. “Figur ke depan harus figur yang mau bekerja keras, yang memiliki leadership, kepemimpinan yang kuat dan selalu berpihak pada kepentingan rakyat,”kata Jokowi dalam video di akun Twitter @jokowi, Kamis (25/8) lalu.
Segera saja hal itu disambar Ketua kelompok relawan Jokowi Mania (JoMan), Immanuel Ebenezer, dengan menganggap kriteria calon presiden yang diungkap Jokowi itu merujuk pada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. “Bisa juga ke Mas Ganjar karena saya lihat Mas Ganjar soal leadership, dia bisa diterima seluruh komponen anak bangsa dari Sabang sampai Merauke. Basis kinerjanya juga teruji,”kata Immanuel, sehari setelah pernyataan Jokowi di Twitter-nya itu.
Masalahnya, bijakkah Jokowi dengan ikut cawe-cawe Pilpres 2024, dengan cara mengarahkan para pendukungnya untuk mendukung calon pilihannya? Kepada siapa pun Jokowi meletakkan dukungan, jelas adalah hak beliau sepenuhnya. Tetapi mengarahkan public, memberikan endorsement kepada calon tertentu, meski itu pun merupakan hak beliau, tampaknya kurang elok untuk dilakukan seorang negarawan.
Co-founder Total Politik dan host sebuah acara bincang-bincang di detikcom, Arie Putra, memuji mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengambil sikap untuk tidak ikut mengusung satu pun kandidat capres pada Pilpres 2014. Ia pun berharap Jokowi sebaiknya melakukan hal yang sama di 2024. Menurut Arie, jika Jokowi cawe-cawe dalam pertarungan antarkandidat presiden mendatang, maka semua anggota kabinetnya pun sulit untuk dibendung untuk terlibat. “Gubernur penjabat sampai kepala desa juga akan terseret ke dalam arena,” kata Arie. Ia juga percaya, itu akan membuat kekuatan anti-Jokowi bisa semakin terkonsolidasi.
Singkatnya, Arie lebih menyilakan Jokowi meneladani Presiden Amerika Serikat George Washington, yang memberikan contoh bagi semua presiden di negaranya. Setelah menyelesaikan jabatan, Washington kembali bekerja di perpustakaan pribadinya dan berkebun anggur. Kembali menjadi rakyat, menjalani hidup yang jauh dari panggung politik yang silaunya kadang membuat salah langkah.
Saya sependapat dan mendukung dorongan Arie. Karena saya pun melihat, bila terjadi sebaliknya, yakni manakala secara langsung atau pun tidak Jokowi mendukung, bahkan membantu calon presiden tertentu pada 2024 nanti, bersiaplah mengulang kembali pengalaman buruk negeri ini manakala warga terbelah tajam dalam kekuatan pro dan anti-Jokowi. Bedanya, lain dari 2014 dan 2019, mungkin saja kali ini kekuatan anti itu akan mendapatkan dukungan kelompok warga dan simpatisan PDIP yang pro-Mega.
Tanpa harus diuraikan dengan detil, kita tahu betapa dahsyat efek buruknya pada kehidupan negeri ini, sebagaimana telah kita saksikan dalam hampir satu dekade keterbelahan ini. Setiap pihak akan melakukan dan mencari cara untuk menyerang, mempermalukan, mungkin pula menghabisi lawannya dengan cara se-Machiavelian apa pun.
Indikasi awalnya sudah terlihat kemarin, manakala beredar luas foto Ganjar dan Ferdy Sambo (FS) yang tengah makan (siang) satu meja. Entah kapan terjadinya, yang melihat penampilan keduanya, paling mungkin sekian tahun lalu. Saat itu bisa jadi FS masih menjabat sebagai Kapolres Brebes, wilayah yang berada dalam kewenangan Ganjar. Artinya, konteks yang wajar pun bisa dibuat ‘lain’ seiring waktu dan kepentingan.
Kita yakin, Pak Jokowi akan memilih yang terbaik buat negeri, rakyat dan masa depan Indonesia. [dsy]