Site icon Jernih.co

Gebrakan Menkeu Purbaya dan Gaige Kaifang

Apakah Presiden Prabowo melalui Menkeu Purbaya akan melakukan perubahan ekonomi yang juga tidak main-main? Deng memimpin reformasi di Cina dengan meninggalkan gaya komunisme kuno ala Mao Zedong. Katanya, tidak peduli kucing itu berwarna apa, yang penting dia bisa menangkap tikus. Tidak penting ideologinya, asal efektif menangkap peluang ekonomi dunia. Di sinilah kita melihat ada potensi kesamaannya. Menkeu Purbaya sedang membenahi sistem ekonomi Indonesia untuk mampu “menangkap tikus” demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Oleh     :  M. Jehansyah Siregar*

JERNIH– Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa belum selesai menggebrak. Berita terkini, Menkeu tidak mau APBN ikut menanggung utang proyek Kereta Cepat Whoosh. Menkeu Purbaya mengatakan BP Danantara sebagai holding BUMN harus bisa mengelola utang KCIC karena ada dividen yang diterimanya. Jangan giliran untung ngaku swasta, giliran utang ngaku pemerintah, begitu kata Menkeu.

Meskipun disampaikan dengan nada bicara yang pelan, tapi ada ketegasan di dalamnya. Artinya, BUMN tidak bisa lagi dikelola secara asal-asalan. Sebelumnya, Menkeu Purbaya memberi stempel Pertamina yang malas membangun kilang. Salah satu BUMN terbesar ini jelas-jelas merugikan negara karena membebani APBN hingga beribu-ribu triliun subsidi selama bertahun-tahun.

Bagaimanapun, gebrakan Menkeu Purbaya di Pertamina dan KAI, setelah sebelumnya di Bank Indonesia, menyadarkan semua pihak betapa sentralnya kekuasaan seorang Menteri Keuangan. Dia bisa mendorong bank-bank Himbara untuk mengucurkan kredit dengan penempatan dana pemerintah. Menkeu juga akan mengganti direksi BUMN karena dia pengawas BUMN. Belum lagi jika dia perintahkan Dirjen Kekayaan Negara untuk menagih pemanfaatan barang milik negara ke seluruh Lembaga, Kementerian dan BUMN. Jika uang negara dan aset negara tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, Menkeu bisa menariknya kembali. Jadi Menkeu Purbaya akan benar-benar berperan sebagai pengelola semua bentuk kekayaan negara.

Gebrakan Menkeu inilah yang harus dibaca sebagai arah kebijakan yang digariskan oleh Presiden Prabowo. Sejenak fenomena ini mengingatkan penulis pada reformasi ekonomi yang dijalankan Deng Xiaoping di Cina. Apakah Presiden Prabowo melalui Menkeu Purbaya akan melakukan perubahan ekonomi yang juga tidak main-main? Deng memimpin reformasi di Cina dengan meninggalkan gaya komunisme kuno ala Mao Zedong. Dia merasakan denyut globalisasi dunia dan membuat kebijakan pintu terbuka untuk mengundang investasi. Katanya, tidak peduli kucing itu berwarna apa, yang penting dia bisa menangkap tikus. Tidak penting ideologinya, asal efektif menangkap peluang ekonomi dunia.

Di sinilah kita melihat ada potensi kesamaannya. Menkeu Purbaya sedang membenahi sistem ekonomi Indonesia untuk mampu “menangkap tikus” demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Rasanya angin segar seperti itu yang sedang dihembuskan Menkeu Purbaya. Lengkap dengan nyinyiran para ekonom tradisional dan bantahan dari pejabat-pejabat “gaya lama” yang kesiangan. Persis pula seperti bantahan para Maoist di Cina terhadap manuver-manuver Deng Xiaoping. Para pejabat status quo memang selalu merasa terancam dari zona nyamannya sendiri. Tapi di sinilah pentingnya Indonesia belajar dari reformasi di Cina maupun seperti Glasnost di Uni Soviet. Reformasi yang diusung Menkeu Purbaya itu harus fundamental dan memberi harapan agar bisa melempengkan distorsi Orde Baru dan Orde Reformasi yang tidak pernah berjalan lurus membawa Indonesia pada kemajuan dan kesejahteraan.

Mari kita telaah lagi reformasi di Cina yang dikenal dengan istilah Gaige Kaifang (reformasi dan keterbukaan). Gerakan ini terus berkembang hingga pemerintahan Xi Jinping hari ini yang telah membawa banyak kemajuan di sana.

Pelajaran pertamanya adalah reformasi ekonomi yang dilakukan haruslah bersifat komprehensif dan terpadu. Soal ideologi dianggap sudah selesai. Yang penting “kucing harus mampu menangkap tikus”! Artinya, bangun perekonomian negara harus tangguh, baik dari sisi sistem ekonomi pasar, sistem keuangan negara, hingga sistem kelembagaan negara. Namun sistem yang dinamai “socialist market economy” di negara Cina ini tetap berbeda dengan sistem “liberal market economy” di Barat yang lebih kapitalistik. Malah tampaknya lebih sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 di Indonesia.

Pelajaran kedua adalah penguatan kelembagaan publik dan BUMN secara profesional. Tujuannya untuk menjamin agar administrasi pembangunan berhasil membangun sistem pasar ekonomi sosialis. Dengan bertumpu pada sistem ini, RRC terbukti berhasil mengentaskan sekitar 800 juta penduduknya dari kemiskinan. Sekali lagi, pasar ekonomi sosialis lebih sejalan dengan sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dan amanat Pasal 33 UUD 1945.

Namun sayangnya, Indonesia tidak pernah sungguh-sungguh menjalankan kedua landasan filosofis ekonomi itu. Kini Presiden Prabowo sudah menegaskan, bahwa pemerintah harus mengacu pada Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Dan arahan itulah yang sedang dijalankan Menkeu Purbaya untuk mewujudkan Pasal 33 UUD 1945.

Di dalam mengelola keuangan negara, baik di pusat maupun daerah, aspek kelembagaan yang kuat menjadi perhatian penting di Cina. Salah satunya dengan fokus mereformasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Di masa Mao, BUMN disebut “iron rice ball” karena semua kebutuhan hidup ditanggung negara. Namun buahnya adalah inefisiensi dan kerugian negara yang sangat besar.

Gaige Kaifang membenahi semua kelemahan BUMN itu. Prinsip yang ditegakkan adalah harus ada independensi BUMN di tangan profesional yang berintegritas. Tidak boleh sembarangan memilih direksi dan komisaris, karena BUMN bukan untuk transaksi politik. Gaige Kaifang menyadari bahwa berfungsi efektifnya sebuah BUMN sangat menentukan nasib bangsa yang ingin maju.

Setelah memastikan independensi BUMN, pemerintah Cina lalu mengevaluasinya secara radikal. Yang kecil dan tidak penting diswastanisasi, sedangkan yang membawa misi negara, menjadi fokus untuk dibenahi sebagai korporasi moderen.

Salah satu tantangan besar adalah tidak mudahnya untuk memasukkan prinsip pasar ke dalam BUMN tanpa kehilangan misi dan kendali negara. Jika negara terlalu mengatur, maka BUMN akan terpusat dan mendominasi ekonomi. Tapi jika diliberalisasi dengan prinsip “businesslike”, maka BUMN akan habis dikorupsi dan mengabaikan tujuan mencapai kemakmuran rakyat. Kedua ekstrem ini sama-sama membebani negara.

Sekarang kita lihatlah SAIC Motor yang sukses memajukan pabrikan mobil listrik Cina untuk bersaing di tingkat global. Ini membuktikan keberhasilan Gaige Kaifang yang menempatkan peran negara secara strategis dalam persaingan pasar mobil dunia.

Begitu juga dengan panil tenaga surya dan produk elektronik yang mengguncang dunia dengan produksi berskala besar dan harganya yang murah.  Cina menjadikan BUMN sebagai alat untuk memajukan industri dalam negeri, baik melalui transfer teknologi maupun joint venture dengan pabrikan AS, Jepang dan Eropa. Dengan dukungan BUMN, riset, keringanan pajak dan infrastruktur negara, RRC melakukan strategi lompat katak untuk mendominasi produksi otomotif dan elektronik global. Jika meningkatnya jumlah kelas menengah sebagai pasar penarik investasi itu mampu memajukan industri otomotif dan elektronik, maka bidang perumahan dan properti belum terlalu berhasil di Cina.

Meski sudah berhasil membangun kota-kota industri yang melejitkan pertumbuhan ekonomi, namun di sektor properti ini, BUMN di Cina terlalu agresif membangun. Terutama pemerintah daerah yang mengandalkan pendapatan dari ledakan bisnis properti.

Kini mereka belajar dari Jepang dan Singapura, dimana BUMN properti di Cina sekarang berupaya mengempiskan gelembung kredit dan memperbanyak pembangunan public housing sebagai strategi stabilisator pasar. Berbagai capaian itu membuktikan bahwa RRC tidak berada di posisi menentang pasar, namun menjadikan BUMN sebagai kanal-kanal yang mengalirkan berbagai kekuatan pasar demi mencapai tujuan negara. Sedangkan berbagai strategi “menangkap tikus” harus selalu diasah seperti mengendalikan pintu-pintu air di kanal.

Akhirnya, Gaige Kaifang yang bukan “omon-omon” inilah yang membuat kita paham betapa pentingnya pemberantasan korupsi. Mengapa? Karena peluang ekonomi yang semakin dibuka membuat potensi korupsi juga meningkat. Investasi asing dibuka lebar, bisnis swasta juga didorong, namun koruptor melihatnya sebagai peluang korupsi yang semakin enak. Berbagai perizinan dan belanja negara yang meningkat akan semakin potensial untuk dikorupsi.

Tapi pemerintah Cina sudah tahu isi pikiran para koruptor itu. Makanya diterapkan hukuman mati bagi para koruptor untuk mengawal reformasi ekonomi secara komprehensif. Itulah pelajaran ketiga dari Cina untuk Indonesia. Karena cukup mengherankan, di Indonesia ekonomi tumbuh sejak Orde Baru dan Orde Reformasi, tapi kok korupsi semakin semarak?

Akhir kata, kita melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih sangat menjanjikan. Tapi keterbukaan investasi dan industrialisasi harus diiringi oleh reformasi yang sungguh-sungguh. Ratusan juta penduduk masih menunggu untuk diangkat nasibnya dari lembah kemiskinan. Semoga pelajaran dari kemajuan RRC yang dimulai dari Gaige Kaifang di masa Deng Xiaoping dulu, bisa memberi inspirasi bagi arah baru pembangunan ekonomi yang dikelola oleh Menkeu Purbaya. Kita berharap, di bawah komando Presiden Prabowo, Indonesia bisa terbebas dari keterpurukan yang selalu berulang, untuk menjadi bangsa yang maju dan sejahtera serta menjadi pemain utama dalam perekonomian tingkat dunia. Aamiin yaa Allah. []

*M. Jehansyah Siregar, Ph.D; Staf Pengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangana Kebijakan, SAPPK-ITB

Exit mobile version