Jernih.co

Indonesia BRICS: Risiko dan Peluang

Salah satu risiko utama adalah potensi konfrontasi dengan Amerika Serikat. Dedolarisasi, salah satu agenda utama BRICS, bertujuan untuk mengurangi dominasi dolar AS dalam perdagangan internasional. Langkah ini, meskipun ambisius, menghadapi tantangan besar. Sistem perdagangan global saat ini sangat tergantung pada dolar AS, baik sebagai mata uang cadangan maupun alat pembayaran utama.

Oleh     :   Radhar Tribaskoro*

JERNIH– Keputusan Indonesia untuk bergabung sebagai anggota penuh BRICS pada 6 Januari 2025, sebagaimana diumumkan oleh Kementerian Luar Negeri Brasil, menandai langkah penting dalam strategi geopolitik dan ekonomi negara ini.

Langkah ini mencerminkan ambisi Indonesia untuk memperluas pengaruh globalnya di tengah pergeseran tatanan dunia menuju multipolarisme. Keanggotaan ini membuka berbagai peluang strategis, seperti akses ke kerja sama multilateral, penguatan posisi geopolitik, serta diversifikasi hubungan ekonomi. Namun, langkah ini juga membawa risiko signifikan, termasuk potensi konflik dengan negara-negara maju, tekanan dari Amerika Serikat, dan tantangan dalam menavigasi tatanan global yang semakin kompleks.

Peluang

Sebagai organisasi yang dibentuk untuk melawan dominasi negara-negara maju Barat, BRICS menawarkan berbagai peluang bagi Indonesia. Pertama, BRICS memberikan platform bagi Indonesia untuk memperkuat hubungan ekonomi dengan negara-negara berkembang lainnya. New Development Bank (NDB), salah satu lembaga utama BRICS, menyediakan alternatif pendanaan pembangunan yang lebih fleksibel dibandingkan dengan lembaga keuangan Barat seperti IMF dan Bank Dunia. Ini dapat membantu Indonesia mengembangkan infrastruktur tanpa tekanan kebijakan yang sering menyertai pinjaman dari lembaga-lembaga Barat.

Kedua, keanggotaan ini membuka peluang untuk diversifikasi perdagangan internasional. Dengan memperluas hubungan dagang ke negara-negara anggota BRICS, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Hal ini penting mengingat ketidakpastian ekonomi global yang sering dipengaruhi oleh fluktuasi kebijakan di negara-negara maju.

Ketiga, BRICS memungkinkan Indonesia memainkan peran lebih besar dalam pembentukan tatanan global yang lebih inklusif. Sebagai anggota G20, Indonesia sudah memiliki pengalaman dalam diplomasi multilateral. Dengan bergabung dalam BRICS, Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai penghubung antara negara maju dan berkembang, serta memajukan agenda global yang lebih adil.

Risiko dan Dilema

Meski memiliki peluang, keanggotaan dalam BRICS juga membawa sejumlah risiko. Salah satu risiko utama adalah potensi konfrontasi dengan Amerika Serikat. Dedolarisasi, salah satu agenda utama BRICS, bertujuan untuk mengurangi dominasi dolar AS dalam perdagangan internasional. Langkah ini, meskipun ambisius, menghadapi tantangan besar. Sistem perdagangan global saat ini sangat tergantung pada dolar AS, baik sebagai mata uang cadangan maupun alat pembayaran utama.

Apabila Indonesia terlibat aktif dalam agenda dedolarisasi ini, ada kemungkinan AS merespons dengan langkah-langkah ekonomi yang merugikan, seperti pengenaan tarif atau sanksi dagang. Ini dapat berdampak buruk pada ekspor Indonesia ke pasar AS, yang merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Produk-produk utama seperti tekstil, karet, dan elektronik dapat terkena imbasnya, yang pada akhirnya memengaruhi ekonomi domestik.

Selain itu, dedolarisasi sendiri adalah agenda yang sulit direalisasikan. Meskipun BRICS telah membahas penggunaan mata uang lokal untuk perdagangan intra-anggota, implementasinya menghadapi kendala struktural. Sebagai contoh, mata uang anggota BRICS seperti rupee India atau yuan Tiongkok belum memiliki stabilitas dan kepercayaan yang setara dengan dolar AS. Upaya untuk menciptakan mata uang bersama juga memerlukan konsensus politik dan ekonomi yang sulit dicapai, mengingat perbedaan kepentingan di antara anggota BRICS.

Risiko lainnya adalah potensi keretakan hubungan dengan lembaga-lembaga internasional mereka seperti IMF, Bank Dunia, dan OECD. Indonesia selama ini telah menjadi mitra strategis lembaga-lembaga tersebut dan memperoleh manfaat signifikan dari dukungan mereka, baik dalam bentuk pendanaan maupun bantuan teknis. Langkah yang dianggap terlalu memihak BRICS dapat menimbulkan ketegangan yang merugikan hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga ini.

Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum internasional, seperti G20, IMF, Bank Dunia, dan kini BRICS, menunjukkan strategi diplomasi yang tampak oportunistik. Indonesia berusaha memanfaatkan setiap peluang untuk memperkuat posisi ekonominya di panggung global. Namun, pertanyaannya adalah apakah strategi ini realistis dan bijaksana?

Pendekatan multi-arah ini dapat memberikan fleksibilitas bagi Indonesia dalam memilih opsi terbaik untuk kepentingannya. Namun, terlalu banyak bermain di berbagai forum dapat menimbulkan persepsi bahwa Indonesia tidak memiliki komitmen yang jelas. Negara-negara lain mungkin mulai meragukan keseriusan Indonesia dalam mendukung agenda tertentu, yang dapat melemahkan posisi diplomatiknya. Selain itu, ada risiko bahwa fokus yang terlalu tersebar akan menghambat efektivitas kebijakan luar negeri Indonesia.

Ambisi Indonesia untuk bergabung dengan OECD adalah bagian dari upaya untuk meningkatkan statusnya sebagai negara maju. OECD, yang beranggotakan negara-negara dengan ekonomi maju dan sistem pemerintahan yang stabil, dianggap sebagai simbol keberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Keanggotaan OECD dapat meningkatkan kredibilitas Indonesia di mata investor internasional, serta memberikan akses ke pengetahuan dan praktik terbaik dalam pengelolaan ekonomi.

Namun, bergabung dengan OECD memerlukan komitmen untuk menerapkan reformasi yang signifikan di berbagai sektor, termasuk perpajakan, pasar tenaga kerja, dan tata kelola pemerintahan. Reformasi ini sering kali menghadapi resistensi politik di dalam negeri, sehingga tantangan untuk memenuhi standar OECD tidaklah kecil. Di sisi lain, BRICS memberikan fleksibilitas yang lebih besar karena fokusnya adalah pada kerja sama di antara negara-negara berkembang tanpa banyak persyaratan reformasi.

BRICS atau OECD?

Pertanyaan tentang apakah lebih baik bagi Indonesia untuk menjadi anggota BRICS atau OECD tidak memiliki jawaban tunggal, karena kedua organisasi ini menawarkan manfaat dan tantangan yang berbeda. Keanggotaan BRICS memberikan akses ke pasar negara-negara berkembang yang tumbuh pesat, serta peluang untuk mengurangi ketergantungan pada negara-negara maju. Namun, keterlibatan aktif dalam agenda-agenda kontroversial seperti dedolarisasi dapat membawa risiko geopolitik yang signifikan.

Di sisi lain, keanggotaan OECD menawarkan keuntungan dalam bentuk peningkatan kredibilitas dan akses ke sumber daya pengetahuan. Namun, untuk mencapai keanggotaan ini, Indonesia harus memenuhi standar seperti good governance, komit kepada demokrasi dan ekonomi pasar, punya kebijakan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan, mempraktekan perdagangan bebas, berkontribusi dalam pembangunan global, punya kebijakn lingkungan yang kuat dan standar hidup yang tinggi. Sampai sekarang hanya 38 negara yang berhasil menjadi anggota OECD, dari Asia hanya Jepang dan Korea. Indonesia bertekad bisa menembus organisasi negara elit ini pada 2028, untuk itu Indonesia harus menghadapi tantangan domestik yang tidak kalah beratnya, seperti reformasi ekonomi dan penguatan institusi demokrasi.

Idealnya, Indonesia tidak perlu memilih antara BRICS dan OECD, tetapi memanfaatkan kedua forum ini secara strategis. Dengan memainkan peran sebagai jembatan antara negara maju dan berkembang, Indonesia dapat memaksimalkan peluang dari kedua sisi. Namun, ini memerlukan strategi diplomasi yang cermat dan konsistensi dalam menjaga hubungan baik dengan semua mitra internasional.

Apa yang Harus Dilakukan?

Untuk mengoptimalkan manfaat keanggotaan BRICS, Indonesia perlu mengambil pendekatan yang pragmatis. Dalam konteks dedolarisasi, Indonesia sebaiknya tidak terlalu terlibat secara agresif, tetapi mendukung langkah-langkah yang menguntungkan perdagangan intra-BRICS, seperti penggunaan mata uang lokal dalam transaksi tertentu. Pendekatan ini dapat mengurangi risiko konfrontasi dengan AS, sekaligus memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh BRICS.

Jika AS memutuskan untuk memberlakukan tarif terhadap Indonesia, respons yang diperlukan adalah diplomasi yang aktif untuk mengurangi ketegangan. Indonesia juga perlu memperkuat pasar domestik dan diversifikasi perdagangan untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS. Dengan mengembangkan hubungan perdagangan yang lebih erat dengan negara-negara anggota BRICS dan ASEAN, Indonesia dapat menciptakan buffer ekonomi terhadap risiko eksternal.

Selain itu, ambisi Indonesia untuk menjadi anggota OECD tetap relevan, tetapi harus dilakukan dengan perencanaan yang matang. Reformasi ekonomi dan institusi yang diperlukan untuk memenuhi standar OECD harus dilihat sebagai investasi jangka panjang yang juga bermanfaat bagi pembangunan nasional. Indonesia perlu menunjukkan komitmen nyata terhadap demokrasi, transparansi, dan supremasi hukum, yang merupakan nilai-nilai inti OECD.

Kesimpulan

Keanggotaan Indonesia dalam BRICS membuka peluang besar untuk memperkuat posisi geopolitik dan ekonominya di tengah tatanan global yang semakin multipolar. Namun, langkah ini juga membawa risiko yang tidak dapat diabaikan, termasuk potensi konflik dengan negara-negara maju dan tekanan geopolitik dari AS. Dedolarisasi, meskipun ambisius, tetap sulit direalisasikan dalam waktu dekat, sehingga Indonesia perlu mengambil pendekatan yang hati-hati dalam mendukung agenda ini.

Strategi oportunistik Indonesia dalam berbagai forum internasional dapat menjadi keuntungan jika dikelola dengan baik, tetapi juga berisiko menciptakan persepsi bahwa Indonesia tidak memiliki arah kebijakan yang jelas. Ambisi untuk bergabung dengan OECD adalah langkah yang positif, tetapi harus dilakukan dengan persiapan yang matang dan tidak mengorbankan hubungan baik dengan BRICS.

Pada akhirnya, keberhasilan Indonesia dalam menghadapi tantangan ini bergantung pada kemampuan untuk memadukan pragmatisme dengan visi strategis. Dengan memainkan peran sebagai penghubung antara negara maju dan berkembang, serta menjaga keseimbangan dalam kebijakan luar negeri, Indonesia dapat memanfaatkan peluang yang ada sambil meminimalkan risiko. Keanggotaan dalam BRICS, G20, dan OECD bukanlah tujuan akhir, tetapi alat untuk mencapai visi Indonesia sebagai negara yang maju, inklusif, dan berdaya saing di panggung global. []

* The BRAIN Institute

Exit mobile version