Pribadi-pribadi boleh saja terlahir kembali bak embun suci, namun relung kehidupan negara tempat mereka bertahan, boleh jadi ruang yang cemar. Jelang penampakan hilal, langit suci diuapi kekotoran bumi dari merebaknya praktik korupsi, noda integritas penyelenggara negara, sengkarut Pemilu, hingga hedonisme, konsumerisme dan eksibisionisme di tengah lautan kemis-kinan
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, ibarat bening embun yang terperangkap di daun lusuh, kepulangan kita ke Idul Fitri acapkali melahirkan situasi ‘kesucian’ yang riskan.
Pribadi-pribadi boleh saja terlahir kembali bak embun suci, namun relung kehidupan negara tempat mereka bertahan, boleh jadi ruang yang cemar.
Jelang penampakan hilal, langit suci diuapi kekotoran bumi dari merebaknya praktik korupsi, noda integritas penyelenggara negara, sengkarut Pemilu, hingga hedonisme, konsumerisme dan eksibisionisme di tengah lautan kemiskinan.
Walhasil, kita tak cukup menjadi suci secara pribadi, tetapi yang lebih penting bagaimana kesucian itu bisa jadi wahana penyucian kehidupan negara.
Di satu sisi kita harus tetap menjaga sikap hidup positif dan optimis. Psikolog David D Burn mengingatkan bahwa ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh belenggu pesimisme, daya hidupnya dilumpuhkan oleh jeratan 4D—defeated (rasa pecundang), defective (rasa cacat), deserted (rasa hampa diabaikan) dan deprived (rasa tercerabut)—yg dihayati seolah sebagai kenyataan sejati.
Di sisi lain, optimisme tersebut haruslah bersifat realistis, bahwa kegembiraan tidaklah datang dengan sendirinya sebagai tiban. Usaha penyucian harus menyentuh simpul terlemah yang menjadi pangkal kemerosotan sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi Muhammad SAW, dalam jalan pertobatan hal-hal negatif masih bisa dimaafkan sejauh tak melakukan ‘kebohong-an’. Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita bermula.
Di negara ini, kebohongan koruptif telah menjelma menjadi pilar utama negara. Kebohongan itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik proseduralisme yang mengabaikan substansi politik dan nalar sehat, serta rekayasa statistika untuk membedaki realitas sesungguhnya. “Korupsi setiap pemerintahan,” ujar Montes-quieu, “selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan aturan permainan.”
Inilah saatnya, kebaikan pribadi harus memiliki komitmen untuk memperkuat etika sosial. Idul Fitri mengajak manusia kembali ke asal fitrah kemurnian manusia sebagai makhluk pencari makna. Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang pertobatan kolektif, kita hadapi krisis kebangsaan dengan kembali ke fitrah akhlak dan cita negara. [ ]