Itulah potret negeri ini ketika pengelolaan negara diperlakukan sebagai bancakan kekuasaan. Sumber daya publik dijarah berjamaah, jabatan jadi komoditas, dan kebijakan publik direduksi menjadi alat kepentingan kelompok. Segala “pembenahan” kecil—penambahan UU, reshuffle, program tertentu dengan slogan baru—tak ubahnya seperti merapikan kursi Titanic: menghibur sejenak, namun tidak mengubah nasib.
Oleh : Rahmat Mulyana
JERNIH-Bayangkan kita berada di geladak Titanic, kapal megah yang pernah dipuja sebagai keajaiban teknologi. Ketika lambungnya telah terkoyak gunung es dan air dingin perlahan memenuhi ruang bawah, sebagian awak kapal justru sibuk merapikan kursi di dek. Kursi mungkin terlihat lebih rapi, penumpang seolah lebih nyaman, tetapi realitasnya: kapal itu tetap akan tenggelam. Upaya itu hanyalah perbaikan kosmetik di tengah bencana struktural.
Itulah potret negeri ini ketika pengelolaan negara diperlakukan sebagai bancakan kekuasaan. Sumber daya publik dijarah berjamaah, jabatan jadi komoditas, dan kebijakan publik direduksi menjadi alat kepentingan kelompok. Segala “pembenahan” kecil—penambahan UU, reshuffle, program tertentu dengan slogan baru—tak ubahnya seperti merapikan kursi Titanic: menghibur sejenak, namun tidak mengubah nasib. Kita terjebak dalam ilusi perbaikan minor ketika arus besar kerusakan sudah menenggelamkan fondasi.
Transformasi sejati hanya mungkin bila kepemimpinan berubah paradigma: mengurus negeri sebagai ibadah, bukan sekadar profesi atau perebutan rente. Mengelola kekuasaan harus dilandasi keyakinan bahwa balasan hakiki bukan dalam bentuk materi atau popularitas, melainkan ridha Allah dan ganjaran di kampung akhirat. Nilai ini bukan sekadar jargon religius; ia adalah fondasi moral yang mengikat integritas, menundukkan ambisi pribadi di bawah kepentingan umat, dan menyalakan kembali etos pengabdian.
Selama para pemimpin—baik politikus, birokrat, maupun pelaku ekonomi—tidak menempatkan pengelolaan negara dalam bingkai spiritualitas dan pertanggungjawaban ilahiah, segala program reformasi hanya akan menjadi kosmetik.
Kita akan terus menyaksikan pergantian wajah, bukan perubahan hakikat. Negeri ini butuh keberanian melampaui perbaikan prosedural: membangun tata kelola berbasis amanah, memperkuat sistem meritokrasi, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa setiap kebijakan adalah titipan amanah Tuhan.
Merapikan kursi di Titanic hanyalah simbol dari keengganan melihat kenyataan. Jika kita tetap sibuk dengan polesan permukaan sementara lambung kebangsaan bocor, sejarah akan mencatat bahwa kita gagal menyalakan lentera kepemimpinan sejati. Saatnya berhenti menata kursi dan mulai menambal kapal—dengan integritas, keberanian moral, dan orientasi ibadah—sebelum bangsa ini karam di lautan sejarah. [ ]
