Jernih.co

Mewujudkan Pembangunan yang Lebih Adil dan Inklusif: Analisis Terhadap Empat Poin Jokowi di Forum Tingkat Tinggi di Bali, September 2024

Empty rhetoric, conceptual illustration.

Pernyataan bahwa Indonesia dapat mempercepat pencapaian SDGs global dengan menjadi “jembatan” juga mengandung logical fallacy jenis False Cause. Hanya karena Indonesia berkomitmen untuk menjadi jembatan antara negara-negara Selatan dan Utara, tidak berarti ini secara otomatis akan mempercepat pencapaian SDGs di tingkat global

Oleh     :  Rahmat Mulyana*

JERNIH– Pada Forum Tingkat Tinggi Kemitraan Multipihak (HLF-MSP) dan Forum Indonesia-Afrika (IAF) Ke-2 yang digelar di Bali, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan empat poin utama yang dianggap penting dalam mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan inklusif bagi negara-negara berkembang.

Keempat poin tersebut meliputi: fokus pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), komitmen Indonesia sebagai solusi global, kemitraan dengan Afrika, dan pentingnya menghidupkan kembali solidaritas global. Meskipun visi yang disampaikan Presiden Jokowi tampak ambisius dan inspiratif, analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa pernyataan tersebut mengandung berbagai kelemahan dan kesalahan logika yang signifikan.

Rahmat Mulyana

1. Fokus pada SDGs: terlalu umum dan ambigu

Pernyataan pertama Jokowi bahwa pencapaian target SDGs harus menjadi fokus utama pembangunan global merupakan pandangan yang patut diapresiasi. Namun, masalah utama dari pernyataan ini adalah sifatnya yang terlalu umum dan ambigu.

SDGs terdiri dari 17 tujuan dengan 169 target yang mencakup berbagai aspek pembangunan, mulai dari pengentasan kemiskinan, kesetaraan gender, hingga aksi iklim. Mengatakan bahwa fokus harus pada SDGs tanpa menjelaskan prioritas atau langkah-langkah konkret untuk mencapainya, membuat pernyataan tersebut kehilangan kejelasan dan arah.

Selain itu, penggabungan antara SDGs dan agenda pembangunan nasional atau regional, seperti Agenda 2063 Afrika, memerlukan penjelasan yang lebih rinci tentang bagaimana integrasi tersebut akan dilakukan. Tanpa peta jalan yang jelas, komitmen ini bisa berakhir hanya sebagai janji politik yang tidak memiliki dampak nyata. Sebagai contoh, data dari United Nations Economic Commission for Africa (UNECA) menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan dalam beberapa indikator SDGs di Afrika, kemajuan keseluruhan masih jauh dari target yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa sekadar menetapkan SDGs sebagai fokus tidak cukup; diperlukan strategi implementasi yang lebih terukur dan terfokus.

 2. Indonesia sebagai solusi global: berlebihan dan tidak didukung data

Poin kedua yang disampaikan Jokowi, yaitu bahwa Indonesia berkomitmen menjadi bagian dari solusi global dengan membela kepentingan negara-negara Selatan dan bertindak sebagai jembatan dalam memperjuangkan kesetaraan, keadilan, dan solidaritas, adalah pernyataan yang ambisius namun kurang didukung oleh data yang memadai. Sementara Indonesia memang memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang, terutama sejak Konferensi Asia-Afrika 1955, peran Indonesia sebagai “bridge builder” dalam konteks global saat ini tampaknya dilebih-lebihkan.

Dalam kenyataannya, Indonesia masih menghadapi tantangan domestik yang signifikan, seperti kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan korupsi, yang memerlukan perhatian dan sumber daya yang besar. Menurut laporan dari Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada tahun 2023 berada pada posisi ke-102 dari 180 negara, menunjukkan bahwa masalah domestik masih sangat mendesak. Dalam situasi ini, ambisi untuk menjadi solusi global mungkin tampak tidak realistis dan dapat mengalihkan fokus dari tantangan internal yang memerlukan solusi segera.

Selain itu, pernyataan bahwa Indonesia dapat mempercepat pencapaian SDGs global dengan menjadi “jembatan” juga mengandung logical fallacy jenis False Cause. Hanya karena Indonesia berkomitmen untuk menjadi jembatan antara negara-negara Selatan dan Utara, tidak berarti ini secara otomatis akan mempercepat pencapaian SDGs di tingkat global. Ada banyak faktor lain yang mempengaruhi pencapaian SDGs, termasuk kebijakan domestik di masing-masing negara, ketersediaan sumber daya, dan kapasitas kelembagaan.

3. Kemitraan dengan Afrika: generalisasi yang terlalu cepat

Kemitraan dengan Afrika yang dianggap Jokowi sebagai kunci agenda pembangunan global merupakan ide yang menarik, namun memerlukan analisis yang lebih hati-hati. Jokowi mencatat bahwa kemitraan ini telah meningkatkan volume perdagangan dan menghasilkan kesepakatan bisnis senilai 3,5 miliar dolar AS pada Forum Indonesia-Afrika tahun ini. Meskipun ini adalah perkembangan yang positif, menganggap bahwa peningkatan volume perdagangan dengan Afrika secara otomatis akan membawa keadilan dan inklusivitas adalah bentuk Hasty Generalization.

Hubungan perdagangan, meskipun penting, hanyalah satu aspek dari pembangunan. Untuk benar-benar mewujudkan pembangunan yang adil dan inklusif, diperlukan pendekatan yang lebih holistik yang mencakup transfer teknologi, penguatan kapasitas lokal, dan kebijakan yang memastikan distribusi manfaat ekonomi yang lebih merata.

Data dari World Bank menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan dalam perdagangan antara Afrika dan negara-negara berkembang lainnya, banyak negara di Afrika masih mengalami ketimpangan ekonomi yang signifikan. Oleh karena itu, perdagangan saja tidak cukup untuk mengatasi masalah ini tanpa disertai kebijakan dan program yang komprehensif.

4. Menghidupkan solidaritas global: retorika yang tidak realistis

Poin terakhir Jokowi tentang pentingnya menghidupkan kembali solidaritas global untuk meningkatkan kerja sama Selatan-Selatan dan Utara-Selatan, meskipun idealis, tampak kurang realistis dalam konteks politik global saat ini.

Solidaritas global adalah konsep yang menarik, namun tantangan nyata di lapangan sering kali melibatkan perbedaan kepentingan nasional, politik ekonomi yang kompleks, dan ketidaksetaraan dalam kekuasaan global. Menekankan solidaritas global tanpa mengakui realitas ini bisa dianggap sebagai Appeal to Emotion, sebuah upaya untuk meraih dukungan moral tanpa menawarkan solusi yang nyata.

Data dari International Monetary Fund (IMF) menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk memperkuat kerja sama global, ketimpangan ekonomi antara negara-negara maju dan berkembang masih sangat besar. Misalnya, pendapatan per kapita di negara-negara maju bisa lebih dari 10 kali lipat dibandingkan dengan negara-negara berkembang.

Dalam konteks ini, solidaritas global mungkin terdengar baik di atas kertas, tetapi implementasinya di lapangan akan sangat sulit tanpa perubahan struktural yang signifikan dalam tatanan ekonomi global.

Pernyataan Jokowi di Forum Bali memang menekankan isu-isu yang penting dalam pembangunan global. Namun, tanpa strategi yang jelas, indikator keberhasilan yang konkret, dan pengakuan atas tantangan yang ada, pernyataan tersebut cenderung menjadi retorika yang tidak realistis. Selain itu, terdapat beberapa kesalahan logika yang memperlemah argumen tersebut. Untuk benar-benar mewujudkan pembangunan yang adil dan inklusif, diperlukan pendekatan yang lebih realistis, terukur, dan didukung oleh data serta kebijakan yang komprehensif. [  ]

*Dosen IAI Tazkia dan Associate INDEF

Exit mobile version