Pada masa ketika disrupsi teknologi jadi normalitas, perusahaan harus memastikan agar adopsi hi-tech bersejalan dengan hi-touch. Dengan teknologi, komunitas bisnis bisa tetap menemukan “rumah”, bukan menyesatkannya ke “pengasingan”.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Apakah berbuat etis itu bisa membawa kemakmuran ekonomi? Ada persepsi di kalangan ahli ekonomi dan manajemen berhaluan positivistik bahwa ekonomi itu ilmu murni dan pasar bekerja di luar moralitas.
Maka pertimbangan etis dalam ranah ini dianggap tak berlaku. Konsekuensinya, pengusaha cenderung meniadakan etika dan perilaku etis dari model bisnis intinya.
Pandangan tersebut keliru. Tak ada ilmu yang bebas nilai, dan bisnis sebagai aktivitas sosial tak bisa lepas dari imperatif moral. Berbuat etis itu menciptakan rasa percaya (trust). Trust menumbuhkan hubungan yang kuat; dan dari hubungan lahirlah nilai (tambah). Bila kita bisa bangun hubungan yg kuat dan berkelanjutan serta mampu menciptakan nilai (tambah) secara efektif dan efisien, tak pelak lagi akan menghasilkan uang. Singkat kata, hidup etis dan bertindak etis itu bukanlah kemewahan yang sia-sia; malahan bisa jadi sumber daya kunci bagi pencapaian keunggulan kompetitif dan kemakmuran yang lebih lestari.
Dalam arus globalisasi dengan intensitas perjumpaan manusia lintas negara, dunia usaha kian mengalami pluralisasi nilai secara eksternal dan internal. Untuk bangun komunitas bisnis yang sehat, perusahaan kian penting menemukan common ground dan memperluas common good, melalui penyatuan keragaman oleh nilai bersama (share values) di bawah platform: “Bhinneka Tunggal Ika“.
Terlebih, telah muncul kesadaran baru bahwa model bisnis yang dikehendaki adalah model holistik. Orientasinya bukan hanya menumbuhkan kekayaan, tapi mendistribusikan kesejahteraan. Tujuannya bukan cuma akumulasi kapital, tapi meraih kebahagiaan. Pada masa ketika disrupsi teknologi jadi normalitas, perusahaan harus memastikan agar adopsi hi-tech bersejalan dengan hi-touch. Dengan teknologi, komunitas bisnis bisa tetap menemukan “rumah”, bukan menyesatkannya ke “pengasingan”.
Berikut saya tampilkan Dewi Susanti dari Shinewing Education and Learning Academy, divisi diklat Shinewing International. Sebuah perusahaan konsultan yang peduli terhadap aspek nilai-budaya perusahaan dalam kerangka keselarasan dalam perbedaan, demi menjadikan perusahaan sebagai rumah kebahagiaan hidup bersama. @dewisusanti17 jadikan karya saya sebagai rujukan dalam program diklatnya. [ ]