Site icon Jernih.co

Pedoman Kepemimpinan

Perdebatan publik di masa polis-polis di Yunani kuno.

Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur perdebatan publik (public deliberation) seperti itulah, peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat semua warga, dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).

Oleh   :  Yudi Latif

JERNIH–Saudaraku, dalam menjalankan kepemimpinan sebagai ikhtiar mentransformasikan kehidupan bangsa dan negara menuju pencapaian kebahagian, keadilan dan kesejahteraan hidup bersama, para pekerja politik dan penyelenggara negara perlu memahami landasan-landasan normatif yang bersifat umum dan khusus.

Landasan umum dalam pengelolaan politik-kenegaraan meliputi beberapa segi. Pertama, setiap pekerja politik dan penyelenggara negara perlu memahami hakikat politik sebagai seni mengelola kebaikan dan kemaslahatan  hidup bersama lewat jalan-jalan deliberatif (permusyawaratan) yang damai; bukan seni memperjuang-kan kepentingan pribadi lewat jalan-jalan kekerasan, pemaksaan dan kerakusan.

Yudi Latif

Kedua, pekerja politik dan penyelenggara negara harus memiliki ‘Modal Moral’ (Moral Capital). Moral di sini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan hanya potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik.

Alhasil, bukan sekedar kualitas moral individual, namun juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat (Kane, 2001).

Ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan memobilisasi ”moral capital” secara politik:

-Basis moralitas; menyangkut nilai-nilai, tujuan serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya.

-Tindakan politik; menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya.

-Keteladanan; menyangkut contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik.

-Komunikasi politik; kemampuan seorang pemimpin untuk mengkomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitas dalam bentuk bahasa politik yang efektif, yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas masyarakat.

Ketiga, pekerja politik dan penyelenggara negara harus memiliki komitmen pelayanan. Komitmen pelayanan ini berjejak pada basis legitimasi negara pelayan yang bersumber pada empat jenis responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, serta keadilan-perdamaian. Para pendiri bangsa secara visioner menempatkan keempat basis legitimasi negara pelayan itu pada misi (tujuan) negara sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Keempat, pembuatan kebijakan publik harus memenuhi setidaknya empat prinsip utama:

-Kemasukakalan, efisiensi, keadilan, dan kebebasan. Kebijakan publik harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat pada pemerintah.

Kelima, kebijakan publik harus berpihak pada tiga pokok kemaslahatan publik (public goods): legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif.

Basis legitimasi dari institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara imparsial. Klaim ini bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil secara prinsip terbuka bagi proses-proses perdebatan publik (public deliberation), yang bersifat: bebas, imparsial, setara, rasional dan berwawasan jauh ke depan.

Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah, peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat semua warga, dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).

Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan, bahwa ujung pencapaian nilai-nilai ideal kebangsaan harus bermuara pada ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Negara kesejahteraan yang berkeadilan dan berkemakmuran menjadi pertaruhan dari kesaktian Pancasila.

Kebijakan publik harus memperkuat dan menyandarkan diri pada nilai-nilai identitas kolektif, sebagai landasan normatif yang bersifat khusus yang berlaku di suatu negara. Dalam konteks Indonesia, identitas kolektif ini tersimpul dalam Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan kepribadian nasional. [  ]

Exit mobile version