Namun jangan salah, ada langkah paralel yang juga dilakukan Jusuf Kalla. Ibarat resi turun gunung manakala buana panca tengah mengalami gonjang-ganjing dan pepak oleh ketidakadilan dan durjana dalam cerita pewayangan, JK dikabarkan baru-baru ini telah bertemu mantan Presiden SBY di Cikeas. Sumber Jernih mengatakan, kedatangan JK menemui SBY dalam konteks meloby agar Demokrat dapat menerima paket Anies-Andika. Untuk Demokrat sendiri, JK disebut-sebut menawarkan posisi sangat strategis di kabinet.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Sesegera Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) terbentuk, sesungguhnya publik pun seketika sadar bahwa para tokoh politik unggulan pun otomatis bisa di’taksonomi’ menjadi dua golongan besar: para calon presiden-calon wakil presiden, dan mereka yang berharap menjadi calon presiden-calon wakil presiden.
Pasalnya, kesigapan ketiga elemen KIB, yakni Partai Golkar, PAN dan PPP bergabung dalam kerja sama politik, menyadarkan publik politik Indonesia bahwa bagaimanapun ada presidential threshold 20 persen yang menjadi tembok besar penghadang mereka yang berhasrat menjadi calon dua posisi eksekutif tertinggi tersebut. Perasaan public, apalagi fans tokoh-tokoh tertentu yang selama ini digoyang-dimainkan lembaga survey—yang tidak jarang juga bagian dari tim sukses—yang mengalami eforia, kelebihan pede dan mungkin saja megalomania, kembali waras.
Terbentuknya KIB tak bisa dinafikan telah pula membuat sinar tokoh-tokoh yang sebelumnya merajai wacana elektabilitas, seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, misalnya, meredup. Prabowo memang punya partai, Gerindra, namun suaranya masih kurang secara signifikan dari persyaratan. Ganjar terhambat karena PDIP sangat mungkin tidak akan memilihnya dengan adanya ‘calon mahkota’ yang lain. Belakangan, dengan sekian banyak peristiwa politik, apalagi pernyataan resmi Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri di Rakernas PDIP beberapa hari lalu, peluang Ganjar kian ciut dan lesu. Apalagi peluang para ‘ronin’ tak berpartai, seperti Anies dan Ridwan Kamil.
Namun sejak pekan lalu, sinar Anies dan Ganjar kembali mencorong, serta merta setelah Partai Nasdem mengumumkan tiga nama kandidat bakal calon presiden (bacapres) 2024, sebagai hasil Rapat Kerja Nasional partai itu. Ada tiga nama yang disebut Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, tanpa melakukan pemeringkatan, yakni Anies Baswedan, Andika Perkasa dan Ganjar Pranowo.
Belakangan, tambahan daya buat kian bersinarnya Anies bahkan makin menguat. Sumber Jernih.co yang memiliki jejaring kuat di Nasdem mengatakan, koalisi antara Nasdem, PKS dan Partai Demokrat sudah bukan lagi harapan, karena kemungkinan besar akan segera terwujud.
Masih ada beberapa persoalan mengganjal, kata sumber tersebut, tapi tampaknya segera bisa dibereskan melalui perbincangan di tingkat elit ketiga partai. Misalnya, kata dia, soal pasangan calon yang akan mereka jagokan. Nasdem dan PKS menyodorkan pasangan Anies-Andika. Sementara Partai Demokrat masih kukuh menginginkan pasangan yang dijagokan adalah Anies-Agus Harimurty Yudhoyono (AHY).
Keterangan sumber tersebut logis seiring beberapa perkembangan mutakhir yang tampaknya sengaja dibuat untuk menjadi sinyal bagi publik. Misalnya, Kamis (23/6) lalu Ketua Umum Partai Demokrat, AHY, bersama jajaran petinggi partai melakukan safari politik ke Partai Nasdem, dan diterima langsung Surya Paloh. Kepada media, AHY menjawab diplomatis tujuan kedatangan dirinya bersama rombongan datang menemui Surya Paloh.
“Tujuannya untuk membangun semangat dan chemistry, menjalin kedekatan antarkedua partai, bagi perjuangan menjawab tantangan-tantangan yang kita hadapi saat ini dan ke depan,”kata AHY. “Alhamdulillah, selesai silaturahmi hari ini,” cuitnya di Twitter-nya kemudian.
Harap dicermati, kedatangan AHY dan rombongan Partai Demokrat ke markas Nasdem itu mengiringi kedatangan rombongan Presiden PKS, Ahmad Syaikhu beserta jajarannya, Rabu lalu, atau sehari sebelumnya.
Namun jangan salah, ada langkah paralel yang juga dilakukan Jusuf Kalla. Ibarat resi turun gunung manakala buana panca tengah mengalami gonjang-ganjing dan pepak oleh ketidakadilan dan durjana dalam cerita pewayangan, JK dikabarkan baru-baru ini telah bertemu mantan Presiden SBY di Cikeas.
Sumber Jernih mengatakan, kedatangan JK menemui SBY dalam konteks meloby agar Demokrat dapat menerima paket Anies-Andika. Untuk Demokrat sendiri, JK disebut-sebut menawarkan posisi sangat strategis di kabinet.
Penulis sendiri cenderung memprediksi bahwa Demokrat akan menerima paket Anies-Andika tersebut. Pasalnya, internal Partai Demokrat pasti akan sangat berhitung, terutama melihat bahwa semua partai kini telah bermanuver ke sana ke mari. Tinggal dan menunggu dalam diam, sembari mengabaikan golden moment, jelas menyia-nyiakan peluang. Demokrat pasti telah merunut pengalaman Partai Golkar di era Aburizal Bakrie (ARB) pada Pilpres 2014 lalu, untuk mengambil pelajaran. Saat itu, kita tahu Golkar yang entah kepedean atau digulung bingung, terlambat menarik atau bergabung dengan partai lain membangun koalisi. Hingga tiba-tiba tersadarkan dirinya tinggal sendiri, dan saat masuk ke dalam koalisi pun seolah tak lagi diberi nilai berarti.
Imbas bagi PDIP
Bila koalisi Nasdem-PKS-Demokrat ini benar-benar terbentuk, semua itu tentu akan mengubah peta perpolitikan nasional, serta membawa imbas langsung kepada PDIP. Langkah yang akan diambil PDIP ini akan menentukan pula berapa pasangan calon presiden-wapres akan terbentuk dalam kontestasi awal Pilpres 2024.
Hingga saat ini, kita sudah bisa memprediksi setidaknya tiga pasangan capres-cawapres kian menggumpal menuju kelahiran. Yang telah pasti adalah pasangan calon dari KIB, siapa pun dia. Kedua, pasangan calon dari PDIP, yang akan menentukan banyaknya pasangan calon yang terbentuk, dan ketiga pasangan calon dari Nasdem-PKS-Demokrat yang diprediksi segera berkoalisi itu.
KIB memiliki tiket mengajukan pasangan calon seiring kepemilikan persentase suara Pemilu 2019 yang memenuhi syarat. Dengan suara Partai Golkar sebesar 12,31 persen, PAN 6,84 persen dan PPP 4,52 persen, total suara 23,67 persen sudah bisa jadi pembeli tiket. PDIP dengan 128 kursi di DPR atau sekitar 22 persen lebih, juga memenuhi syarat untuk sendirian mengajukan pasangan calon. Bila jadi bergabung, Nasdem-PKS-Demokrat memiliki persentase suara hasil Pemilu 2019 sebesar 25,03 persen. Lebih besar dari KIB yang sudah terbentuk.
Mengapa langkah PDIP menurut saya akan menentukan jumlah pasangan calon yang muncul di putaran pertama kontestasi Pilpres? Bila PDIP menggandeng Gerindra dan mencalonkan Prabowo Subianto—bagaimana pun komposisinya bersama Puan Maharani—pasangan calon yang terbentuk tampaknya hanya tiga.
Sejatinya, bila ingin memperlebar basis pemilih, Prabowo adalah pilihan terbaik PDIP. Bagaimanapun selama ini elektabilitas Prabowo menurut lembaga-lembaga survey, lebih sering di atas Ganjar. Selain itu, benar dengan masuknya Prabowo ke dalam cabinet Presiden Jokowi, ada sebagian kalangan Islam yang ‘nehi’ dengan beliau. Tapi pernahkah ada survey yang tegas-tegas mencari tahu seberapa besar proporsinya? Sementara, sangat kasat mata kalau di akar rumput warga Muslim Indonesia, banyak yang tetap loyal kepada Prabowo. Mereka relative bisa diyakinkan bahwa masuknya Prabowo ke kabinet tak lain kecuali sebagai strategi yang masuk akal.
Namun bila PDIP–dengan niat memanfaatkan elektabilitas Ganjar sembari tak hendak mengecewakan Megawati dan nasib partai trah Bung Karno itu ke depan– memasangkan Puan-Ganjar bagaimana pun komposisinya, mungkin saja akan ada empat pasangan calon.
Gerindra dan PKB, yang di hari-hari terakhir ini kian lekat, punya 22,26 persen suara Pemilu 2019. Jelas keduanya sudah punya hak mengajukan calon.
Di sinilah, kembali langkah PDIP akan menentukan nasib politisi yang berhasrat menjadi orang terpenting negeri ini. Paling tidak, mereka adalah Ganjar Pranowo dan Muhaimin Iskandar aka Cak Imin. Bila PDIP memilih Ganjar, gubernur Jawa Tengah itu sudah pasti mengusap dada dengan wajah sumringah. Sementara bila PDIP merekrut Prabowo, boleh jadi Cak Imin menggelosor lesu. [dsy]