Negeri ini tak bisa dikatakan baik-baik saja. Secara jasmaniah bangsa ini tumbuh. Namun, di seantero negeri kualitas pikir mundur, karakter tumpur. Gerak politik kita ke masa depan sekadar mengikuti irama rutinitas. Tak ada kejelasan visi, peta jalan, dan haluan. Tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera. Setiap saat, kapal republik bisa dicegat dan dibelokkan arahnya.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, saat menumpang bahtera Republik yang limbung, jernihkan pikir dan ingatlah pesan Kartini. “Andaikata aku anak laki-laki, aku tak akan berpikir dua kali, untuk segera menjadi pelaut…Kami tak lagi ingin berlayar di atas kapal yang sedang tenggelam; keberanian tangan yang memegang kemudi, dan memompa kebocoran, tentulah telah dapat menyelamatkan kita dari kehancuran.”
Negeri ini tak bisa dikatakan baik-baik saja. Secara jasmaniah bangsa ini tumbuh. Namun, di seantero negeri kualitas pikir mundur, karakter tumpur. Gerak politik kita ke masa depan sekadar mengikuti irama rutinitas. Tak ada kejelasan visi, peta jalan, dan haluan. Tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera. Setiap saat, kapal republik bisa dicegat dan dibelokkan arahnya.
Kita tak bisa terus menunggu. Kita biarkan bangsa ini hancur atau bangkit bertempur. Tanpa keberanian tangan-tangan yang turut meluruskan haluan kapal, kita akan tertinggal kecepatan retakan yang bisa merobohkan keutuhan negeri.
Engkau saksikan sendiri, elit negeri beradu siasat dengan melihat segala sesuatu dari sudut bayangan kepentingan masing-masing. Rakyat kebanyakan hidup tanpa perlindungan berarti dari negara, bak yatim piatu yang ditinggalkan, dikhianati, dan dikorbankan.
Dalam kondisi kerakyatan yatim piatu, bahaya terbesar muncul dari pola pikir ketergantungan dan mentalitas korban yang serba pasif, menanti kedatangan sang juru selamat.
Warga harus bangkit bertempur, menghidupkan etos kepahlawanan dalam dirinya. Dengan menghidupkan jiwa pejuang, warga bisa menjalani kehidupan lebih gigih dan bertenaga, tak lembek membiarkan kejahatan dan pengkhianatan berjalan tanpa perlawanan. Aktif terlibat dalam tarian kehidupan, tak sekadar penonton yang pandainya cuma berteriak, mengumpat, dan mengeluh.
Kalau ada yang paling salah dalam proses pembelajaran politik di negeri ini, tak lain bahwa pahlawan selalu ditempatkan di kesilaman di luar diri, tetapi tak pernah dihadirkan di kekinian di dalam diri. Pahlawan selalu merupakan sesuatu tanda penantian dan kematian, tak pernah menjanjikan kehadiran dan kehidupan.
Saatnya kita jadikan kepahlawanan sebagai sesuatu yang hidup di dalam diri. Sekarang, dan di sini! [ ]