Site icon Jernih.co

Sultan, King dan Juragan

Flexing dibuat bukan cuma karena motif pribadi pelaku yang gemar ‘norak-norak bergembira’, melainkan sebagai bagian teknik persuasi terselubung (covert persuation technique) yang sengaja dirancang dengan tujuan tersembunyi yang lebih berbahaya: menggiring publik agar terbius mimpi dan teler nalar.  Sebuah cuci otak hedotistik dalam skala masif supaya terbentuk himpunan pengikut yang obsesif-kompulsif terhadap cuan. “Sultan Medan” dan “Raja Bandung” yang terbiasa melakukan pump and dump dalam bisnis kotor mereka, kini mengalami sendiri pump and dump atas nasib mereka.

Oleh  : Akmal Nasery Basral*

JERNIH—Tujuh orang—enam pria dan seorang wanita—tampil di sebuah acara spesial satu televisi swasta nasional, Januari 2022. Mereka didapuk sebagai crazy rich, sebutan impor yang diciptakan penulis AS berdarah Tionghoa Singapura, Kevin Kwan, melalui novel “Crazy Rich Asians” (2013). Saat difilmkan lima tahun kemudian dengan aktris Constance Wu dan aktor Henry Golding, hasilnya sebuah tontonan romcom terlaris di penggalan 2010-an. Sejak itu sebutan crazy rich mendunia, menjadi status sosial terbaru paling diburu, termasuk di Indonesia.

Akmal Nasery Basral

Kembali pada tujuh sosok di awal tulisan, mereka punya sebutan lainnya: ‘sultan”’, “king”, “juragan”.  Latar belakang hidup bervariasi. Ada lulusan SD yang mantan buruh bangunan dan tukang parkir; ada mantan pengamen yang pernah menjajal sebuah singing contest beken di televisi; ada perempuan cantik pemilik produk kosmetik yang punya bisnis penyewaan helikopter wisata untuk raun-raun; ada mantan karyawan bank yang mendaku sebagai ‘juragan’ dan hobi pamer foto bareng istri yang juga ‘juragawati’; ada mantan sopir perusahaan penyedia bahan bakar yang bermetamorfosis menjadi politisi; ada yang mundur kuliah kedokteran karena memilih merintis usaha dengan modal menjual mobil pemberian orang tua; dan ada seorang pesohor televisi yang pernah menjadi tahanan badan narkotika nasional.

Yang terakhir ini diperkenalkan oleh pembawa acara–seorang komika perempuan yang lucu dan berlidah setajam belati—dengan teknik roasting yang menyanjung-membanting. “Kalau enam orang crazy rich lainnya beli barang dengan kontan, sultan yang ini beli barang dengan konten. Mulai dari pernikahan dia dengan istri, kelahiran anak pertama, kelahiran anak kedua, semua dijadikan konten.”

Penonton terbahak-bahak—termasuk enam crazy rich lainnya—bak tsunami tawa yang tenggelamkan studio. Sang “Sultan-Apapun-Jadi-Konten” meringis malu. Mati kutu.

K-O-N-T-E-N. Inilah mantra terbaru yang menjadi candu. Semula bermakna netral, sekarang konten berarti ajang pamer level maksimal. Tak jarang dibarengi lelucon arogan dan ucapan merendahkan yang menghina akal. Pamer jenis ini bukan sekadar pamer dan sangat ketinggalan zaman jika cuma disebut ‘pamer’. Maka agar lebih modern dilekatkan sebuah kata baru yang lebih keren: flexing.

Simaklah sebuah contoh flexing di Januari 2021. Seorang ‘sultan’ masih tak bisa tidur meski tetesan embun sudah mengecup mesra bumi pada jam 3 pagi. Tersandera oleh perasaan gabut (bosan) dia kunjungi sebuah toko daring. “Mau beli apa ya? Duit kebanyakan,” katanya cengengesan. Minatnya terkatrol melihat foto mobil listrik Tesla yang bahenol. “Beli mobil Rp 1,5 miliar nggak pakai mikir #murahbanget,” ujarnya enteng. Konten berlanjut: mobil pesanan diantar petugas show room kepada sang ‘sultan’ yang menyaksikan dengan wajah bungah semringah.

Ini flexing ‘Sultan Medan’ yang mantan pengamen dan peserta ajang pencarian bakat lomba menyanyi televisi. Meski dia tak pernah membuat album rekaman dengan penjualan hebat, umur baru seperempat abad dan bukan anak konglomerat, toh bisa membayar tunai di tempat sehingga membuat bola mata penonton nyaris melompat.

Contoh kedua sebuah flexing di pertengahan 2021 dari ‘Raja Bandung’, mantan buruh lepas dan tukang parkir. Dia tunjukkan kepada penonton sebuah supercar yang baru saja dibeli. Lamborghini Gallardo seharga sekitar empat miliar. “Alhamdulillah, di umur saya yang baru 23 akhirnya bisa membeli mobil impian sejak kecil,” katanya penuh syukur. Lalu dia menasehati pemirsa, “Kalau saya bisa, kalian pasti bisa. Jangan pernah menyerah untuk mencoba, jangan pernah mencoba untuk menyerah.”

Super! Ini kalimat fenomenal yang belum tentu terpikir di benak motivator terkenal.

Tentu tak ada yang keliru dengan jalan hidup seorang mantan pengamen di Medan dan seorang mantan buruh di Bandung yang menyulap nasib begitu mencengangkan. Bahkan, jika jalan pintas kesuksesan mereka bisa ditiru semudah membalik telapak tangan, pasti akan sangat meringankan tugas Menteri Tenaga Kerja yang sering ‘migren’ melihat angka pengangguran.

Masalahnya adalah jalan pintas mantan pengamen dan mantan buruh itu benar-benar  amazingly amazing. Bahkan bagi standard pemain saham kawakan atau kampiun marketing sekalipun. Bayangkan saja, hanya dalam 2-3 tahun setelah banting setir dari profesi lama dan menggumuli online trading  keduanya menjelma bak Raja Midas. Apapun yang mereka sentuh menjadi emas–eh, bukan, malah lebih dahsyat lagi—menjadi mobil supermewah, tas, sepatu, arloji, merek branded, hingga rumah mewah berkelas. 

Jika ini gejala narsisisme dari orang kaya baru, masih tak terlalu berbahaya. Flexing hanya sebatas memantulkan mental disorder diri mereka sendiri yang tak peka dengan kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia. Sayangnya, fenomena ini menyimpan hal lain yang lebih mengerikan.  Flexing dibuat bukan cuma karena motif pribadi pelaku yang gemar ‘norak-norak bergembira’, melainkan sebagai bagian teknik persuasi terselubung (covert persuation technique) yang sengaja dirancang dengan tujuan tersembunyi yang lebih berbahaya: menggiring publik agar terbius mimpi dan teler nalar.  Sebuah cuci otak hedotistik dalam skala masif supaya terbentuk himpunan pengikut yang obsesif-kompulsif terhadap cuan. Bagaimana memperoleh untung sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Sejatinya ini manifestasi prinsip “The 48 Laws of Power” karya Robert Greene, sebuah buku yang menggemparkan Amerika Serikat dan menjadi ‘kitab suci’ favorit para napi dan selebritas dalam bergegas menuju takhta ketenaran dan kemakmuran lewat jalan pintas. Pada hukum ke-34 Greene memfatwakan, “Tampilkan diri bak raja jika ingin diperlakukan demikian (Act like a king to be treated like one).”

Begitu meyakinkannya teknik ini dilakukan ‘Sultan Medan’ dan ‘Raja Bandung’ yang selalu tampil bak raja gemerlap, sehingga bukan hanya masyarakat awam—utamanya generasi milenial kaum rebahan–yang tersirap, bahkan pejabat negara pun secara mengagetkan ikut silap.

Pada awal Agustus 2021 atau dua bulan setelah pamer mobil mewah pertama, sang ‘Raja Bandung’ yang ingin membagikan 3000 paket sembako kepada kaum duafa, berhasil mendapat dukungan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Pekan berikutnya, sehari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-76, giliran Ketua MPR Bambang Soesatyo mengundangnya sebagai tamu istimewa di kanal  Bamsoet Channel.

Sementara itu ‘Sultan Medan’ mendapatkan keistimewaan berbeda. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggamitnya untuk membuat sebuah lagu antikorupsi yang  berjudul heroik  “Lihat, Lawan, Laporkan”. Lagu itu diperkenalkan kepada publik juga di bulan Agustus 2021.

Sambutan hangat pejabat teras dan lembaga negara tak pelak ikut mengerek popularitas ‘Raja Bandung’ dan ‘Sultan Medan’. Citra ‘muda, kaya raya, rajin derma’ semakin tak terbendung. Angan-angan publik pun melambung. Proses cuci otak berjalan sempurna dan rampung. Muncul keyakinan publik bahwa ‘kalau mantan buruh dan pengamen bisa sukses sebagai crazy rich, mengapa saya yang punya pekerjaan lebih keren dan pendidikan lebih tinggi tidak bisa? Jangan-jangan kalau saya seriusi, saya bisa lebih tajir melintir lagi melewati para ‘sultan’? Sekarang waktu paling tepat mengikuti cara mereka berusaha.”

Teler nalar massal membuat orang lupa melakukan DYOR (Do Your Own Research). Mereka tak lagi ingat aksioma ‘trust and verify’. Logika terjeblos pada kubangan WYSIWYB (What You See Is What You Believe). Kehati-hatian tak dibutuhkan lagi karena “saya-lihat-dia-tampil-bak-raja-maka-saya-percaya-dia-raja”. Konten flexing  adalah bukti nyata bahwa sukses jalur cepat itu valid adanya.

Teler nalar membuat publik–tak sedikit dari mereka kalangan terdidik–menjadi lebih dungu dari kawanan sapi perah yang cantik menarik. Mengapa lebih dungu? Sebab sapi perah masih mendapatkan asupan rumput terbaik, vitamin terbaik, kandang terbaik, lingkungan terbaik, agar bisa menghasilkan susu terbaik. Sementara kaum teler nalar tidak. Meski terus menguras tabungan, pinjam tambahan modal dari kiri-kanan, sampai melepas rumah dan kendaraan, namun tak kunjung menjadi ‘ The Next Sultan’.

Ada memang sedikit keuntungan yang bisa diperoleh pada waktu-waktu tertentu, namun dalam sekedipan mata semuanya lenyap menjadi kerugian yang menggila. Teler nalar membuat orang tak menyadari terperangkap jebakan ‘pump dan dump’ yang dimainkan dalang opsi biner yang lihai merekayasa data dan angka.

Pump and dump adalah proses ketika keuntungan dipompa agar investor bersemangat mengguyurkan dana mereka sebanyak-banyaknya. Begitu umpan disambar, tiba-tiba harga terjun bebas seanjlok-anjloknya dimainkan dalang yang piawai mengendalikan meta data. Sementara para korban bingung memahami apa yang terjadi, para trader  yang, ternyata oh ternyata adalah para afiliator,  sedang jejingkrakan mendulang cuan. M-banking mereka tak berhenti mengirimkan notifikasi keuntungan demi keuntungan demi keuntungan yang diraup dari kekalahan demi kekalahan demi kekalahan dari kerumunan teler nalar yang dipecundangi begitu telak dan terang-terangan.

Begitu menyadari mereka telah ditipu, beranglah kelompok teler nalar yang kini siuman. Akal mereka kembali dengan melaporkan ‘Sultan Medan’ dan ‘Raja Bandung’ kepada polisi. Keduanya dicokok tanpa melakukan perlawanan atau sempat kabur ke luar negeri. Terbongkarnya kasus ini tak pelak ikut mempermalukan sejumlah pihak yang sebelumnya terkagum-kagum bangga. ‘Sultan’ dan ‘Raja’ yang mereka puja-puja ternyata penipu generasi baru yang istimewa. Muda iya, tapi ternyata OKP (Orang Kaya Palsu). Satu persatu rahasia mereka terbongkar ke publik.

‘Sultan Medan’ yang sesumbar bayar tunai ketika beli Tesla dengan harga ‘murah banget’ itu, ternyata mencicil 10 kali. Konten flexing yang ‘iseng beli mobil jam 3 pagi dan pesanan langsung diantar’ pun ternyata beberapa video yang disuntingpadatkan menjadi satu video karena Tesla harus inden tak seperti beli ayam gembus dan seblak. Ada jeda waktu sebulan antara pesanan dan kedatangan mobil listrik yang dikirim pabrikan dari seberang samudera.

Sementara yang terbongkar dari ‘Raja Bandung’ lain lagi. Saat menjadi tamu di kanal Ketua MPR, dia berkata masih jomblo sehingga Bamsoet pun ikut mempromosikan sang Jomblo Idaman. Beberapa hari lalu muncul pengakuan seorang perempuan muda yang menyatakan bahwa sebenarnya sang raja pernah menikah dengan dirinya selama setahun (2019-2020) sebelum mereka bercerai. Sesudah itu sang raja flexing berkencan dan melamar perempuan lain sebagai istrinya dengan mahar “cuma” USD 15.000, berlian 4,666 karat dan Porsche Carrera 911 seharga empat miliar. Semua ini, tentu saja, dijadikan konten flexing yang masih bisa ditonton sampai sekarang.

“Sultan Medan” dan “Raja Bandung” yang terbiasa melakukan pump and dump dalam bisnis kotor mereka, kini mengalami sendiri pump and dump atas nasib mereka.

Bagaimana kisah lima crazy rich lain dari tujuh orang pada awal tulisan?

Sebagian dari mereka menunjukkan rekam jejak yang jelas dalam berbisnis. Memulai dari bawah, jatuh bangun menjalani proses dan bertahan. Namun ada juga yang terindikasi melakukan pembohongan publik dengan terbongkarnya rahasia seorang ‘juragan’ yakni pesawat jet yang jet yang selama ini diakui sebagai miliknya dan istri—sebagai hadiah ulang tahun pernikahan ke-8 mereka, amboi romantisnya!–ternyata merupakan ‘kesepakatan kerja sama dalam waktu tertentu yang sudah selesai masa berlakunya’ alias …pinjaman!

Para netizen yang penasaran pun mengembuskan kabar di dunia maya bahwa mobil-mobil supermewah sang ‘juragan’ bukanlah miliknya.  Konon milik seorang crazy rich beneran yang wafat beberapa bulan silam. Selama hidupnya, mendiang bukanlah tipe yang suka tampil di depan publik untuk pamer kekayaan jor-joran seperti sang ‘juragan’. Namanya kabar angin, biasanya separuhnya mungkin benar separuhnya lagi wallahu a’lam.

Untuk sementara kisah “Sultan, King dan Juragan” selesai sampai di sini. Boleh juga disebut episode satu sambil menunggu perkembangan terbaru dari polisi. Jika ada temuan lain berbasis fakta dan bukti, bisa jadi tulisan ini berlanjut.

Sebagai seorang novelis, saya sering beranggapan bahwa fiksi adalah puncak tertinggi imajinasi. Ternyata saya salah kaprah. Kehidupan nyata bisa jauh lebih musykil dan absurd parah. Ini bukan cuma terjadi  di luar negeri seperti dilakukan Anna Delvey yang menginspirasi munculnya serial televisi “Inventing Anna”.

Kejadian serupa bisa terjadi di Tanah Air tercinta selama publik antusias mengikuti konten flexing, lalu media massa arus utama serta para pejabat dan lembaga negara pun dengan mudah memberi ruang kepada para crazy rich tanpa memeriksa cermat asal usul kekayaan mereka.

Kasus ini adalah sebuah alarm yang melengking nyaring.  Mengingatkan ada yang salah dalam masyarakat kita yang tengah terpapar ideologi Kontenisme dan radikalisme flexing yang kian intoleran, mencabik-cabik kearifan akal dalam berpikir dan bernalar. [ ]

* Sosiolog, novelis

Exit mobile version