Mereka juga memiliki kecenderungan yang sama untuk menjadi subjek kontroversial. Baik Assange, Snowden, Anonymous maupun kini Bjorka, disebut dengan aneka panggilan. Mereka kadang dianggap pengkhianat, atau justru pahlawan; seorang pengungkap fakta dan whistleblower, atau hanya pembangkang. Peran mereka kabur antara seorang pengecut dan warga negara berjiwa patriot.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Jika kita terbiasa melihat peralatan James Bond untuk memprediksi gawai-gawai yang akan tiba sebagai kewajaran tahun-tahun mendatang, tidak pada tempatnya kita apriori terhadap “V for Vendetta”. Setidaknya, fenomena WikiLeaks, Julian Assange, Edward Snowden, hingga tokoh anonim Bjorka yang kini tengah mengacak-acak batin aparat pemerintah Indonesia, bisa tercermin dari film itu.
Ini film lama, dirilis 2005 meski komiknya yang dibuat Alan Moore dan David Lloyd telah terbit sejak 1982. Versi berwarna yang canggih keluar percetakan melalui DC Comics di Amerika Serikat pada 1988. Saya menonton film ini sendirian—benar-benar hanya saya seorang diri– di MPX Grande, bioskop modern dengan harga karcis di atas rata-rata, milik pengusaha India yang saat itu masih ada di Pasaraya Blok M.
“V for Vendetta” sangat cocok untuk para aktivis yang mulai menua, atau sebaliknya, kaum anarkis muda yang tengah marah-marahnya melihat apa dan segala. Wajar bila Anarchos Productions, Inc. berkenan menjadi bagian dari bowheer yang membiayai film beranggaran 54 juta dollar AS itu. Paling tidak, selama sekitar dua jam, aktivis tua bisa bernostalgia, sementara para anarkis muda mungkin bisa menyesap semangat pemberontakan yang kental menjadi jiwa film tersebut.
Namun yang paling menarik adalah dominannya sosok misterius “V” dalam film itu. Ibarat kaum Mandalore dalam cerita Star Wars, tokoh ini tak pernah menanggalkan topeng ‘Guy Fawkes’—topeng Anonymous menurut generasi saat ini—yang selalu dipakainya. V sendiri adalah seorang pejuang kebebasan yang terus berusaha mengubah kondisi negara yang kacau balau dalam kuasa kaum otoritarian. Caranya, dengan menyalakan api revolusi di setiap degup hati warga negara.
Sejak awal, “V for Vendetta” dilihat banyak kalangan sebagai alegori penindasan rakyat oleh pemerintahan otoriter yang sok pinter sendiri. Cerita itu seolah obat bagi keakutan publik akan hadirnya negara intel yang secara mengerikan dibayangkan George Orwell dalam “1984”. Sementara, simpatisan anarkis, atau barangkali kaum rakyat jelata mungkin saja memakainya untuk mempromosikan keyakinan mereka.
David Lloyd, sang pelukis komik ini, menyatakan, “Topeng Guy Fawkes kini telah menjadi merek umum dan plakat yang nyaman untuk digunakan sebagai protes terhadap tirani—dan saya senang bersama orang-orang yang menggunakannya.” David benar. Setidaknya kita tahu, hacker ‘budiman’ Anonymous telah memakainya sebagai jati diri.
Sebagaimana jawaban Evey—tokoh protagonis perempuan dalam “V for Vendetta”— bahwa “V adalah kita semua”, bukan tidak mungkin perasaan itu juga hinggap di batin Julian Assange sang pendiri Wikileaks, Edward Snowden, Anonymous, dan kini, Bjorka. Bukalah pembelaan diri mereka semua, dan ada garis tebal yang membuat mereka terasa berada di kubu yang sama: kepedulian akan nasib rakyat yang tersia-sia. Paling tidak, itu yang selalu ada dalam kilah mereka.
Mereka juga memiliki kecenderungan yang sama untuk menjadi subjek kontroversial. Baik Assange, Snowden, Anonymous maupun kini Bjorka, disebut dengan aneka panggilan. Mereka kadang dianggap pengkhianat, atau justru pahlawan; seorang pengungkap fakta dan whistleblower, atau hanya pembangkang. Peran mereka kabur antara seorang pengecut dan warga negara berjiwa patriot.
Snowden sendiri membela pembocorannya atas dokumen-dokumen badan intelijen AS, NSA, itu sebagai upaya “untuk menginformasikan kepada publik tentang apa yang dilakukan atas nama public, padahal membohongi mereka.” Ia selalu menyangkal pernah berlaku curang. “Saya tidak pernah mencuri kata sandi apa pun, tidak juga menipu rekan-rekan sekerja,” kata dia.
Yang jelas, meski ada yang melihatnya sebagai ironi, mereka dihargai public. Pada Mei 2011 Assange dianugerahi medali emas Sydney Peace Foundation, sebuah kehormatan yang sebelumnya dianugerahkan kepada Nelson Mandela dan Dalai Lama, dengan hujjah,”…atas keberaniannya yang luar biasa dalam memperjuangkan hak asasi manusia.”
Sementara, untuk pelaporan berdasarkan pembocoran Snowden, pada Februari 2014, jurnalis Glenn Greenwald, Laura Poitras, Barton Gellman (Washington Post), dan Ewen MacAskill dari The Guardian mendapat penghargaan sebagai penerima bersama George Polk Award 2013. Mereka dedikasikan penghargaan itu untuk Snowden.
Pelaporan pembocoran NSA oleh para jurnalis itu juga membuat The Guardian dan The Washington Post mendapatkan Penghargaan Pulitzer 2014 untuk pelayanan public. Kedua media itu dianggap mengungkap “(rencana) pengintelan oleh negara” dan membantu memicu “debat publik besar-besaran tentang sejauh mana pemerintah memata-matai rakyatnya”.
Begitu pula untuk Bjorka saat ini. Ia banyak mendapatkan simpati public, terutama usai mengaplop soal kemungkinan pembunuh tokoh HAM Indonesia, alm Munir. “Bjorka adalah pahlawan baru bagi rakyat Indonesia yg ingin merdeka dari ketertindasan pemerintahnya sendiri. Yg setuju acungkan jempolnya,” tulis seorang netizen di sebuah media sosial.
“Fenomena Bjorka harusnya membuat pemerintah sadar diri, mengakui kelemahan, kegagalan, ketidakbecusan kerja bangun pertahanan cyber, lalu minta maaf kepada masyarakat Indonesia,”tulis netizen lain.
Tokoh dunia IT Indonesia, Ismail Fahmi, melihat efek Bjorka telah mendorong kesadaran semua orang Indonesia soal keamanan data, terutama pentingnya Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Selama ini, sebelum Bjorka muncul pun sudah terbukti soal keamanan data Indonesia masih sangat payah. “Tapi thanks ke Bjorka, bikin kesadaran atas PDP jd meningkat,” tulis Ismail.
Barangkali, terlalu jauh dan Sophisticated binti Rumit bila Anda berpikir semua ini semata urusan teknis IT dan kelindan teknologi masa depan. Ini hanya soal purba yang telah dikumandangkan di awal peradaban. Tentang kuasa rakyat atau respublika yang semakin tinggal jargon. Tentang rakyat yang merasa hajat hidup dan kepentingan perut mereka kian terpinggirkan oligarki dan para MNC raksasa.
Mungkin, ini pula saatnya kita semua lebih fokus merenungkan pernyataan Bjorka di tengah segala rasa malu yang ia timbulkan kepada kita semua. “This is a new era to demonstrate differently. Nothing would change if fools were still given enormous power…” [dsy]