Site icon Jernih.co

Belajar dari Wabah Flu Spanyol yang Membunuh 18 Juta Penduduk India

“Semua minat untuk hidup telah berhenti,” ujar Mahatma Gandhi saat berjuang melawan flu Spanyol, wabah paling keji di abad ke-20, kepada salah satu orang kepercayaannya.

Gandhi saat itu berada di Gujarat, sebelah barat India. Saat itu, flu Spanyol melanda Ashram dengan cepat, menjangkiti siapa saja. Mulai orang biasa sampai seorang dengan nama besar bernama Gandhi.

Sekembali dari Afrika Selatan, Gandhi — saat itu berusa 48 tahun — memilih tinggal di Gujarat. Ia telah menetap empat tahun, sebelum wabah menyerang.

Gandhi terjebak di Gujarat, tanpa kemungkinan lari. Ia menjalani diet cair sedemikian panjang, dan yang pertama dalam hidupnya.

Ketika kabar tentang dirinya berjuang melawan flu Spanyol menyebar, surat kabar lokal menulis; Kehidupan Gandhi bukan miliknya, tapi India.”

Dari Dermaga Bombay

Flu Spanyol Masuk ke India bersama kapal tentara yang kembali dari medan Perang Dunia I. Kapal berlabuh di Bombay, sekarang Mumbai, Juni 1918.

JS Turner, seorang inspektur kesehatan yang berada di Bombay saat itu, menulis; “Penyakit itu seperti pencuri di malam hari. Serangannya cepat dan berbahaya.” 

September 1918 gelombang kedua flu Spanyol melanda salatan India, dan menyebar di sepanjang garis pantai. Seolah tidak akan kemungkinan selamat bagi mereka yang terjangkit. Semua pasrah menunggu kematian.

Perawatan menjadi tidak mungkin, karena setiap orang takut tertular saat dekat dengan korban terjangkit. Tidak ada obat apa pun untuk menyembuhkan penyakit ini.

Sejarah kesehatan mencatat, seperti ditulis kembali oleh BBC, flu Spanyol menewaskan 17 juta sampai 18 juta penduduk India. Negeri itu menanggung beban kematian paling besar, dengan kehilangan enam persen penduduknya.

Korban terbanyak adalah perempuan karena wanita India relatif kekurangan gizi, terkurung di tempat tinggal tak higienis dan berventilasi buruk. Mereka merawat orang sakit dan terjangkit.

Di seluruh dunia, flu Spanyol membunuh antara 50 juta sampai 100 juta jiwa.

Gandhi, dan beberapa rekannya, beruntung bisa sembuh. Di pedesaan yang kering di utara India, penyair Suryakant Tripathi — lebih dikenal dengan nama Nirala — kehilangan istri dan beberapa anggota keluarganya.

“Keluarga saya menghilang dalam sekejap mata,” tulis Nirala.

Ia juga menggambarkan suasana saat itu dengan menarik. “Aku menemukan mayat menumpuk di sepanjang tepi Sungai Gangga, akibat ketiadaan kayu bakar untuk kremasi,” tulisnya.

Lebih buruk lagi, masih Menurut Nirala, musim hujan yang gagal menyebabkan kekeringan dan kelaparan. Orang-orang desa yang kelaparan dan lemah membanjiri kota, memicu penyebaran penyakit lebih cepat.

Flu Spanyol 1918 muncul saat dunia belum mengenal antivirus, vaksin, dan peralatan medis memadai untuk merawat korban sekarat. India saat itu tidak menerima obat-obatan Barat secara merata, dan sebagian besar orang bergantung pada pengobatan tradisional.

Sebagai pintu masuk wabah, Bombay — kota terpadat di India saat itu dan sampai sekarang — mungkin yang paling menderita. Bombay berpenduduk 20 juta, dan bagian Maharashtra — negara bagan terpadat.

Pada Juli 1918, 230 orang meninggal setiap hari. Naik tiga kali lipat dibanding bulan sebelumnya. Times of India melaporkan hampir setiap rumah memiliki satu atau dua korban terinfeksi virus.

Gejala umum flu Spanyol adalah suhu ringgit dan sakit di punggung. Korban biasanya mengeluh selama tiga hari berturut-turut.

Flu Spanyol mematikan Bombay, karena pekerja menjauh dari kantor dan pabrik. Koran-koran India menyarankan agar penduduk lebih banyak berada di luar rumah, tapi menjaga jarak dengan setiap orang.

“Obat utama penyakit ini adalah tidur dan tidak khawatir,” tulis Times of India saat itu.

Koran itu juga mengingatkan flu Spanyol menular lewat kontak manusia melalui sekresi yang terinfeksi, dari hidung dan mulut. Penduduk disarankan menjauhi keramaian; pasar, sekolah, festival, bioskop, ruang kuliah umum, kereta api, dan tempat hiburan.

Saran paling menarik, yang kemudian mengubah Bombay, adalah setiap orang sebaiknya jangan tidur di dalam rumah, tapi di tempat terbuka. Jalan-jalan dan tempat-tempat terbuka di Bombay tiba-tiba dipenuhi orang tidur.

Respon Kolonial dan Penduduk

Inggris menggunakan serdadu India dalam Perang Dunia I. Saat pulang ke India, serdadu terjangkit flu Spanyol menjadi penyebar wabah. Namun pemerintah kolonial Inggris membantah klaim itu.

Menurut Inggris, serdadu terserang flu setelah tiba di India, bukan membawa wabah dari Eropa. Sejarawan Mridula Ramanna, dalam studi magister tentang Bombay mengatasi flu Spanyol, menulis; “Ini adalah respon khas pihak berwenang, untuk mengaitkan setiap epidemi yang tidak dapat dikendalikan dengan kondisi tidak sehat orang India.

Pertanyaannya, kemanakah otoritas kolonial kulit putih saat wabah melanda?

Koran-koran saat itu menulis pejabat-pejabat kolonial Inggris tinggal di perbukitan selama wabah berlangsung. Mereka melemparkan penduduk ke otoritas pemeliharaan kesehatan, tanpa mau tahu apa yang terjadi berikutnya.

Laura Spinney, penulis Pale Rider: The Spanish Flu of 1918 and How It Changed the World, menulis respon kolonialis Inggris terhadap wabah di India selalu sama, yaitu tidak peduli. Sebelum flu Spanyol melanda, India menghadapi wabah flu jenis lain pada tahun 1886 dan 1914, yang menewaskan masing-masing delapan juta orang.

Saat flu Spanyol muncul, menurut Spinney, orang-orang India menjauhi pejabat kulit putih Inggris. “Seorang tukang sapu menolak datang ketika dipanggil pejabat kulit putíh Inggris,” tulis Spinney.

Akhirnya, Inggris juga harus membayar mahal atas ketidak-peduliannya terhadap kesehatan masyarakat. Mereka tidak siap menghadapi puncak wabah flu, karena kekurangan dokter.

Sejarah mencatat yang membantu India adalah orang India. Masyarakat berhimpun, membentuk kelompok relawan, mendirikan apotik, memindahkan mayat, mengatur kremasi, membuka rumah sakit kecil, merawat pasien, dan mengumpulkan dana, mendistribusikan pakaian dan obat-obatan.

Warga membantuk komite anti-influenza, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah India. Sebuah laporan menyebutkan masyarakat berpendidikan dan hidup lebih beruntung secara ekonomi, membantu saudara mereka yang miskin dan kesusahan.

Jutaan orang India selamat dari flu Spanyol, dan belajar betapa kebersamaan yang menyelamatkan mereka dari bencana.

Exit mobile version