Seoul — Korea Selatan (Korsel) menjadi satu-satunya negara yang sukses menaklukan virus korona tanpa lockdown. Siapa mau mengikuti, dan apakah bisa?
Kamis 2 April 2020, Korsel mengumumkan 101 kasus Covid-19 baru, dan menandai hari ke-20 negeri itu mencatat kasus baru di bawah 150. Sebelumnya, sejak Februari 2020, angka infeksi baru dalam satu hari mencapai 909.
Di Spanyol dan Italia, angka kasus baru muncul setelah penguncian, alias lockdown. Korsel tidak pernah memberlakukan jam malam, menghentikan orang bekerja di kantor, dan mengusir orang bergerombol.
Namun, Korsel menstabilkan tingkat infeksi dan meratakan kurva.
Al Arabiya memberitakan semula orang khawatir dengan wabah, tapi setelah melihat angka-angka di Eropa dan di tempat lain tak dapat dipercaya, mereka menyadari pemerintah mereka benar-benar bekerja dengan baik menangani krisis.
Baca Juga:
— Keliru Merespon Wabah Virus Korona, Presiden Korsel Terancam Dimakzulkan
Sukses Korsel menarik perhatian banyak negara. Jerman, misalnya, berusaha meniru Korsel. Seorang pejabat Korsel mengatakan telah menerima permintaan 121 negara untuk menguji virus.
Bagaimana Korsel bisa melawan wabah dan meratakan kurva? Mungkinkah pendekatannya berhasil di tempat lain?
Respon Cepat
Salah satu ciri khas keberhasilan Korsel adalah respon cepat semua pihak terhadap laporan penyebarah virus di Cina. Korsel dan Cina bertetangga.
Sepekan setelah kasus pertama muncul pada 20 Januari, Korsel memerintahkan pabrik memproduksi massal alat uji virus korona. Dua pekan setelah merencanakan produksi, Korsel menghasilkan 100 ribu testing kit per hari.
Lee Sang-won, pakar penyakit menular di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (KCDC), mengatakan; “Saat itu kami yakin wabah di Wuhan akan berkembang menjadi pandemi. Kami sangat gugup menghadapinya.”
“Kami bertindak seperti tentara,” lanjutnya.
Untungnya, KCDC menguji alat itu pada Desember 2019, atau sebelum wabah mengganas di Wuhan. Itulah yang memastikan alat uji siap diproduksi massal.
Baca Juga:
— Korsel Dicekam Ketakutan Infeksi Massal Virus Korona
AS mendeteksi kasus pertamanya pada hari yang sama dengan Korsel, tapi gagal bereaksi dengan cepat. Presiden Donald Trumpn memaksa perusahaan memproduksi alat medis, tapi AS tetap kekurangan alat uji. AS membutuhkan 60 ribu alat uji per hari, untuk 350 juta penduduknya.
Pengujian
Respon cepat membuahkan hasil karena penerapan fitur kunci kedua, yaitu banyak menguji, dan menguji secara efektif.
Pengujian massal memungkinkan pemerintah mengetahui bagian penting populasi, meluncurkan lebih 600 pusat pengujian, dan membuat pengujian lebih mudah dan tersedia.
Data hasil pengujian memungkinkan pihak berwenang memantau penyebaran virus, dan merawat petugas medis yang menjalankan tugas.
Kang Kyung-wha, menteri luar negeri Korsel, mengatakan kepada BBC bahwa pengujian sangat penting karena mengarah pada deteksi dini, meminimalkan penyebaran dan cepat mengobati korban terinfeksi.
Sejauh ini, Korsel mencatat 169 kematian. Lebih dari setengah korban terinfeksi, atau 5.828, sembuh. Di Italia dan Spanyol, korban tewas mencapai 13 ribu dan 10 ribu.
Korsel juga belajar dari wabah MERS tahun 2015, yang menewaskan 36 orang. Dibanding bergantung pada orang-orang dengan gejala yang sukarela mau diuji, pihak berwenang melakukan pendekatan proaktif; mengidentifikasi kasus tanpa gejala yang mungkin menyebarkan virus secara massif.
Baca Juga:
— Gagal Menyediakan Masker, Presiden Korsel Moon Jae-in Minta Maaf
MERS kali pertama muncul 2012, mewabah di Korsel tahun 2015. Virus disebarkan pengidap tanpa gejala dan sehat-sehat saja.
Menggunakan teknologi yang dikembangkan saat MERS merebak, pihak berwenang melacak kasus dengan pendekatan catatan kartu kredit, GPS, dan rekaman kamera keamanan, untuk menemukan dengan siapa orang itu berhubungan dan memastikan sasaran harus diuji.
Transparansi dan Informasi Publik
Sebelum melakukan pengujian massal, pihak berwenang membuat informasi penyebaran virus. Kampanye dimulai sejak dini, dan — menggunakan pengalaman saat MERS — warga mengenakan masker wajah serta mempraktekan cara hidup bersih.
Pemerintah mengirim informasi ke penduduk ketika kasus ditemukan di permukiman. Masyarakat diberi akses ke data pelacakannya.
Pemerintah sangat tarnsparan. Mereka mengumumkan semua kasus, dan berbagi informasi kepada warga. Informasi meliputi wilayah pasien, mal dan restoran yang dikunjungi, dan lainnya.
Warga memiliki akses ke peta, agar mereka melihat semua informasi pada sistem pelacakan langsung. Mereka melacak orang-orang melalui kartu kredit dan CCTV.
Transparansi dan Kerjasama
Informasi lengkap dan transparan memungkinkan pemerintah dan warga bertindak efektif dan bertanggung jawab memperlambat penyebaran virus, tanpa harus ada penegakan peraturan nasional yang angkuh dan mematikan ekonomi.
Alih-alih memaksakan larangan, Korsel menggunakan data untuk membatasi pergerakan hanya jika diperlukan. Saat ledakan wabah di Daegu, dengan salah satu gereja sebagai cluster, pemerintah menerapkan tindakan darurat.
Baca Juga:
— Covid-19: Korsel Beri Bantuan Rp 13,4 Juta ke Setiap Keluarga Miskin
Ki Mo-ran, ahli epiemiologi yang menasehati pemerintah Korsel, mengatakan kepada New York Times bahwa Korsel dapat menangani semua ini tanpa membatasi pergerakan orang, karena kami tahu sumber utama infeksi sejak awal.
Sumber infeksi yang dimaksud adalah jamaah gereja, dengan pimpinannya yang mengaku utusan Tuhan kedua setelah Yesus Kristus.
“Jika kami terlambat mempelajarinya, segalanya bisa sangat buruk,” Ki Mo-ran menambahkan.
Banyak warga juga memilih membatasi kontak dengan orang lain selama dua pekan yang penting, yaitu pada akhir Februari dan awal Maret. Ada yang mengkarantina diri, dan menggunakan data pelacakan. Mereka juga dapat melihat ruang publik yang tidak dan berisiko tinggi.
Akibatnya, Korsel tidak punya kota hantu selama wabah. Bandingkan dengan di Cina, Eropa, dan AS saat ini, yang punya banyak konta hantu. Jadi, yang terpenting banyak yang menjaga jarak, dan semua orang memakai masker.
Efek Global
Yang mengejutkan dari Korsel adalah perekonomian tidak berhenti, atau dihentikan paksa. Sehingga, Korsel dalam posisi layak untuk mengatasi pelambatan ekonomi global.
“Lockdown melumpuhkan aktivitas ekonomi. Tidak hanya mendorong turun, tapi menghentikan ekonomi di jalurnya,” kata Profesor Stephen Thomas, profesor keuangan dan Dekam MBA di Cass Business School di Dubai dan London kepada Al Arabiya.
Namun, masih menurut Thomas, Korsel masih akan dilanda resesi ekonomi global yang disebabkan oleh wabah.
Baca Juga:
— Gereja di Korsel Gelar Ritual Penangkal Covid-19, 46 Jamaah Terjangkit
“Dengan ekspor yang terdiri dari 40 persen dari PDB, tidak ada cara Korsel lolos dari pelambatan global,” katanya. “Itu sesuatu yang pasti saat ini.”
Pakar IMF mengatakan PDB global akan turun hingga 30 persen, dan kesuksesan Korsel tidak cukup melindunginya dari kerusakan ekonomi dan perubahan berkelanjutan.
Risiko Kasus Impor
Korsel sukses ‘meratakan kurva’ Covid-19, tapi masih menghadapi risiko wabah muncul lagi dari pelancong yang mengimpor virus.
Untuk menghadapi situasi ini, Korsel mengeluarkan aturan ketat bagi pelancong dari luar. Salah satunya karantina wajib selama dua pekan.
Pekan lalu, Korsel kedatangan tiga pengunjung asing yang tidak mematuhi periode karantina wajib dua pekan. Mereka dideportasi.
Di Suwon, seorang pria Inggris kembali dari luar negeri tanpa masker dan menolak mengisolasi diri. Ia mengunjungi tiga kota dan mengadakan kontak dengan 23 orang.
Pria itu tidak memiliki gejala ketika tiba, kemudian dites positif Covid-19. Walikota Suwon arah dan akan menghukumnya.
Setelah ancaman itu, setiap hari ada seratus kasus sama dilaporkan. Akibatnya, Korsel menunda ujian masuk perguruan tinggi tahunan, membatalkan rencana membuka kembali sekolah.
Kini, semua negara belajar dari Korsel tentang cara mencegah virus tanpa lockdown.