Jajak pendapat yang menyasar orang Yahudi AS diterbitkan dengan beberapa temuan mengejutkan. Ada 25 persen setuju bahwa “Israel adalah negara apartheid,” 34 persen setuju bahwa “perlakuan Israel terhadap Palestina mirip dengan rasisme di Amerika Serikat” dan 22 persen setuju bahwa “Israel melakukan genosida terhadap Palestina.” Jumlahnya justru meningkat di antara orang-orang Yahudi yang lebih muda: lebih dari sepertiga dari mereka yang berusia di bawah 40 tahun memberi Israel label “negara apartheid”.
JERNIH– Sharon Nazarian memiliki teori tentang mengapa unjuk rasa yang digelar komunits Yahudi di Washington DC, AS, baru-baru ini, melawan apa yang mereka yakini sebagai ‘antisemitisme’, gagal total.
Liga Anti-Pencemaran Nama Baik (The Anti-Defamation League) di mana Nazarian menjadi wakil presiden senior urusan internasional, mensponsori demonstrasi bersama “No Fear: A Rally in Solidarity with the Jewish People,” bersama dengan beberapa organisasi Yahudi Amerika terbesar lainnya. Tapi mereka hanya menyedot 2.000-an orang di hari Minggu itu. Sebagai perbandingan, unjuk rasa komunitas yang sama pada 2002, yakni pada puncak intifada kedua di Palestina, menarik lebih dari 100 ribu orang.
Nazarian mengatakan fokus organisasi Yahudi yang masih pada sisi tradisional dan pada “singanisasi” (lionization) Israel, justru membuat orang menjauh. “Narasi tentang Israel ini harus lebih realistis, yang membawa perhatian orang pada kekuatan negara serta kelemahannya,” kata Nazarian, seorang dermawan yang merupakan presiden yayasan keluarga yang mendanai penelitian pendidikan. Apalagi rapat umum itu diadakan dalam waktu singkat di musim panas, pada saat pandemi virus corona tengah menjadi-jadi.
Dua hari setelah rapat umum, jajak pendapat yang menyasar orang Yahudi AS diterbitkan dengan beberapa temuan mengejutkan. Ada 25 persen setuju bahwa “Israel adalah negara apartheid,” 34 persen setuju bahwa “perlakuan Israel terhadap Palestina mirip dengan rasisme di Amerika Serikat” dan 22 persen setuju bahwa “Israel melakukan genosida terhadap Palestina.” Jumlahnya justru meningkat di antara orang-orang Yahudi yang lebih muda: lebih dari sepertiga dari mereka yang berusia di bawah 40 tahun memberi Israel label “negara apartheid”.
Angka-angka tersebut mengejutkan, mengingat dukungan lama dan teguh Yahudi Amerika terhadap Israel, bahkan sepanjang masa pemerintahan sayap kanan, seperti yang dipimpin selama bertahun-tahun oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu baru-baru ini, yang telah mendorong kebijakan yang bertentangan dengan mayoritas keyakinan masing-masing.
Tetapi kritik Amerika terhadap tindakan Israel di Gaza atas berbagai konflik militer dalam dekade terakhir—terutama pada tahun 2014 dan Mei tahun ini—telah menjadi semakin keras, dan tahun ini menyaksikan kemarahan publik yang belum pernah terjadi sebelumnya, sebagian diyakini akibat pengaruh beberapa selebritas.
Banyak yang merasa lebih nyaman setuju dengan para influencer dan pihak lain yang menyebut tanggapan militer Israel terhadap warga Gaza baru-baru ini sebagai “genosida”—bahkan jika para pakar hak asasi manusia memperingatkan bahwa istilah tersebut berlebihan dalam kasus ini.
“Apa yang kami lewatkan, bahwa selama bertahun-tahun ini kami telah mendengar label sensasional ini, dan alasan kami tidak terlibat dengannya adalah karena itu awalnya hanya pinggiran, tabu,”kata Nazarian. “Apa yang terjadi sekarang, bahasa ini telah menjadi arus utama.”
Faktor lain selama setahun terakhir, sejak pembunuhan George Floyd, adalah kesadaran yang berkembang tentang perbedaan rasial di antara orang Amerika. Banyak kritikus Israel membingkai konflik Israel-Palestina sebagai salah satu ketidakadilan rasial.
“Kita harus memahami building blocks ini, pembingkaian ini,” kata Nazarian.
Banyak pembicara rapat umum “No Fear” secara eksplisit menggabungkan beberapa kritik keras terhadap Israel dengan antisemitisme, dan itu membuat beberapa kelompok enggan menerima undangan untuk berpartisipasi, termasuk lobi liberal pro-Israel, J Street.
“Daripada terlibat dengan orang-orang muda dan mencoba untuk menempatkan realitas situasi dalam konteks, serta mengakui masalah yang sedang terjadi, mereka memilih untuk menyangkal bahwa ada masalah, dan menyerang orang-orang yang membesarkan mereka,” kata Presiden J Street, Jeremy Ben-Ami. “Itu telah mengakibatkan polarisasi. Alih-alih melibatkan orang-orang yang memiliki pertanyaan dan kritik, mereka mendorong para simpatisan menjauh.”
Mereka yang berpartisipasi dalam rapat umum dan menanggapi permintaan untuk mengomentari Survei Nasional Pemilih Yahudi dari Lembaga Pemilih Yahudi menggandakan pernyataan dan menekankan pendidikan. Alasannya, komunitas Yahudi perlu berbuat lebih banyak untuk mendidik orang Yahudi yang lebih muda tentang Israel — dan untuk melawan karakterisasi yang mereka katakan berasal dari musuh-musuh.
“Sumber utama pemutusan antara segmen Yahudi Amerika dan realitas Israel adalah pendidikan yang kurang,” David Harris, CEO Komite Yahudi Amerika, salah satu sponsor rapat umum. Harris menunjuk jajak pendapat AJC bulan lalu yang menunjukkan hanya 37 persen responden yang menggambarkan pendidikan Israel mereka sebagai “tumbuh kuat”. Ia menyalahkan bahwa “kaum muda semakin mendapatkan berita mereka dari media sosial di mana ketidakbenaran merajalela.”
“Jelas, upaya yang lebih besar untuk mendidik orang Yahudi Amerika, terutama kelompok yang lebih muda, tentang semua aspek masyarakat Israel, dan menghubungkan mereka dengan rekan-rekan mereka di Israel, sangat penting untuk memastikan pemahaman tentang Israel dan memperkuat hubungan Israel dengan diaspora,” katanya.
Harris menunjuk program AJC yang ditujukan untuk menjangkau orang-orang Yahudi di bawah 40 tahun. Begitu pula Adam Teitelbaum, direktur eksekutif Jaringan Aksi Israel Federasi Yahudi Amerika Utara. JFNA juga menjadi sponsor rapat umum tersebut.
“Cara terbaik untuk memerangi fenomena ini adalah dengan secara bermakna dan otentik melibatkan kaum muda Yahudi dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ‘apa menurut Anda arti apartheid?” “Apa jalan terbaik ke depan?”; dan “bagaimana Israel dapat mengatasi masalah keamanan sambil tetap berjuang untuk perdamaian?,” kata Teitelbaum.
Penghapusan kehalusan dari wacana inilah yang membuat orang-orang Americans for Peace Now menjauh dari rapat umum, kata presidennya, Hadar Susskind, meskipun kelompoknya dirayu untuk berpartisipasi.
“Organisasi-organisasi Yahudi yang melihat banyak anggota komunitas Yahudi, termasuk yang lebih muda, dan mengabaikan mereka, Anda tahu, dijawab kalangan muda itu dengan cara yang paling meremehkan, dan lebih buruk lagi, menyebut mereka antisemit,” kata Susskind dalam sebuah wawancara.
Beberapa organisasi Yahudi yang tergabung dalam demonstrasi “No Fear”, secara refleks mengatakan bahwa mereka mengakomodasi kritik. “Pawai antisemitisme “No Fear” mencakup sejumlah suara dan dimaksudkan untuk menjadi tenda yang luas,” kata Rabbi Jacob Blumenthal, CEO United Synagogue of Conservative Yudaism and the Rabbinical Assembly, dalam sebuah pernyataan. “Gerakan kami dengan tegas dan bangga adalah Zionis dan mendukung Negara Israel dan rakyatnya. Gerakan kami juga merupakan tenda besar dan mencakup banyak suara berbeda tentang Israel, semuanya datang dari cinta dan dukungan untuk Israel, bahkan ketika kritis.”
Daniel Mariaschin, CEO B’nai B’rith, salah satu organisasi sponsor demo lainnya, menyerukan strategi klasik untuk memainkan kekuatan Israel.
“Kita harus mengembalikan kebanggaan dengan menggandakan upaya kita dalam pendidikan Yahudi: formal dan informal, alkitabiah hingga kontemporer, di ruang kelas dan di meja ruang makan, di perkemahan musim panas dan dalam perjalanan ke Israel,” kata Mariaschin dalam email. “Apakah kita cukup merayakan, cukup, banyak kontribusi Israel terhadap peradaban kontemporer dalam inovasi, kedokteran, dan pertanian, dan demokrasinya yang terbuka lebar, meski terkadang terpecah-pecah,” kata dia.
Crosstabs dari survei baru-baru ini yang dibagikan kepada Jewish Telegraphic Agency oleh perusahaan jajak pendapat GBAO Strategies, menunjukkan bahwa di antara mereka yang menggambarkan diri mereka sebagai terikat secara emosional dengan Israel, minoritas substansial setuju dengan kritik keras. Di antara mereka yang terikat secara emosional dengan Israel itu, 19 persen setuju bahwa Israel adalah negara apartheid.
Halie Soifer, CEO Dewan Demokrat Yahudi Amerika, salah satu organisasi sponsor, mengatakan dia frustrasi menghadiri rapat umum untuk mendengar sebagian besar pembicara mengutuk antisemitisme kiri. Survei menunjukkan sebagian besar responden, 61 persen menganggap ancaman antisemit berasal dari kanan.
Soifer, yang JDCA-nya berafiliasi dengan kelompok yang mengadakan jajak pendapat, Jewish Electorate Institute, mengatakan penekanan pada retorika anti-Israel dari kiri pada rapat umum itu merupakan lambang mengapa lembaga itu gagal dalam menjangkau kaum muda Yahudi.
“Sejauh orang-orang di rapat umum itu berfokus pada antisemitisme yang berasal dari mana saja selain dari kanan, itu menunjukkan keterputusan antara fokus beberapa organisasi Yahudi dan prioritas orang Yahudi Amerika,” kata Soifer. [The Jerusalem Post]