Site icon Jernih.co

Rubel Jatuh, Tekanan Inflasi dan Kekurangan Tenaga Kerja, Bank Sentral Rusia Bunyikan Alarm

Koin rubel Rusia difoto di depan Istana Kremlin, Moskow, 28 April 2022. Foto : ALEXANDER NEMENOV/AFP

Kemungkinan besar Rusia akan menaikkan suku bunga. Pada hari Jumat, rubel turun melewati 83 poin terhadap dollar AS, mencapai level terendah dalam lebih dari dua bulan, yang membuat impor lebih mahal dan memicu inflasi lebih lanjut.  Sementara serangan balasan Ukraina yang baru diluncurkan menunjukkan akan lebih banyak lagi pengeluaran pertahanan yang akan dihabiskan Kremlin.

JERNIH–Bank Sentral Rusia membunyikan alarm seiring inflasi dan jatuhnya rubel di tengah rekor kekurangan tenaga kerja yang terjadi di Rusia. Otoritas moneter Rusia mempertahankan suku bunga stabil pada Jumat lalu, tetapi mengisyaratkan kenaikan mungkin akan segera terjadi.

Otoritas meneter mempertahankan suku bunga acuan tetap stabil di 7,5 persen sejak September, tetapi mengisyaratkan kenaikan mungkin akan segera terjadi.

“Pilihan menaikkan suku bunga dipertimbangkan, tetapi dengan konsensus kami memutuskan untuk menahan suku bunga, tetapi memperketat sinyal,” kata Gubernur Bank Sentral Rusia, Elvira Nabiullina, pada konferensi pers, sebagaimana dilaporkan Reuters. Nabiullina menambahkan bahwa “kemungkinan kenaikan suku bunga telah meningkat.”

Bahkan kata dia, bank sentral membahas kenaikan 25-75 basis poin. Itu dikarenakan data yang keluar pada Rabu pekan lalu menunjukkan harga konsumen mingguan melonjak tajam.

Bila terjadi, kenaikan suku bunga itu akan menjadi yang pertama sejak bank sentral menaikkan suku bunga utama menjadi 20 persen, segera setelah invasi Rusia ke Ukraina tahun lalu. Itu dilakukan dalam usaha menstabilkan nilai rubel dan pasar keuangan, setelah sanksi Barat membekukan cadangan mata uang Kremlin.

Sejak itu, Bank Sentral Rusia menurunkan suku bunga karena inflasi telah mereda. Tetapi proyeksi baru memperkirakan inflasi melaju ke angka 4,5 persen hingga 6,5 persen pada akhir tahun, atau naik dari sebelumnya 3,5 persen.

“Mempercepat pengeluaran fiskal, memburuknya persyaratan perdagangan luar negeri dan situasi di pasar tenaga kerja, tetap menjadi pendorong risiko pro-inflasi,”kata otoritas Bank Sentral Rusia, pada hari Jumat, dengan mencatat bahwa risiko inflasi semakin condong ke atas.

Peringatan itu muncul ketika Rusia telah beralih haluan ke ekonomi perang total, sementara serangan balasan Ukraina yang baru diluncurkan menunjukkan akan lebih banyak lagi pengeluaran pertahanan yang akan dihabiskan Kremlin.

Sejauh ini nilai rubel telah jatuh terhadap dolar AS sekitar 14 persen pada tahun 2023, yang membuat impor lebih mahal dan memicu inflasi lebih lanjut. Pada hari Jumat, rubel turun melewati 83 poin terhadap dollar AS, mencapai level terendah dalam lebih dari dua bulan.

Data lain menunjukkan Rusia menderita rekor kekurangan tenaga kerja karena perang yang diinisiasi Vladimir Putin di Ukraina itu memberikan kejutan besar bagi tenaga kerja. Militer memobilisasi 300.000 tentara tahun lalu dan berencana untuk memobilisasi ratusan ribu lagi tahun ini, sementara diperkirakan 200.000 telah tewas atau terluka di Ukraina.

Dan eksodus massal orang Rusia ke negara lain untuk menghindari dinas militer atau kesulitan ekonomi, telah membuat kekurangan tenaga kerja semakin parah. Satu studi baru-baru ini memperkirakan bahwa 1,3 juta pekerja muda meninggalkan angkatan kerja selama tahun lalu saja, yang mewakili “brain drain” secara besar-besaran.

Kekurangan tenaga kerja juga berkontribusi terhadap penurunan tajam produksi industri Rusia bulan lalu, yang anjlok lima persen dari bulan sebelumnya. [Business Insider/ Reuters]

Exit mobile version