Seperti halnya Chinguetti di Mauritania, Peradaban Timbuktu berawal dari pemukiman musiman untuk para kafilah perdagangan di awal abad ke-11 M. Kota ini kemudian berkembang menjadi salah satu pusat budaya dan akademik Islam yang berperan besar dalam sejarah Afrika.
Letak geografis Timbuktu berada di di Negara Mali, Afrika Barat. Posisi kota legenda itu di wilayah Sahel, tepi selatan Gurun Sahara yang berjarak 8 mil dari Sungai Niger. Timbuktu didirikan oleh para pengembara Tuareg pada abad 12 Masehi.
Bukti dari peradaban Islam di Timbuktu tersaji dalam berbagai tinggalan primer dan skunder. Monumen kuno, arsitektur, artefak dan yang tak kalah penting adalah naskah-naskah kuno Timbukti yang mendaraskan fakta bahwa Afrika memiliki peradaban Islam yang panjang.
Begitu kuatnya peranan madrasah dan universitas Islam yang berdiri antara abad 11 sampai 15 M meninggalkan jejak yang terpancar sampai saat ini. Walau Timbuktu didirikan pada abad ke-12 M oleh Nomadic Tuareg Namun, sejarah manusia di wilayah Timbuktu lebih tua dari pemukiman Tuareg. Penelitian Arkeologis membuktikan bahwa di Timbuktu telah ada perkotaan prasejarah 500 SM dan bertahan sampai 1000 M.
Berdasarkan Penelitian arkeologis pertama dilakukan oleh Prancis pada 1950-an di Azawad (wilayah di Mali Utara) ditemukan alat-alat batu, sisa-sisa manusia dan hewan, tombak dan keramik yang berasal dari zaman batu akhir. Pada tahun 2009, dilakukan penelitian baru dilakukan oleh Departemen Antropologi Universitas Yale berdasarkan kronologi kramik yang ditemukan, membuktikan bahwa pemukiman yang terorganisir telah ada di Timbuktu.
Pemukiman ini berbentuk jitu (gundukan kuno) yang masing-masing dikelilingi oleh puluhan situs yang lebih kecil. Dari penelitian itu tergambar adanya populasi yang sangat padat dan peradaban perkotaan asli muncul pada milenium pertama atau kedua SM.
Di masa berikutnya, kota Timbuktu pernah menjadi pusat kegiatan ilmiah yang aktif dan dikenal di seluruh dunia Islam. Elias N Saad dalam Social History of Timbuktu menuliskan bahwa pada pertengahan abad ke-16 – kota ini telah memiliki lebih dari 150 sekolah. Melalui institusi pendidikan itu pengetahuan Islam terpancar di Afrika, khususnya di Afrika Barat.
Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum yang terorganisasi dengan baik yang memberi siswa pengetahuan luas tentang perbedaan bidang studi. Kursus agama Islam membentuk inti dari silabus akademik, termasuk interpretasi Quran (Tafsir), tradisi nabi (Hadits), Yurisprudensi (fiqh), sumber-sumber Hukum (Usul) dan teologi doktrinal.
Selain dari kursus agama, siswa juga diminta untuk belajar Tata Bahasa (nahwl), gaya huruf dan retorika (Balagah) dan Logika (Mantiq). Di antara sekolah-sekolah yang didirikan, Universitas Sankore didirikan sekitar abad ke-14, adalah salah satu lembaga pendidikan Islam tertua tertua yang bertahan hingga hari ini dalam sejarah Afrika Barat.
Universitas Sankore Iawalnya adalah sebuah masjid yang dibangun oleh Kaisar agung Mansa Musa pada tahun 1327. Pada akhir pemerintahan Mansa Musa (awal abad ke-14 M), Masjid Sankore yang memiliki bentuk piramida dan tersusun dari balok-balok kayu penyangga yang menonjol kemudian diubah menjadi madrasah, lengkap dengan stafnya.
Madrasah ini memiliki koleksi buku terbesar di Afrika menyaingi Perpustakaan Alexandria. Tingkat pembelajaran di Universitas Sankoré pada masanya lebih unggul dari semua pusat Islam lainnya di dunia. Masjid Sankoré mampu menampung 25.000 siswa dan memiliki salah satu perpustakaan terbesar di dunia dengan antara 400.000 hingga 700.000 manuskrip.
Universitas Sankore telah mencetak insinyur, arsitek, astronom, dan cendekiawan terkenal yang bersaing dengan orang-orang sezamannya di dinasti lain. Al-Wazan menemukan banyak tokoh besar dokter, arsitek, astronom, hakim, imam dan orang terpelajar lainnya sebagai lulusan sekolah-sekolah di Timbuktu.
Nasionalis besar Ghana, Kwame Nkruma dalam pidatonya pada tanggal 25 November 1961 di Universitas Ghana memuji Universitas Sankore. Dia berkata, “Jika Universitas Sankore tidak dihancurkan, seperti pada tahun 1591, selamat dari kerusakan invasi asing, sejarah akademik dan budaya Afrika mungkin berbeda dari yang ada sekarang ”
Bukti monumental lainnya yang mengungkapkan Timbuktu sebagai pusat Islam adalah tiga masjid besar, yaitu Djingareyber, Sankore dan Sidi Yahia yang dibangun pada awal abad ke-15 yang telah direstorasi oleh pemerintah Mali dan UNESCO. Masjid-masjid tersebut masih berdiri sampai sekarang sebagai bukti kemegahan Timbuktu.
Letak Timbuktu berada di persimpangan Sungai Niger yang merupakan rute kafilah utama yang berlanjut ke Maroko di Utara dan negara modern Sudan di seberang Gurun Sahara, serta salah satu rute utama untuk naik haji ke Mekah, ini adalah beberapa faktor yang menjadikan Timbuktu sebagai lokasi yang luar biasa untuk berdagang di wilayah Tran-Sahara.
Kawasan pemukiman Gurun Sahara yang dilintasi rute perdagangan dan jiarah ke Tanah Suci Mekah tumbuh dalam tradisi keilmuan yang kuat. Lihat saja Desa Chinguetti, Boutilimit, Tichitt, dan Oualata di Gurun Pasir Sahara yang memendam tradisi kuat dalam memelihara kitab-kitab kuno dalam perpustakaan-perpustakaan keluarga.
Muslim Arab kemudian mulai melindungi pusat perdagangan ini. Pedagang, pejiarah dan pelancong dari bagian barat Afrika bertemu dan berinteraksi dengan cendekiawan muslim yang tinggal di Timbuktu untuk berdagang. Puncaknya selama abad 16, Timbuktu mendominasi Afrika Barat dalam perdagangan.
Shah Tahir yang mengutip Al – Wazan dalam The Islamic legacy of Timbuktu, menulis “Raja yang kaya dari Tombouto (Timbuktu) membuat pengadilan yang megah dan lengkap. Koin di Tombouto adalah Emas. Ada kuil yang paling megah untuk dilihat, dindingnya terbuat dari batu yang dilapisi semen. Dan sebuah istana pangeran juga dibangun oleh seorang pekerja Granada yang paling baik. Di sini ada banyak toko, pengrajin, dan pedagang, dan terutama yang seperti menenun linen dan kain katun.”
Banyak komoditas diperdagangkan di Timbuktu, mulai dari pakaian, garam, emas, budak, dan buku-buku ilmiah yang ditulis dan disalin di sana. Fakta yang paling mengejutkan adalah bahwa, buku adalah barang dagangan paling berharga yang diperdagangkan di Timbuktu.
Hal ini dicatat oleh pengelana abad ke-16 Leo Africanus yang menulis bahwa, “Di sini dibeli manuskrip atau tulisan buku-buku dari Barbary, yang dijual lebih mahal daripada barang dagangan lainnya. Buku-buku yang populer sebagai ‘manuskrip Timbuktu’ ini sejak lama menjadi harta karun warisan dunia yang unik dan menarik perhatian para Cendekiawan dan peneliti.
Naskah-naskah tersebut ditulis dalam bahasa lokal termasuk Songhai dan Tamasheq, tetapi sebagian besar naskah ditulis dalam bahasa Arab yang isinya mencakup berbagai mata pelajaran seperti kedokteran, astronomi, matematika dll.
Pola tulisan Arab yang digunakan di Timbuktu berasal dari bentuk tulisan Arab Kufic dan Hijazi yang dikembangkan di Irak dan Hijaz (wilayah di Arab Saudi saat ini) selama abad ke 8 – 9 M. Bentuk-bentuk tulisan ini mengalami beberapa modifikasi karena pengaruh rantai budaya yang membentang dari Asia ke Afrika Utara melintasi Gurun Sahara dan akhirnya ke Timbuktu.
Namun manuskrip yang disalin dan ditulis di Timbuktu pada dasarnya ditulis dalam 3 bentuk naskah, yaitru Naskah ‘Sahara’ yang diambil sesuai gurun yang mengelilingi kota, Naskah ‘Sudan’ yang berkembang dari budaya pertanian yang membentang dari Afrika Timur ke selatan Timbuktu dan Naskah ‘Suqi’ secara harfiah berarti Naskah Pasar.
Selain Naskah yang ditulis dan disalin di Timbuktu, para sarjana juga mengimpor buku-buku dari bagian lain dunia Islam. Para sarjana yang pulang dari ziarah selanjutnya menambah koleksi naskah Timbuktu. Naskah-naskah tersbut merupakan salinan tangan mereka sendiri ketika belajar di pusat-pusat Islam lainnya.
Fakta lain yang menakjubkan adalah bahwa, budaya tulis Islam yang tumbuh selama Abad pertengahan tak tertandingi oleh Eropa. Meskipun pada saat itu tidak ada mesin cetak di tanah Islam, Namun luasnya penyebaran pengetahuan yang dituliskan dianggap sebanding dengan penyebaran budaya tertulis di Cina.
Di Timbuktu terdapat industri penyalinan yang dilakukan juru tulis aktif untuk memastikan produksi naskah yang berkelanjutan demi kebutuhan para sarjana, mahasiswa dan warga negara yang melek huruf. Ribuan buku yang ditulis dan disalin di Timbuktu di simpan dan dilestarikan oleh keluarga. Jumlah manuskrip yang dimiliki oleh sebuah keluarga merupakan indikasi status keilmuan keluarga itu.
Saat ini, banyak perpustakaan didirikan di Timbuktu yang menyimpan informasi tentang berbagai bidang pengetahuan untuk dimanfaatkan. Perpustakaan-perpustakaanitu antara lain Perpustakaan Mamma Haidara, Perpustakaan Sheikh Zayni Baye dari Boujbeha dan Perpustakaan Ahmed Baba yang hingga saat ini tidak begitu diketahui secara luas.
Para sarjana di bidang studi Islam dan studi Afrika terpesona oleh kekayaan informasi yang diberikan oleh naskah-naskah ini. Memang, penggunaan karya-karya ini oleh para sarjana kemungkinan akan menghasilkan penulisan ulang sejarah Islam, Afrika Barat, dan dunia.
Singkatnya, naskah-naskah di Timbuktu yang subjeknya mencakup setiap topik keilmuan adalah indikasi tingkat tinggi peradaban Afrika Barat yang dicapai selama abad pertengahan dan periode modern awal. Naskah kuno yang disimpan di rumah-rumah pribadi dan perpustakaan di Timbuktu berfungsi sebagai saksi yang fasih terhadap pengaruh Timbuktu yang dimulai pada abad ke-15 dan ke-16.
Baca Juga :
- Jejak Islam : Desa Tersembunyi di Gurun Sahara, yang Memiliki Puluhan Perpustakaan Kuno
- Jejak Islam : Mesjid adalah Perpustakaan Islam Pertama
- Jejak Islam : Sebuah Mesjid Kuno Berdiri Kokoh di ‘Kota 1001 Gereja‘
- Jejak Islam : Pendiri Universitas Tertua di Dunia Ternyata Seorang Muslimah
- Jejak Islam : Mengenal Mesjid Merah Panjunan di Cirebon
- Jejak Islam : Mesjid Istri Kauman, Mesjid Wanita Pertama Di Dunia