Jejak Islam : Pendiri Universitas Tertua di Dunia Ternyata Seorang Muslimah
Cahaya Islam yang memancar dari berbagai belahan bumi banyak meninggalkan jejak budaya dan peradaban yang mempengaruhi lintasan sejarah dunia. Di bidang pendidikan, dua universitas tertua di dunia ternyata didirikan dalam semangat Islam, yaitu Universitas Al-Qarawiyyin tahun 859 M dan Universitas Al Azhar Mesir tahun 970. Sedangkan di Eropa universitas tertua baru berdiri dua abad kemudian yaitu Universitas Bologna di Italia pada 1088 M dan Universitas Oxford di Inggris pada 1096 M.
Sebagai universitas tertua di dunia yang masih aktif sampai saat ini, keberadaan Al-Qarawiyyin telah diakui UNESCO dan Guinness World Records. Al-Qarawiyyin yang berdiri di Kota Fez juga merupakan institusi pertama yang mengeluarkan gelar pendidikan. Fakta lainnya yang menarik adalah Al-Qarawiyyin didirikan oleh seorang muslimah muda bernama Fatima al-Fihri dari Tunisia. Hal itu menunjukan bahwa wanita Islam di abad 9 Masehi telah berpikir jauh menembus jaman.
Fatimah adalah putri Mohammed al-Fihri yang pindah dari Qayrawan (Tunisia) ke Kota Fez. Keluarga Al-Fihris merupakan keturunan Arab Quraisy. Fatimah lahir sekitar 800 M di kota Kairouan (Qayrawan), Tunisia saat ini. Keluarganya menjadi salah satu dari banyaknya imigran yang eksodus dari semenanjung Iberia melintasi Afrika Utara ke kota-kota di Maroko.
Imigran Tunisia asalnya datng dari Andalusia yang mengungsi setelah memberontak terhadap Umayyah dan Aghlabids. Mereka terusir kemudian menetap di tepi timur Sungai Fez yang dulunya adalah pemukiman yang dikenal sebagai Al-‘Aliya.
Pada waktu itu, Fez adalah ibu kota dari kekuasaan Dinasti Idrisid yang dianggap pendiri negara Islam Maroko pertama. Kerajaan Idrisiyah berkuasa tahun 788 sampai dengan 974 M. Pendirinya adalah Idris I yang merupakan keturunan Hasan bin Ali.
Berkat kegigihannya dalam berdagang Mohammed al-Fihri menjadi saudagar yang sukses. Di distrik barat kota Fez, Al-Fihri membentuk komunitas bersama ‘Qayrawaniyyins’ lainnya. Mohammed al-Fihri juga memberikan pendidikan Islam yang baik bagi dua putrinya yaitu Fatimah dan Maryam sehingga menjadi muslimah yang taat dan religius. Dua putrinya itu tekun mempelajari Islam terutama fiqh dan hadits.
Menurut sejarawan abad ke-14 Ibn Abi-Zaraa, tertulis bahwa suami dan ayah Fatimah meninggal tak lama setelah pernikahannya. Kekayaan Mohammed al-Fihri diwariskan ke Fatima dan Maryam dan mereka berdua berjanji mewakafkan harta warisannya itu untuk membangun masjid dan pusat pendidikan agar komunitas Qayrawan dapat memuliakan Islam.
Di Kota Fez, Fatimah membangun Al-Qarawiyyin dan Maryam mensponsori pembangunan mesjid Al-Andalus awal 860 M. Dua mesjid ini lokasinya berdekatan dan kelak memegang peranan penting bagi peradaban Islam di dunia, yang menjembatani benua Eropa, Afrika dan Asia.
Dengan uang warisan ayahnya, Fatimah Al-Fihri yang bergelar Umm al- Baninin mewakafkannya untuk membangun masjid di bawah pengawasan Raja Yahya bin Muhammad yang berkuasa saat itu. Mesjid kemudian diperluas dengan membeli tanah di sekitarnya.
Proyek pembangunan diawasi langsung oleh Fatima sendiri. Fatimah memulainya pembangunan dengan kontruksi sederhana namun melalui proses pengembangan selama 1000 tahun mesjid dan universitas itu berevolusi menjadi megah.
Bangunan asli yang dibangun Fatimah masih dapat dilihat dalam tata letak masjid saat ini, menempati sebagian besar area yang sekarang menjadi aula. Denahnya berbentuk persegi panjang dengan ukuran 36 x 32 meter dan luasnya 1.520 meter persegi. Terdiri dari ruang sholat dan empat lorong melintang timur-barat, sejajar dengan dinding kiblat bagian selatan.
Sejarawan Tunisia Hassan Hosni Abdelwahab dalam bukunya Famous Tunisian Women menuliskan bahwa Fatimah berkomitmen membangun hanya menggunakan bahan baku dari tanah yang telah dibelinya. Fatimah menginstruksikan pekerjanya untuk menggali menggali pasir kuning, plester dan batu dari tanahnya sendiri sebagai material bangunan. Hal itu dimaksudkan agar tidak mengambil hak orang lain.
Pembangunan masjid membutuhkan waktu 18 tahun dan rampung awal Ramadhan 245 H, atau bertepatan dengan 30 Juni 859 M. Mesjid itu dikenal pula Jami’ as-Syurafa’. Menurut sejarawan Maroko Abdelhadi Tazi, Fatimah berpuasa dari awal sampai selesai pembangunan mesjid. Setelah mesjid berdiri, Ia masuk ke dalam dan berdoa kepada Allah SWT untuk berterima kasih atas berkah-Nya.
Bagian penting lainnya dari Al-Qarawiyyin adalah perpustakaan yang digunakan untuk tujuan keagamaan dan ilmu pengetahuan. Perpustakaan Al-Qarawiyyin telah diakui dunia sebagai yang tertua di muka bumi. Koleksinya lebih dari 4000 manuskrip dan beberapa di antaranya berasal dari abad ke-9 M.
Diantara koleksi penting perpustakaan adalah kumpulan hadis yang merupakan salinan tertua, tulisan sejarawan terkenal abad ke-14 M Ibnu Khaldun dan yang terutama adalah koleksi Al Qur’an dari abad 9 M yang ditulis dalam kaligrafi Kufic, serta kitab sirah tertua yang bercerita tentang kehidupan Nabi Muhammad.
Universitas Al-Qarawiyyin pada masanya berkembang sebagai salah satu jantung peradaban Islam yang turut membangun kejayaan Islam yang membentang dari Spanyol ke India. Meskipun letaknya jauh dari Mekkah yang menjadi titik awal berkembangnya Islam, banyak sarjana dari penjuru dunia datang ke Maroko untuk mempelajari Islam di Al-Qarawiyyin.
Awalnya Universitas Al-Qarawiyyin yang bersatu dengan mesjid merupakan madrasah tempat belajar komunitas Islam di Fez . Materi pelajaran di madrasah kemudian dikembangkan dengan memasukan tata bahasa Arab, kaligrafi, matematika, musik, kimia, undang-undang, mistisisme sufi, kedokteran, astronomi, sejarah, geografi, dan retorika.
Adanya sitem pendidikan yang mendalam akhirnya menjadikan Al-Qarawiyyin berkembang pesat dan masyhur, melampaui reputasi masjid itu sendiri. Al-Qarawiyyin dikenal di seluruh dunia sebagai tempat untuk diskusi dan debat tentang masalah agama, ilmiah, dan politik. Bahkan dapat disejajarkan dengan pusat intelektual Islam di Baghdad dan Cordova.
Selain berbagai topik keilmuan, universitas juga mendatangkan beberapa guru dan ulama dengan kualitas terbaik pada zaman itu. Dan Fatimah sendiri turut belajar di universitas yang didirikannya itu. Bahkan ijazah asli diploma Fatima al-Fihri yang terbuat dari papan kayu masih tersimpan dengan baik. Sehingga boleh disebut bahwa Fatimah adalah sarjana wanita pertama di dunia. Fatimah Al Fihri wafat tahun 880 M. Ia juga dijuluki ‘the lady of Fez’ dan ‘the mother of boys’.
Karena kemashyurannya, banyak siswa dari penjuru dunia banyak ingin belajar di Al-Qarawiyyin, sehingga pihak universitas memberkalukan sistem seleksi yang ketat. Sampai hari ini beberapa syarat untuk kuliah di Al-Qarawiyyin masih berlaku, diantaranya yang ingin belajar di Al-Qarawiyyin harus hafal Al-Quran.
Sistem belajar di Al-Qarawiyyin disampaikan dalam metode tradisional. Dalam kegiatan belajar mengajar, seorang syekh atau ulama bersama siswanya duduk setengah lingkaran yang disebut halqa. Mereka membaca teks-teks pelajaran dan berdiskusi tentang pokok-pokok tata bahasa, hukum, atau keilmuan lainnya termasuk menjelaskan poin-poin yang sulit dipahami.
Universitas Qarawiyyin menjadi pusat belajar siswa Islam dari seluruh Maroko dan Afrika Barat. Demikian pula siswa muslim dari Asia Tengah. Bahkan sering dikunjungi para mualaf muslim Spanyol. Universitas Qarawiyyin juga memberikan beasiswa bagi sebagian besar siswanya.
Selama abad pertengahan Universitas Al-Qarawiyyin menjadi salah satu pusat intelektual yang penting. Kemasyhuran Al-Qarawiyyin menjadi tujuan para sultan dan pedagang kaya untuk menguliahkan anak-anaknya. Mereka juga turut menjadi pelindung Al-Qarawiyyin dan memberikan subsidi berupa harta benda, terutama buku dan manuskrip.
Universitas Al-Qarawiyyin menghasilkan sejumlah ulama terkemuka yang memberikan pengaruh kuat di ranah intelektual dan akademik. Di antara nama-nama besar itu adalah Abu Abullah Al-Sati, Abu Al-Abbas al-Zwawi, Ibnu Rashid Al-Sabti (w. 791 H / 1321 M), Ibn Al-Haj Al-Fasi (w. 767 AH / 1336 M) dan Abu Madhab Al-Fasi yang memimpin generasinya dalam studi mazhab Maliki.
Bahkan rumornya Gerbert dari Aurillac (946–1003 M) yang lebih dikenal sebagai Paus Sylvester II pernah belajar di al-Qarawiyyin, dan dialah yang diberi kredit memperkenalkan angka Arab yang digunakan sampai hari ke seluruh Eropa. Demikian pula filsuf Yahudi Maimonides (Ibn Maimun) belajar di al-Qarawiyyin termasuk pula al- Bitruji (Alpetragius).
Meskipun reputasi Universitas Al-Qarawiyyin diakui luas di dunia Islam, orang-orang Eropa saat itumasih picik dengan Islam. Mereka memandang rendah lembaga keilmuan yang ada di benua Afrika. Ketika Prancis menaklukkan Maroko, mereka berusaha mengubah budaya Islam di universitas.
Namun upaya itu gagal. Sampai saat ini akar pengetahuan Islam masih tertancap kokoh. Bangunan universitas dari abad 9 Masehi itu masih berdiri tegak dengan megah dan para siswa serta sarjananya tetap tekun mempelajari dan mendalami Al-Quran.