Site icon Jernih.co

Israel, Hentikan Politik Apartheid Kalian!

Para pemuda pejuang Palestina, menghadapi serbuan polisi Israel di Al Aqsa.

Berpikirlah matang-matang jika ingin terus menjadi fanboy politik apartheid. “Setiap orang bisa membuat perbedaan,” ujar Philip Luther dalam akhir paparan video AI. “Bersama-sama kita harus menyuarakan kepentingan Palestina. Kita suarakan pelanggaran HAM yang telah membuat mereka menderita begitu lama. Hanya dengan bersama-sama melakukan ini kita bisa menekan Israel dan membuat sistem apartheid tidak lagi mereka praktikkan. Mari kita lakukan bersama karena setiap orang bisa membuat perbedaan.”  #EndIsraelsApartheid

Oleh  : Akmal Nasery Basral

JERNIH—Ada sebuah kejadian menarik di perbatasan pemukiman Palestina-Israel. Seorang bocah lelaki berjalan menyusuri tepian tembok tinggi dengan punggung menyandang ransel. Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh. Sang bocah menoleh ke belakang dan melihat sebuah bola kaki kumuh yang didekatinya dengan perhatian penuh. Dengan hati-hati disepaknya bola itu dengan kaki kiri, seraya badannya bergegas menjauh. Tak ada ledakan. Aman.

Sang bocah mengambil bola, ditendangnya setinggi mungkin agar melewati dinding. Berhasil. Dia lanjutkan berjalan. Sejenak kemudian terdengar lagi suara benda jatuh di belakangnya. Ajaib, bola kaki itu kembali! Sang bocah menyeringai: ada seseorang di seberang tembok yang mengajaknya bersantai. Diperhatikannya hamparan tembok panjang, eh, ada lubang sebesar kepala di satu bagian tak jauh dari tempatnya berdiri. Sang bocah mengintip. Dari ujung lubang muncul kepala bocah lain seumuran, menatap tanpa kedip. Mereka berkenalan. Anak Israel yang bersih rapi adalah Nathan, sang bocah Palestina bernama Khaled dengan penampilan berantakan.

Akmal Nasery Basral

Hari-hari selanjutnya mereka bermain melalui lubang tembok. Dari tarik tambang, saling menggelitik gunakan ranting zaitun, atau bermain kartu remi penuh olok-olok. Selalu gembira dan tertawa. Sampai satu hari ketegangan Israel-Palestina memuncak, sirene berulangkali menyalak galak. Nathan menyuruh Khaled pergi dan bersembunyi. Dia sendiri melesat pulang dan masuk bunker keluarga. Setelah suasana normal, Nathan datang lagi ke lubang dinding ingin tahu keadaan kawannya. Namun kali ini tak bisa: lubang dinding sudah diplester semen dan tertutup sempurna.

Kisah ini, sayangnya, bukan kejadian nyata. Ini film pendek 12 menit berjudul “Over The Wall” karya Roy Zafrani, alumnus jurusan film UCLA, yang menjadi penulis skenario dan sutradara. Dua aktor cilik Adi Weiss (Nathan) dan Assi Goffer (Khaled) bermain gemilang menghidupkan skenario imajinasi Roy (mendapat penghargaan Best Screenplay di LA Indie Film Fest 2017).

Kenyataannya, skenario dalam kehidupan asli tak pernah seharmonis itu di Tanah Palestina. Apalagi setelah Jumat lalu (15/4), Tentara Israel merangsek kaum Muslimin yang hendak salat Subuh di Masjid Al Aqsa—masjid suci ketiga bagi umat Islam–dan menekan selama tiga jam yang mencekam.

“Kami sudah di dalam masjid siap ibadah subuh ketika mereka menyerang duluan,” ujar Sanaa Harfoush, perempuan warga Yerusalem Timur. “Jamaah melawan.”

Israel punya versi sendiri. Mereka bilang lebih dulu diprovokasi pemuda Palestina yang melempar batu dan petasan. Tindakan itu mereka balas dengan tembakan peluru karet, granat setrum (stun grenade) dan gas air mata. Ketika kedua kelompok berhadapan dalam  jarak dekat, tentara Israel mengamuk menggebuk jamaah dengan pentungan, baik yang masih di luar masjid maupun di dalam ruang salat. Sedikitnya 150 orang Palestina terluka.

Insiden yang terjadi di bulan suci Ramadan–bertepatan dengan pekan ibadah Paskah umat Nasrani serta Paskah Yahudi (Passover)–sontak mendulang kritik pedas dunia  internasional. “Indonesia mengecam keras aksi kekerasan bersenjata aparat keamanan Israel terhadap terhadap warga Palestina di komplek Masjid Al Aqsa yang memakan korban jiwa dan luka-luka. Tindakan kekerasan terhadap warga sipil tersebut tak dapat dibenarkan dan harus segera dihentikan, apalagi dilakukan di tempat ibadah masjid Al Aqsa di bulan suci Ramadhan,” ujar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.

Aksi provokatif itu menambah panjang bukti cengkeraman politik apartheid opresif Israel terhadap rakyat Palestina.  Israel menerapkan apartheid? Apa iya? Bukankah politik segregasi dan diskriminasi rasial itu biasanya dinisbatkan kepada Afrika Selatan dan Afrika Barat Daya (sekarang Namibia) yang mempraktikkannya dari 1948 sampai awal 1990-an? “(Apartheid) Israel lebih buruk, mereka membangun tembok penyekat yang tak ada di Afrika Selatan,” ujar Uskup Desmond Tutu dalam wawancara di tahun 2012.

Tembok penyekat yang dimaksud penerima Nobel Perdamaian 1984 itu adalah tembok yang memisahkan bocah Nathan dan Khaled di film “Over the Wall”. Meski memenuhi satu frame kamera namun bentuk fisik tembok di luar kamera dalam bentuk aslinya lebih menggetarkan. Dibangun sejak 2002 dengan tinggi 8 meter dan panjang 700 kilometer, itu artinya Tembok Apartheid Israel dua kali lebih tinggi dari Tembok Berlin selain empat kali lebih kali lebih panjang! Sementara Tembok Berlin sudah runtuh dan menjadi bagian sejarah, Tembok Apartheid Israel semakin berdiri kokoh dan pongah.

Sebetulnya bukan hanya Uskup Desmond Tutu yang mensinyalir terjadi praktik apartheid di Negeri Zionis itu. Sejumlah NGO kemanusiaan sudah mengatakan hal serupa. Bahkan pada 19 Maret 2017—lima tahun lalu–PBB pernah mengeluarkan laporan yang menyatakan Israel melakukan politik apartheid atas bangsa Palestina. Namun umur laporan angat singkat karena langsung dianulir. “Sekjen PBB (Antonio Guterres) tak bisa menerima ada Laporan PBB beredar tanpa dikonsultasikan dengan departemen terkait dan tanpa persetujuan dirinya,” ujar Stephane Dujarric, juru bicara Sekjen, memberikan penjelasan.

Alasan itu justru memantik spekulasi kencang ada pihak tertentu mampu menyetir badan dunia tersebut untuk membuat laporan tumbang. Tanpa tedeng aling-aling Rima Khalaf-Hunaidi, ketua Dewan Ekonomi dan Sosial PBB Wilayah Asia Barat, menuding. “Saya yakin Israel yang menekan Sekjen untuk menjauhkan diri dari laporan itu. Kemarin pagi Sekjen meminta saya untuk menarik laporan. Saya sarankan Sekjen menelaah ulang pendapatnya tetapi dia bergeming. Saya putuskan mengundurkan diri dari PBB,” ungkap perempuan diplomat Yordania itu membongkar patgulipat busuk yang terjadi.

Tahun lalu giliran lembaga Human Rights Watch yang merilis laporan. “Meski kata apartheid diasosiasikan dengan Afrika Selatan, namun sebenarnya merupakan istilah legal universal yang merujuk ada kondisi berlakunya penindasan diskriminatif yang parah selain merupakan kejahatan atas kemanusiaan,” bunyi narasi akun resmi HRW di YouTube dengan tajuk “Israel Committing Crimes of Apartheid and Persecution” bertarikh 18 Mei 2021.

HRW mengacu pada Konvensi Apartheid 1973 dan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional 1998 yang mendefinisikan apartheid pada tiga ciri yaitu (1) Pelestarian dominasi satu kelompok ras terhadap kelompok lain, (2) Penindasan sistematis yang dilakukan satu kelompok ras terhadap kelompok lain, dan (3) Adanya satu atau lebih tindakan pelanggaran kemanusiaan (inhumane acts) sebagai bagian dari penindasan sistematis itu.

Sementara persekusi juga termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma 1998. Ada dua elemen penopang persekusi yakni (1) Niat diskriminatif yang bermuara pada, (2) Perampasan berat atas hak-hak dasar sebuah kelompok ras atau etnis.

Berdasarkan definisi universal tentang apartheid dan persekusi di atas dan riset lapangan, HRW yang bermarkas di New York City, Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa “Otoritas Israel terbukti melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan melalui penerapan apartheid dan persekusi terhadap bangsa Palestina.” Sampai di sini belum ada gonjang-ganjing serius meski Israel dan para konconya seperti Amerika Serikat menolak laporan HRW itu.

Gempa raksasa ihwal “Israel negara apartheid” baru terjadi pada Februari 2022 setelah Amnesty Internasional memublikasikan laporan setebal 280 halaman yang dikerjakan selama empat tahun dengan wawancara mendalam ratusan narasumber. Laporan yang versi videonya bisa dilihat pada kanal YouTube Amnesty International dengan judul “Israel’s Apartheid Against Palestinians: Cruel System of Domination and Crime Against Humanity”.

AI merujuk pada terminologi hukum internasional yang sama dengan yang dipakai HRW dengan memeriksa kondisi di lapangan tentang pemisahan dan segregasi warga Palestina dan warga Israel melalui penerapan hukum, tembok apartheid, dan pos pemeriksaan (checkpoints). “Saatnya bagi kami sebagai lembaga hak asasi manusia terbesar di dunia untuk menyampaikan analisis,” ujar Philip Luther, penasihat riset senior AI. “Hasil temuan dan kritisisme kami bukan ditujukan untuk orang-orang Yahudi melainkan kepada Negara Israel. Sebab Negara Israel yang merancang kebijakan, menerapkan hukum dan aturan-aturan yang menindas rakyat Palestina.”

Mantan PM Israel Benjamin Netanyahu pernah menulis di akun Instagramnya. “Israel bukanlah sebuah negara bagi seluruh warganya tetapi merupakan nation-state dari bangsa Yahudi dan hanya untuk mereka.” Status yang ditulis pada 2019 ini menggemakan hasrat serupa yang pernah disuarakan perdana menteri pertama David Ben-Gurion di awal berdiri negara Israel pada 1948. Sebab itu tak mengherankan jika semua kebijakan yang dibuat hanya untuk kepentingan privilese bangsa Yahudi Israel.

Lantas bagaimana dengan bangsa Palestina? Bukankah mereka hidup di wilayah yang sama? Ya, orang-orang Palestina memang ada di sana, bahkan jauh sebelum negara Israel dibentuk. Tetapi mereka sudah berdekade-dekade terperangkap dalam sistem rancangan Israel yang menempatkan mereka sebagai kelompok ras non-Yahudi yang lebih rendah. Bangsa kelas dua dan paria.

Mari cek fakta lebih rinci. Sebelum 1948, bangsa Palestina merupakan mayoritas populasi (70 persen) dan memiliki 90 persen lahan di wilayah yang dulu bernama British mandate Palestine. Sementara jumlah populasi bangsa Yahudi 30 persen seiring datangnya para diaspora Yahudi Eropa. Total pemilikan lahan mereka 6,5 persen di kawasan itu.

Pada saat negara Israel berdiri, mereka hancurkan ratusan desa dan pemukiman Palestina yang menewaskan ribuan orang dan membuat 800.000 jiwa terlunta-lunta sebagai pengungsi. Sekarang jumlah mereka membengkak jadi 6 juta jiwa dan tak diberi izin pulang oleh Israel. Setelah Perang 1967, Israel menduduki kawasan Palestina di Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza.

Strategi Israel mengatur pemukiman bangsa Palestina merupakan bagian taktik “Pemisahan dan Perampasan ( Fragmentation and Dispossesion)” yang menjadi pilar utama politik apartheid dengan tujuan utama kelanggengan dominasi dan kontrol kekuasaan. Pilar lainnya yang dimainkan Israel terhadap warga Palestina adalah:

– Ketidaksetaraan struktur dan status kebangsaan dengan warga Israel.

–  Pembatasan gerak/mobilitas super ketat

–  Aturan militer yang tegas mengikat

–  Penolakan hak atas partisipasi politik dan hak untuk protes damai

–  Pemisahan kejam terhadap anggota keluarga Palestina.

Faktor-faktor tersebut berkelindan membentuk cengkeraman apartheid Israel atas Palestina yang disaksikan dunia sekarang. “Inilah sistem yang menjadi akar masalah dari bermacam pelanggaran, penderitaan, dan kesulitan hidup jutaan warga Palestina yang mereka hadapi setiap hari,” ujar Philip Luther. 

Satu cara efektif yang dilakukan Pemerintah Israel dalam menjalankan segregasi dan opresi adalah melalui sistem kartu penduduk ( ID system). Orang Yahudi cukup punya satu kartu yang bisa menjamin mereka bisa tinggal di wilayah mana pun yang mereka mau, untuk mendapatkan fasilitas kesehatan dan aneka layanan premium lain yang berlimpah. Sementara warga Palestina punya empat jenis tergantung wilayah tempat tinggal. Jenis kartu akan membedakan hak yang bisa dilakukan, wilayah yang bisa dikunjungi, dan tindakan yang bisa dilakukan.

Pemegang kartu hijau berarti terikat mutlak dengan aturan militer. Pemegang kartu hijau dengan alamat Gaza—jumlah mereka sekitar dua juta orang–berarti terperangkap di sebuah “penjara terbuka ( open-air prison) seluas 365 km2 dalam blokade total tentara Israel yang mengontrol ketat semua aliran keluar masuk kawasan, termasuk mainan anak-anak dan pasokan obat. Ini dimulai sejak 2007. Sekitar 90 persen warga Gaza tak punya akses air bersih, 47 pengangguran dan 56 persen hidup miskin.

Pemegang kartu hijau Gaza juga tak boleh ke Yerusalem atau Tepi Barat meski ada keluarga mereka di sana. Sebaliknya, jika ada warga Tepi Barat yang menurut Israel adalah penduduk ilegal meski sudah bertahun-tahun tinggal di kawasan itu, mereka bisa dipaksa pindah ke Gaza. Ada atau tidak ada saudara di sana. Sebuah deportasi.

Lalu ada pemegang kartu hijau dengan alamat Tepi Barat yang berjumlah sekitar tiga juta jiwa. Mereka tinggal di kantong-kantong pemukiman yang sudah ditentukan (legal), dikelilingi kawasan hunian Israel yang mewah—sebenarnya justru ilegal. Di antara kedua pemukiman itulah dibangun Tembok Apartheid Israel dengan tinggi 8 meter dan panjang 700 km yang sudah disebutkan sebelumnya.

Segregasi diperkuat dengan aturan jalan raya berbeda untuk warga Israel dan untuk orang Palestina. Bedanya, jika orang Israel bisa melaju kencang dengan kendaraan mereka, orang-orang Palestina tiap sebentar harus berurusan dengan pos pemeriksaan (checkpoints) yang jumlahnya banyak sekali, bukan hanya satu-dua. Pemegang kartu hijau dengan alamat Tepi Barat boleh bepergian ke Gaza atau Yerusalem Timur, namun setelah mereka mendapatkan surat izin bepergian dari aparat keamanan Israel.

Jenis kartu berikutnya adalah kartu biru bagi warga Palestina yang tinggal di Yerusalem Timur dan berjumlah sekitar 300 ribu orang. Mereka boleh berkunjung ke Tepi Barat dan kawasan Israel lainnya tetapi mereka bukan dianggap sebagai warga negara Israel. Mereka hanya penduduk saja. Karena bukan warga negara, mereka tak punya hak pilih dalam pemilu Israel. Jika mereka meninggalkan Yerusalem Timur untuk waktu lama—misalkan kuliah atau bekerja di luar negeri—maka kartu biru mereka dicabut dan dibatalkan yang berarti mereka tak bisa kembali. “Sejak 1967, Israel sudah membatalkan 16.400 kartu biru warga Palestina di Yerusalem Timur,” ungkap Philip Luther.

Terakhir, orang-orang Palestina pemegang kartu kewarganegaraan Israel yang berjumlah 1,3 juta jiwa. Mereka memiliki lebih banyak privilese dibandingkan tiga kelompok pemegang kartu sebelumnya. Meski begitu, mereka tetap tak diizinkan bermukim di 68 persen kota-kota Israel. Artinya jika ada 100 kota di Israel—sekadar contoh untuk memudahkan—mereka hanya bisa tinggal di 32 kota saja yang diperbolehkan.

Kelompok ini boleh ikut pemilu, punya hak suara dan dipilih sebagai anggota Knesset (Parlemen Israel)–namun tetap mengalami diskriminasi karena tak mendapat layanan sosial sebagus warga Yahudi Israel, bahkan jika mereka terpilih sebagai anggota Knesset.

Seakan-akan tak cukup membuat rakyat Palestina menderita dengan sistem kartu penduduk yang berlapis-lapis itu, Pemerintah Israel masih mempersulit pemberian IMB. Bandingkan data ini. Di tahun 2020, jumlah IMB yang diberikan kepada warga Yahudi di Tepi Barat sebanyak 1.094 sedangkan kepada warga Palestina di kawasan yang sama  hanya … 1 (satu)! Jika ada warga Palestina yang nekat membangun tanpa IMB, maka bangunan akan dibuldozer dan diratakan dengan tanah dengan alasan tak punya IMB.

Di tahun yang sama, Amnesty International mencatat terjadi penghancuran rumah warga Palestina sebanyak rata-rata 18 rumah setiap pekan. “Ini cara memperlemah bangsa Palestina dan memiskinkan mereka yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk peraturan yang rasis,” kecam Philip Luther.

Tudingan praktik apartheid dengan seketika dibantah Menteri Luar Negeri Israel, Yair Lapid. “Amnesty Internasional mengutip kebohongan yang sering diucapkan kelompok-kelompok teroris untuk memburukkan negara kami. AI sudah ikut menjadi gerakan Anti Semit. Cukup 5 menit menguji serius data dalam laporan AI sudah bisa menunjukkan semuanya bohong,” katanya.

Bantahan Israel diamini Pemerintahan Joe Biden yang sedang memerintah AS dan menjadi sekutu terdekat negeri Zion itu. “Sebuah laporan yang absurd,” ujar Duta Besar AS untuk Israel, Tom Nides. “Itu bukan jenis bahasa yang kami pakai dan tak akan pernah kami gunakan.”

Namun pihak AI menjawab kalem. “Kami bukan organisasi politik, kami organisasi kemanusiaan. Israel memang bukan Afrika Selatan, tetapi apa yang mereka lakukan terhadap rakyat Palestina sudah memenuhi definisi apartheid menurut hukum internasional yang berlaku,” simpul Sekjen AI, Agnes Callamard, dari kantor pusatnya di London, Inggris.

Apa implikasinya bagi kita bangsa Indonesia?

Wahai para pejabat negara dan pemimpin ormas agama Islam yang selama ini (diam-diam) bolak-balik ke Israel, bacalah arah angin bertiup. Human Rights Watch dan Amnesty Internasional bukan organisasi abal-abal nan redup. Kedua lembaga tak membawa-bawa sentimen agama dalam melakukan kajian, melainkan murni dari paradigma kemanusiaan dan hukum internasional yang hidup.

Afrika Selatan sebagai contoh negeri apartheid adalah cerita abad 20. Kini di abad 21, Israel yang menempati posisi itu. Kisah Afrika Selatan sudah selesai sebagai bagian sejarah, kisah Israel masih terus berjalan dan menumpahkan darah orang-orang tak bersalah.

Buka mata dan gunakan hati nurani kalian, wahai pejabat pemerintah dan pemimpin ormas Islam nan budiman. Tidak semua urusan harus diteropong dengan lensa politik. Dengan batin dan nalar jernih yang bebas kepentingan kekuasaan jangka pendek—betapapun memukau dan memabukkannya—sebuah kenyataan harus dikabarkan meski mungkin terasa pahit: Israel adalah negara penganut sistem apartheid.

Selebihnya tergantung penyikapan Anda sekalian wahai para pejabat dan pemimpin ormas keagamaan. Jika Anda menahan diri dan tak lagi mendukung agenda-agenda Israel, itu lebih baik bagi bangsa Indonesia. Risiko terburuk hanya mendapat julukan “Anti Semit” yang diberikan kepada Anda, bukan? Apa ruginya? Toh Human Rights Watch dan Amnesty International pun diberi label serupa hanya karena menyampaikan fakta lapangan yang selama ini tak pernah diakui Israel dan negara-negara konco.

Namun jika Anda—wahai pejabat dan pemimpin umat—memilih tetap berdekat-dekat dengan Israel, itu pun sah-sah saja sebagai sebuah pilihan. Risiko bagi Anda juga hanya satu: masyarakat Indonesia akan selamanya mengingat Anda sebagai pendukung negara apartheid Israel. Jika hal itu tak masalah bagi Anda, silakan.

Tak perlu keluar masuk Israel diam-diam seperti kebiasaan selama ini. Percayalah, di era media sosial sekarang, mereka yang keluar masuk lewat pintu depan lebih dihormati dibandingkan yang datang lewat pintu belakang—dan bakal ketahuan juga cepat atau lambat.

Berpikirlah matang-matang jika ingin terus menjadi fanboy politik apartheid. “Setiap orang bisa membuat perbedaan,” ujar Philip Luther dalam akhir paparan video AI. “Bersama-sama kita harus menyuarakan kepentingan Palestina. Kita suarakan pelanggaran HAM yang telah membuat mereka menderita begitu lama. Hanya dengan bersama-sama melakukan ini kita bisa menekan Israel dan membuat sistem apartheid tidak lagi mereka praktikkan. Mari kita lakukan bersama karena setiap orang bisa membuat perbedaan.”  #EndIsraelsApartheid [ ]

*Sosiolog, penulis 24 buku. Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.

Exit mobile version