Site icon Jernih.co

Narasi Presiden Jokowi Tiga Periode, Pembiaran yang Anti-Etika

Spanduk dukungan agar Jokowi menjabat presiden untuk ketiga kalinya, yang marak beberapa waktu lalu.

Karena itu, sangat adil dan terpuji manakala Presiden Jokowi pun bisa dengan tegas meminta para pendukung dan calon pendukungnya untuk tidak lagi mengembang dan memperluas idiom-idiom ‘tiga periode’ yang sudah pasti tidak konstitusional itu. Ini adalah cara yang adil dalam arti jujur dan proporsional. Bukankah dalam Islam ditegaskan bahwa pemimpin itu tidak hanya harus shiddiq (jujur dan benar), tabligh ( menyampaikan kebenaran dan punya sikap), amanah (mampu bertanggung jawab), fathanah (pandai, smart), tetapi juga ádalah alias jujur dan mau menegakkan kejujuran?

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

JERNIH– Rabu (20/7) lalu, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat, setelah menerima aspirasi dari Komite Referendum Rakyat NTT berjanji segera meneruskan aspirasi itu kepada Presiden Joko Widodo. Isi aspirasi itu adalah keinginan rakyat NTT agar Presiden Jokowi menjabat lagi presiden untuk ketiga kali.

Darmawan Sepriyossa

Sampai di sini, tak ada yang salah. Mendengar dan menyampaikan suara rakyat kepada hierarki yang lebih tinggi pun wajar dimaknai sebagai bagian dari tugas seorang eksekutif pilihan publik.

Persoalannya, bagaimana bila suara yang diajukan itu sebuah pikiran yang cenderung berlawanan dengan Konstitusi Negara, UUD 1945? Konstitusi menegaskan bahwa seorang presiden hanya dapat dipilih selama dua masa jabatan, bukan tiga sebagaimana yang dikehendaki suara tersebut, atau bahkan seumur kepala masih tegak disangga lehernya.  

Bolehlah jika diskusi akan melebar, bahwa pembatasan dua kali masa jabatan itu pun merupakan hasil dari amandemen UUD 1945—yang awalnya pun alhasil merupakan suara yang berlawanan dengan UUD itu sendiri. Wacana tentu akan  bergeser pula pada, apakah Komite Penyelenggara Referendum Rakyat NTT tersebut benar-benar telah menggelar sebuah referendum yang terbuka, adil dan proper, atau justru bahkan dari sisi organisasi pun bisa saja —mengambil istilah Kassospol ABRI, Letjen Soeyono di zaman Orde Baru– hanya sebuah OTB, organisasi tanpa bentuk.  Diskusi ke arah sana sangatlah mungkin.

Di sini, tampaknya kita harus mempertanyakan kesadaran etika yang dimiliki Gubernur Viktor Laiskodat. Sangat tidak mungkin sebagai politisi kawakan Viktor tidak mengerti urusan yang tergolong paling dasar dari aturan yang ditegaskan Konstitusi itu. Dari sisi itu saja, Viktor seharusnya sadar, dia punya alasan tegas untuk tidak ikut-ikutan mengembangkan usulan yang berlawanan dengan aturan Konstitusi tersebut.

Di sisi lain, sebagai politisi yang datang dari rahim Partai Nasdem, Viktor pun seolah tidak memberi muka kepada partainya, yang selama ini dengan tegas  meno-lak jabatan ketiga berturut-turut kepada Jokowi itu. Alhasil, ada tendensi bahwa Viktor pun tengah caper alias mencari perhatian dari Jokowi. Untuk apa, kita tak terlalu pantas mengurusi urusan pribadi seperti itu. Yang jelas, dari sisi fatsoen politik, orang bisa saja memandang Gubernur Viktor cenderung tuna etika.

Padahal, mengingat hidup akan terasa kering dan rigid bila hanya diatur aturan hukum yang jelas penghukumannya, kehidupan kita pun menjadi luwes karena pemuliaan kita akan etika. Dan karena hanya makhluk yang bijaksana saja yang bisa memuliakan etika tanpa harus senantiasa berlaku baik karena teror aturan hukum, bapak taksonomi Carolus Linnaeus pun menyebut manusia sebagai Homo sapiens, makhluk bijaksana.  

Selain itu, mengingat urusan ini masih adem-ayem tak menimbulkan polemik, kita bisa juga mempertanyakan diamnya “kaum patriot” pembela NKRI harga mati yang selama ini selalu ramai meraung soal sikap intoleran, menunjuk orang sebagai kaum intoleran, hingga menuding pihak lain sebagai bagian dari kaum radikal. Jika mereka tengah capek dan mengaso, setidaknya kasus ini menjadi bagian dari pengingat bahwa perjuangan itu memerlukan konsistensi dan keberpihakan hanya kepada keadilan. Bukan ambigu hanya karena urusan kroni, apalagi bila sekadar kambrat biasa.

                                                         ***

Dalam tarikh Islam, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,”La’natullah ‘alas siyasah. Laknat Allah kepada politik.” Mengingat Nabi sendiri pernah bersabda bahwa “Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubah dengan tangannya, sekiranya tidak mampu maka dengan lidahnya, sekiranya tidak mampu lagi maka dengan hatinya. Cara demikian (dengan hati) itu adalah selemah-lemahnya iman,” di mana ‘tangan’ kerap dimaknai sebagai dengan kekuasaan (politik), tentu kita harus mengambil makna mendalam akan sabda Nabi tersebut.

Yang disebut politik terlaknat ala Nabi tersebut barangkali politik yang alpa berlandaskan moral. Politik yang hanya diisi figur-figur haus kekuasaan tanpa pernah bertanya ke dalam hati, untuk apa ia berkuasa. Sangat mungkin, politik yang hanya menitikberatkan perjuangan kepada usaha mengejar kursi kekuasaan. Politik yang dilaknat itu, lebih cenderung adalah politik yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, bukan alat untuk menegakkan kebenaran.

Interpretasi di atas menemukan pembenaran jika kita membuka janji Tuhan  dalam firman,”Kampung akhirat Kami sediakan buat orang-orang yang tidak haus kekuasaan (sewenang-wenang), serta tidak berbuat kejahatan di muka bumi…” (QS 28:83).

Politik tanpa fatsoen jelas politik yang rendah (low-politics). Politik yang disebut tuna-etika oleh Prof Azyumardi Azzra (saat ini ketua Dewan Pers) menurut beliau  dalam sebuah artikel yang dimuat Kompas pada 2015 lalu, selain tidak akan menumbuhkan kepercayaan rakyat, juga hanya bakal mendatangkan kekacauan dalam kehidupan politik, demokrasi, dan tata kelola pemerintahan. Jika politik tunaetika itu berlangsung di lembaga legislatif, kata Prof Azyumardi, hampir bisa dipastikan institusi ini tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. “Sebaliknya, lembaga legislatif cenderung sekadar menjadi ajang tawar-menawar politik untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan partai,”tulis beliau.

Bila dibiarkan berkembang tanpa penataan untuk membuatnya kembali sehat,tata kelola publik juga jadi tidak efektif (ineffective public governance), hingga ujung-ujungnya skeptisisme dan apatisme politik terhadap demokrasi dan tata kelola publik, dapat meluas.

Saya tak menafikan masih adanya persona yang bisa kita teladani dalam urusan fatsoen politik ini. Tidak usah jauh-jauh ke alam ideal, mana kala Republik ini dikelola para politisi cum negarawan di era 1950-an. Saat itu, fatsoen politik difungsikan sebagai kompas dan fondasi berpolitik para elit nasional. Dinamika komunikasi politik antarsesama elit berbeda partai, ketika itu sangat harmonis, meskipun visi ideologis mereka bisa berseberangan secara diametral.

Tokoh-tokoh partai Islam terbesar masa itu, seperti Mohammad Natsir, Mr Sukiman, Mohammad Roem, Prawoto, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Masykur, Wahid Hasyim dan kawan-kawan bergaul dan berteman baik dengan tokoh Partai Katolik, IJ Kasimo dkk, serta Partai Sosialis Indonesia dkk, dalam semangat kebersamaan dan kebangsaan. Perilaku politik luhur itu bukan ilusi, tapi dipraktikkan dalam tataran realitas politik konkret dalam Pemilu 1955. Itulah yang kemudian membuat pemilu pertama itu menjadi pemilu yang paling bersih dan demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Kualitas pemilu seperti itu sangat tidak mungkin dihasilkan dari sebuah milieu politik yang minus moral dan minus etika politik, seperti pemilu-pemilu Indonesia selanjutnya.

Misalnya, segera setelah PAN menegaskan berpihak pada pencalonan Prabowo-Sandiaga pada Pemilu 2019 lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Asman Abnur, segera pula mengundurkan diri dari kabinet pemerintahan Jokowi-Kalla. Pengunduran Asman dari MenPAN-RB itu, disebut-sebut bukan tanpa perbincangan serius dengan Presiden Jokowi saat itu. Asman menyatakan, tak elok manakala dirinya yang datang dari partai yang berbeda pandangan politik, tetap menjadi bagian dari kabinet yang saat itu berjalan. Perlu juga menjadi perhatian adalah sikap Asman yang secara santun memohon izin kepada Presiden untuk mengundurkan diri dari kabinet.

Dalam urusan pengajuan tiga periode Jokowi ini pun kita bisa mengambil pandangan Paul Ricoeur. Bagi Ricoeur, etika politik (fatsoen) mengandung tiga tuntutan, (1) upaya hidup harmoni bersama dan untuk orang lain, (2) upaya memperluas lingkup kebebasan, serta (3) membangun keadilan dan institusi-institusi yang adil.

Karena itu, sangat adil dan terpuji manakala Presiden Jokowi pun bisa dengan tegas meminta para pendukung dan calon pendukungnya untuk tidak lagi mengembang dan memperluas idiom-idiom ‘tiga periode’ yang sudah pasti tidak konstitusional itu. Ini adalah cara yang adil dalam arti jujur dan proporsional. Bukankah dalam Islam ditegaskan bahwa pemimpin itu tidak hanya harus shiddiq (jujur dan benar), tabligh ( menyampaikan kebenaran dan punya sikap), amanah (mampu bertanggung jawab), fathanah (pandai, smart), tetapi juga ádalah alias jujur dan mau menegakkan kejujuran? [dsy]

Exit mobile version