Menariknya kiriman tersebut datang dari lintas partai dan golongan. Mulai dari pendukung pemerintah sampai oposisi; Jokower, cebong, kampret, kolam Bebek, Bani Serbet, Anieser, pendukung 212, kelompok aktivis perempuan MPI (Maju Perempuan Indonesia), you name it. Lengkap semuanya.
JERNIH–Kemarin siang, Ella Jufri dan suaminya, Naswir, menengok saya di rumah sakit. Tidak seperti lazimnya menengok orang sakit, kami tidak bisa saling memeluk dan berdekatan, karena pasien covid memang tidak boleh dibezoek.
Kami hanya bisa menatap dari kejauhan dibatasi tembok kaca, namun kami masih tetap bisa melepas kerinduan lama tak bertemu. Silahturahmi berjalan, tetap jaga jarak dan kami semua aman.
Saya ceritakan pengalaman ini ke sahabat saya Ifti Arman Joe Rashid yang menelpon dari Kuala Lumpur pagi tadi karena khawatir kondisi dengan saya.
“Gee, you are like in a jail Dian,” kata Ifti antara takjub dan kasihan. Saya merasakan adanya ‘the new tyranny of distance’.
Aturan soal jaga jarak ini memaksa banyak pihak melakukan adaptasi dengan cepat (pembelajaran dan bisnis daring misalnya), menciptakan kebiasaan baru dengan meng-ubah patern interaksi sosial yang telah kita lakukan selama ini, yakni hubungan kita dengan keluarga, sahabat serta rekanan bisnis.
Namun tetap bagi saya, pertemuan dengan Ella kemarin siang memberikan highlight meskipun menjaga jarak penting, akan tetapi justru mendekatkan hati kami. It has reduced our moral distance. Bagaimana tidak, begitu mendengar saya positif covid, banyak kawan menelepon dan menawarkan bantuan dengan tulus.
Membaca pesan menyemangati untuk segera sembuh bersliweran di Whatapps, Facebook dan Twitter membuat saya mbrebes mili terharu. Cri Sajjana Prajna Wekadigunawan mengirimkan pesan video dari Farran anaknya mendoakan saya cepat sembuh.
Sahabat saya Rektor IPB, Arif Satria, mengirim lagu ciptaannya ketika dia menjalani isolasi di rumah sakit terkena covid. Liriknya keren dan menghibur. Dikirim saat yang tepat, ketika saya merasakan nyeri mendapat coblosan bermacam jarum suntik malam itu.
Arif juga memberikan tip bagaimana mengatasi serangan sesak nafas yakni dengan melinting tissue ditetesi minyak kayu putih dan dimasukkan ke hidung. Rektor IPB ini juga memberikan contoh dengan mengirimkan fotonya. Ini membuat saya terbahak, karena dalam foto itu ia lebih cocok menjadi cover boy.
Tipsnya ternyata joss tenan, sekarang saya mempratikkannya karena sering mendapat serangan sesak nafas.
Belum lagi generocity dari sahabat-sahabat yang mengirim madu, supplemen herbal, snack, coklat hingga buah-buahan.
Kang Caca (Fariza), sahabat lama dulu ketika sekolah di Bandung, selain mengirim supplemen, beliau juga mengutus Ustad Sahal yang menelepon saya secara khusus setiap lepas magrib untuk mendoakan saya. Tak henti-hentinya saya bersyukur kepada Tuhan yang begitu menyayangi saya.
Rasa-rasanya saya bisa buka warung dengan kiriman dari sahabat-sahabat saya itu.
Menariknya kiriman tersebut datang dari lintas partai dan golongan. Mulai dari pendukung pemerintah sampai oposisi; Jokower, cebong, kolam Bebek, Bani Serbet, Anieser, pendukung 212, kelompok aktivis perempuan MPI (Maju Perempuan Indonesia), you name it. Lengkap semuanya.
Memandang kiriman makanan dan supplemen tersebut sejatinya Indonesia bisa bersatu mengalahkan covid.
Ini bukti, menghadapi krisis kesehatan masyarakat saat ini, banyak orang mengesamping perbedaan ideologi politik. Mereka menjadi moral examplar (teladan moral) dengan menunjukkan kemurahan hati, kebaikan, dan kasih sayang.
Bagi saya hal ini membawa benih harapan baru.
Membangun peradaban baru dengan masyarakat yang peduli satu sama lain, bukan saja pada saat krisis kesehatan seperti sekarang tapi mestinya setiap saat bila dibutuhkan.
Sangat menyedihkan bila dibutuhkan ‘the invisible enemy’ untuk melihat betapa kita punya kesempatan untuk mengalahkan covid. Kasih sayang, kemanusiaan dan kepedulian itu terasa nyata.
My greatest hope it spreads faster than the virus. [bersambung]
Duren Tiga, Midnight, 19 0ct 2020