Menggali Nilai Ekonomis “Mata Lembu”
Hewan bertubuh lunak itu dipercaya sebagai obat kuat alami
Oleh : Usep Romli H.M.
Pesisir pantai selatan Jawa Barat, sangat kaya akan potensi sumber daya alam kelautan. Selain ikan, terdapat juga bebagai jenis hewan laut. Di antaranya “kekeongan” (Gastropoda).
Beberapa jenis”kekeongan”, baru dimanfaatkan ala kadarnya. Terutama dagingnya, untuk tambahan lauk-pauk sehari-hari. Padahal selain daging, kulit “kekeongan” akan sangat berharga jika diolah sedemikian rupa, untuk bahan cendera mata. Aneka bentuk dan warna kulit “kekeongan”, dapat dijadikan pernik-pernik, seperti kalung, hiasan dinding, bingkai, dan banyak lagi.
Penggalian potensi kreatip dalam mengolah cangkang “kekeongan”, mungkin memerlukan bimbingan penyuluhan dari instansi terkait, baik dalam aspek tehnis, maupun permodalan dan pemasaran. Berkat keberadaan jalur lintas selatan antara Cidaun, Kab.Cianjur, dengan Cipatujah, Kab.Tasikmalaya, yang bersambung ke Pangandaran, Kab.Ciamis, kawasan pesisir selatan Jawa Barat akan berkembang pesat menjadi daerah tujuan wisata. Sehingga kelak akan memberi kontribusi penting terhadap karya-karya kerajinan setempat.
Beberapa jenis “kekeongan” yang dapat dikonsumsi, mengandung protein tinggi, dan rasa gurih. Jika diolah secara tepat, akan memperkaya kuliner lokal. Dijadikan masakan khas, atau bahan “nyamikan” seperti keripik atau olahan lainnya.
Di pesisir Pameungpeuk, Kabupaten Garut, terdapat sejenis “kekeongan” yang disebut “green turbo”. Yaitu keong laut berukuran sebesar ibu jari, berwarna hijau terang. Penduduk setempat menamakannya “mata lembu”. Hewan bertubuh lunak (mollusca) ini, dipercaya mengandung zat yang mampu menambah hormon manusia. Tak heran jika “mata lembu” diisukan sebagai obat kuat alamiah, tanpa efek samping.
Terlepas dari kepercayaan yang masih perlu dibuktikan itu, “mata lembu” sangat umum dikonsumsi, baik oleh anak-anak remaja, maupun orang tua, laki-laki dan perempuan, karena rasanya yang lezat, serta jumlahnya sangat banyak. Sebagaimana semua jenis “kekeongan”, yang lamban gerak dan hidup di air dangkal, cara menangkap “mata lembu” amat mudah. Habitatnya di atas permukaan karang berlumut. Menempel berkelompok.
Hingga saat ini, “mata lembu” belum dibudidayakan. Mungkin penduduk setempat masih merasa cukup mengandalkan hasil tangkapan dari “mata lembu” yang berbiak di alam bebas.
Namun seiring dengan meningkatnya popularitas “mata lembu” sebagai makanan khas yang dikaitkan dengan kepercayaan sebagai obat kuat, kebutuhan pun akan meningkat pula. Dikhawatirkan terjadi eksploitasi berlebihan, yang menyebabkan populasi “mata lembu” menurun. Jika terjadi, akan berpengaruh terhadap perubahan keseimbangan ekosistem pantai.
Menurut seorang mahasiswi Fakultas llmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, Jateng, yang sedang mengadakan penelitian di pesisir selatan Garut, “mata lembu” memiliki manfaat ekologis sebagai herbivora, yang dapat mengontrol kelimpahan makroalga. “Mata lembu” memang hanya satu jenis biota dari jutaan jenis biota yang hidup di perairan laut. Hanya saja, jika penurunan populasi “mata lembu” berlangsung cepat akibat penangkapan massal, akan menimbulkan konsekwensi bagi kehidupan biota lain yang merupakan bagian dari rantai makanan di muka bumi.
Karena itu, pemanfaatan “mata lembu” yang bernilai ekonomis tinggi, harus terus diupayakan. Di samping itu, aspek konservasinya juga, harus diperhatikan, agar kelangsungan hidup sumber daya kelautan tetap terjaga. Tampaknya, pihak-pihak berwenang di Kab. Garut khususnya, yang ingin memanfaatkan potensi kelautan, baik di bidang pariwisata, perikanan, maupun kelestarian alam, harus segera turun tangan. Melakukan kerja sama yang harmonis dan seirama. Jangan kalah cepat oleh para pialang, yang akan menggunakan kesempatan harga murah dan pengetahuan penduduk yang sederhana, dalam mengeksploitasi “mata lembu”. [ ]