UKUR
Beberapa biksu Buddha yang hadir di acara penghukuman itu menarik nafas. Sebagian memalingkan muka, memandang ke arah Keraton, seolah yakin ada sepasang mata yang menyaksikan prosesi keji tersebut dengan penuh kebanggaan diri.
“Evaṃ mayā śrutam
Evaṁ jarā ca maccu ca…
Episode-36
Episode-36
Tak harus menunggu terlalu lama, sebulan kemudian Gunung Lumbung sudah diserbu dari berbagai penjuru. Ribuan–kalau tidak puluhan ribu sebagaimana pihak yang suka membesar-besarkan, wadya bala Mataram menyerang Gunung Lumbung. Kali ini, pasukan pimpinan Tumenggung Narapaksa itu diperkuat Bagus Sutapura dan pasukannya, yang sama-sama orang Sunda sebagaimana mereka yang bertahan di benteng gunung.
Ada cerita tentang bagaimana Bagus Sutapura yang disebut-sebut sebagai adipati Kawasen (saat ini berada di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis) itu mau membantu wadya bala Mataram. Konon, Bagus Sutapura adalah kakak seperguruan Ukur pada suatu masa pembelajaran. Pihak Mataram berharap, rasa hormat Ukur kepada kakak seperguruannya itu mampu membuatnya menyerah dan bersedia datang ke Mataram. Bagus Sutapura mau membantu karena tak enak akan permintaan Adipati Imbanagara[1], bupati Galuh Ciamis saat itu, yang dibawa Tumenggung Narapaksa.
Namun, sebagaimana yang lain, ia luput menyadari bahwa yang dihadapinya bukanlah Ukur. ‘Ukur Mardawa’—yang jelas tak punya keharusan untuk menaruh hormat kepada Bagus Sutapura, tak bisa diminta untuk rela menyerahkan diri dan ikut ke Mataram. Alih-alih menyambut ajakan dari mulut manis namun penuh racun Bagus Sutapura, ‘Ukur Mardawa’ malah berkali-kali mengejek Sutapura yang dianggapnya berkhianat.
“Lamun enya ngaku dulur, kalaulah mengaku saudara, mengapa Kakang Bagus malah meminta kula sudi menyerahkan nyawa percuma ke orang-orang Wetan? Seperti yang tak tahu saja bahwa orang Wetan itu hanya punya satu cara untuk siapa pun yang tak memuaskan nafsu berkuasa mereka; dibunuh. Rayi tak akan pernah mau dibunuh begitu saja sebelum melawan sampai titik darah terakhir,” kata ‘Ukur Mardawa’.
Akhirnya tak terelakkan, kedua nonoman sakti tersebut memilih menyesaikan persoalan dengan bertarung habis-habisan. Keduanya menguras semua kemampuan yang masing-masing mereka miliki. Sayang, bagaimana pun ‘Ukur Mardawa’ bukanlah Ukur asli yang memiliki ilmu berlapis-lapis, yang dikeluarkan tergantung kehebatan musuh yang dihadapi. Benar bahwa selama bersama majikannya itu Ki Mardawa yang kini menjadi ‘Ukur Mardawa’ sempat belajar Aji Munding Lalampah, ilmu yang sangat dikuasai Ukur. Namun tentu saja, tahapan Aji Munding Lalampah yang ia miliki belum setinggi Ukur. Sementara, karena ia pun menggunakan ilmu tersebut dalam pertarungan, lawannya, Bagus Sutapura, sangat yakin bahwa yang ia hadapi memang bernar Ukur. Bagaimana tidak, bila wajah dan ilmu kanuragan yang dimilikinya pun benar-benar menunjukkan dia Ukur Wangsanata. Sempat memang Sutapura merasa heran, karena merasa Munding Lalampah yang dipakai Ukur untuk menyerangnya jauh di bawah Munding Lalapampah yang juga ia kuasai. Apalagi suara Ukur pun menurutnya berubah banyak, jadi lebih berat.
“Mungkin ia kebanyakan mengisap tembakau mole kualitas rendah selama mengungsi di Pongporang dan di sini,” pikir Sutapura.
Sekian lama bertarung, lama-lama ‘Ukur Mardawa’ sadar bahwa Sutapura bukanlah lawan sepadan buat dirinya. Hanya Ukur, majikannya yang akan mampu mengalahkan orang yang pernah bersama-sama belajar kanuragan kepada guru yang sama itu. Bukan dirinya. Baru kali itu Ki Mardawa merasa menyesal selama ini tidak terus menggali ilmu-ilmu kanuragan dan menyempurnakan apa yang sudah ia pegang.
“Wadya bala, munduuur!” teriaknya tiba-tiba. Tak perlu diperintah dua kali, karena secara jumlah pun kedua pasukan yang bertarung itu berbeda bagai bumi dengan langit, perintah mundur itu kontan ditaati. Para wadya bala Tatar Ukur segera kabur menyelamatkan diri masing-masing. ‘Ukur Mardawa’ sendiri segera mengambil seekor kuda, kabur dari serangan orang-orang Mataram yang makin gencar.
“Tidak,” kata dia kepada batinnya sendiri. “Aku bukan pengecut. Aku tak takut mati. Tapi bila masih mampu menyelamatkan diri dan banyak orang daripada tumpur semua di sini, lakukanlah..”
‘Ukur Mardawa’ bersama sekitar dua ribu orang pasukannya sempat melarikan diri ke Bumbang di wilayah Kerajaan Banten[2]. Dia bahkan sempat mengutus seseorang untuk meminta perlindungan kepada Keraton Banten. Sayang, tak hanya karena Banten pun saat itu tengah disibukkan oleh Kompeni yang mulai masuk mempengaruhi internal keraton, melainkan juga karena kehati-hatian Banten terhadap Mataram bila jelas-jelas melindungi Ukur dan pasukannya, penantian beberapa bulan ‘Ukur Mardawa’ dan pasukannya pun sia-sia. Tak pernah ada jawaban tegas dari Banten, apalagi mempersilakan mereka masuk ke Ibu kota atau memberikan wilayah pasti untuk hidup. Namun selama hampir setahun hidup di tanah Banten, meminum airnya dan mengambil umbi, buah dan akar yang diberikan tanahnya, Keraton Banten tak pernah datang melarang.
Nyaris akhir tahun itu, ‘Ukur Mardawa’ dan pasukannya kembali ke Gunung Lumbung. Di sana mereka menemukan benteng dan permukiman yang mereka bangun sudah dirusak. Selain itu, ternyata pasukan Mataram pun belum enyah jauh dari mereka. Tak sampai sepekan setelah kedatangan mereka, kembali pasukan Bagus Sutapura datang menyerbu. Kali ini, ‘Ukur Mardawa’ yang sudah benar-benar siap untuk perlaya, bertekat untuk tak lagi menghindar.
“Aing lahir di taneuh ieu, paeh ge nya di dieu. Aku lahir di tanah ini, biarlah mati pun di sini,” kata ‘Ukur Mardawa’ meneguhkan komitmen pribadinya.
Sayang, kehebatan Bagus Sutapura memang tak mampu ia lawan. Bukan itu saja, dengan perintah untuk membekuknya hidup-hidup demi kesenangan Sultan Agung, ‘Ukur Mardawa’ tak bisa seenaknya memilih opsi mati. Sementara membunuh dirinya sendiri jelas bukan ajaran Islam, agama yang ia pegang erat-erat. ‘Ukur Mardawa’ segera tertawan setelah kepayahan melawan Sutapura dan bala tentaranya[3].
Jatuhnya ‘Ukur Mardawa’ dengan segera membuat pasukannya yang sangat loyal itu menyerah. Kecuali beberapa orang yang sadar betul bahwa menjadi tawanan Mataram sejatinya lebih mengerikan daripada menjumpai kematian. Mereka terus melawan, mengamuk membabi-buta, berusaha membunuh sebanyak mungkin orang-orang Mataram. Namun ujung-ujungnya telah bisa diduga, orang-orang pemberani dari Tatar Ukur itu pun gugur di medan laga. Tak ada yang hanya memiliki satu dua luka tusukan atau bacokan senjata di tubuh mereka. Umumnya rata-rata prajurit Tatar Ukur perlaya dengan sekian anak panah menancap di tubuh, dan sekian lubang luka menganga di antara anak-anak panah yang menancap itu, saking banyaknya wadya bala musuh.
Tidak kurang dari 1000 orang pengikut Ukur ditawan, dibawa ke Kartasura. Sebelum sampai ke ibukota Mataram yang jarak perjalanannya sekitar sebulan-dua bulan jalan kaki, para pengikut Ukur itu sejatinya telah mati. Penghinaan selama perjalanan membuat mereka membunuh sendiri semangat yang sempat berkobar di dada untuk menegakkan martabat diri dan bangsa Sunda. Dengan tangan terikat para bandan[4] itu harus berjalan menempuh perjalanan ribuan kilometer, dalam sebuah belenggu panjang yang diikatkan kepada gerobak, mereka mengikuti jalannya kereta dan kuda-kuda pasukan Mataram.
Barisan manusia itu membentang sepanjang jalan yang dilalui, sebagaimana perjalanan para budak yang sudah kehilangan kemerdekaan. Nasib mereka bahkan lebih buruk daripada budak. Budak menjalani perjalanan berat dan tragis, namun tetap dijaga agar hidup karena di depan sana tenaga mereka diperlukan. Para pengikut Ukur ditawan, berjalan puluhan kilometer sehari, tanpa dijaga agar tetap hidup. Orang-orang Mataram itu tahu, sebenarnya buat apa membawa ribuan orang itu ke Mataram, karena toh Sultan Agung hanya akan membunuh mereka semua? Mereka hanya berguna buat Sultan yang ingin mempertontonkan kekuasaan dengan membunuhi orang-orang bernasib buruk tersebut, sebagai contoh buruk buat para warga wilayah-wilayah jajahan Mataram lainnya. Sementara bagi para pasukan Mataram itu, ribuan orang artinya hanya mengurangi jatah ransum mereka sepanjang perjalanan. Alhasil, entah berapa banyak pengikut Ukur yang dibiarkan mati di sepanjang perjalanan. Ada yang karena luka, sakit, dan terutama tentu saja, disebabkan kelaparan…
‘Ukur Mardawa’ pun sudah tak lagi berpenampilan laiknya seorang bangsawan dan pemimpin sebuah negeri. Rambutnya sudah panjang, gimbal karena keringat dan debu. Wajahnya kotor jarang terbasuh air. Sebagaimana para tawanan lainnya, ia jarang sekali diizinkan untuk berwudu, sementara harusnya ia melakukan hal itu minimal lima kali sehari-semalam.
Orang-orang Mataram memang sengaja melakukan hal itu. Tak hanya menjatah makan para tawanan itu jauh di bawah kebutuhan, mereka juga dibiarkan tak pernah mandi, kecuali manakala menyeberangi sungai. ‘Ukur Mardawa’ sekian lama sudah melakukan shalat dengan berbagai cara darurat, sementara bersuci pun hanya bisa dilakukannya dengan tayamum. Mandi adalah kata yang pelan-pelan tak ingin diingatnya lagi. Inilah perlakuan keraton yang mengklaim diri sebagai kerajaan Islam di bumi Jawa itu: tawanan seagama pun tak dimungkinkan melakukan kewajiban dasar dalam agama yang mereka sama-sama peluk itu.
Di akhir tahun, sampailah rombongan orang-orang menderita itu ke Kartasura. ‘Ukur Mardawa’ yang dianggap semua orang sebagai Dipati Ukur itu tak pernah dihadapkan kepada Sultan. Sekian lama pemenjaraan, ia diberi tahu, esok hari adalah waktu hukuman Sultan dijalankan kepada dirinya dan para pengikutnya.
Hanya para wanita, termasuk gadis-gadis dan bocah putri yang diampuni, hingga mereka lolos dari hukuman mati. Itu pun karena orang-orang Wetan memerlukan mereka untuk menambah selir, gundik, dan kalau nasib baik datang, sebagai istri kesekian dari para pembesar keraton. Entahlah, mungkin saja hati nurani para wanita itu pun sebenarnya tak ada yang bisa menerima. Tetapi kalau pilihannya hanya dua; menerima jadi gundik dan sejenisnya, atau bersegera menemui kematian, barangkali akan ada lebih banyak yang memilih pilihan pertama. Hidup, apa pun yang membuatnya pahit, toh hanya akan ditinggalkan bukan sebagai pilihan oleh orang-orang yang sikap putus asanya menutup otak warasnya.
Bocah-bocah lanang nasibnya tergantung kemurahan hati para pembesar Mataram yang saat itu berkuasa dan punya akses kepada mereka. Beberapa anak dibiarkan hidup, diangkat anak oleh beberapa pembesar yang masih punya nurani. Yang sudah agak besar, berada pada usia tanggung dan sudah mulai mengerti apa yang terjadi, umumnya dibiarkan ikut mati.
“Hm, jadi tinggal hari ini aku menghirup udara kehidupan,”kata ‘Ukur Mardawa’. Dari jeruji penjara yang menghadap Alun-alun Kartasura, dilihatnya orang-orang tengah membuat panggung, tiang pancang tempat mengikat tawanan, serta sekian puluh tiang gantungan. Yang membuatnya heran, ada juga beberapa tungku api dengan kancah gerabah ekstra besar. Buat apa? Tak mungkin besok di sana orang-orang Mataram akan membuat gulai atau dodol untuk dibagikan…
Esoknya, saat ‘Ukur Mardawa’ diseret dan diikat ke tiang pancang yang dibuat di tengah sebuah panggung khusus, ia baru tahu kegunaan kancah-kancah raksasa itu. Sejak pagi, begitu matahari meletik, tungku-tungku di bawah kancah itu dinyalakan, memanaskan air di dalamnya hingga lebih dari mendidih.
Lalu, satu persatu para pengikut Ukur itu diseret. Sebagian direbus dalam kancah, sebagian lagi digantung, diiris-iris oleh sekian ribu rakyat Mataram, atau ditumbuki alu di dalam lesung besar, diperlakukan laiknya padi untuk dijadikan beras[5].
Sebelum para algojo membunuhnya, ‘Ukur Mardawa’ menggunakan kesempatan itu untuk berteriak keras. Suaranya handaruan[6], terdengar ke seluruh penjuru Alun-alun, bahkan bersipongang di dinding-dinding tembok tebal Keraton Mataram.
“Ooy, rahayat Sunda, Kalian jangan mengira bahwa kami semua ini mati sia-sia. Tidak! Kami tilem terkubur dalam bumi justru untuk menjadi saksi dan mempersaksikan kepada Kalian bahwa mereka yang bela kepada kebenaran tak akan pernah mati. Seperti juga firman Gusti Allah, para syuhada akan selamanya hidup, bahkan jauh lebih abadi dibanding pata pengecut yang menyiksa kami hari ini.”
“Wuaaaaa!” teriak ‘Ukur Mardawa’ kesakitan. Pisau cungkil bermata tajam menyayat kulit perutnya. Penyiksaan dimulai. Namun, sadar bahwa tak ada lagi saat untuk memberikan waktu kepada rasa sakit, ‘Ukur Mardawa’ melanjutkan teriakannya.
“Kalian rahayat Sunda, ingatlah, bahwa bagaimanapun kebebasan dan hak untuk menentukan apa yang Kalian mau kebaikan utama dalam hidup yang diberikan Gusti Allah sejak manusia lahir. Kemerdekaan untuk menentukan masa depan sendiri akan membuat anak-anak kita tidak pernah dilahirkan dan hidup seperti budak.”
“Benar, hari ini Kalian bisa lari. Tapi itu justru lari dari takdir kalian untuk mati dengan gemilang. Larilah, berpalinglah dari kenyataan, dan hiduplah sebentar. Sekaratlah Kalian nanti, di ranjang yang diberikan orang-orang Mataram. Atau teruskan perjuangan kami, angkat gobang dan tombak yang telah Kalian asah di batu-batu asahan tempat nenek moyang kita mengasahnya saat orang-orang asing datang hanya guna menghina.
Ada satu kesempatan yang diberikan Gusti Allah kepada manusia, untuk membuktikan dirinya patut dihargai atau hidup selamanya sebagai pengecut. Matilah hanya sekali, jangan pernah menjadi pengecut yang sepanjang hidupnya sebenarnya laiknya kematian. Tanpa harga, tanpa nyawa. Beri tahu orang-orang Wetan ini bahwa mungkin saja mereka bisa merampas nyawa-nyawa kita. Tetapi mereka sepanjang hidup akan tahu, tak sekali pun mereka bisa merampas kebebasan kita!”
Pekik kesakitan kembali terdengar keras. Pisau turih algojo kembali menyobek perut ‘Ukur Mardawa’, membuat darah mengucur deras dari lubang luka yang terbuka.
“Kalian rahayat Sunda, sadarlah! Kita semua akhirnya mati. Hanya soal bagaimana dan mengapa. Setiap orang mati, tapi tak setiap manusia benar-benar hidup. Terlalu banyak yang memilih kematian dalam kehidupan, karena tak pernah mampu mengambil sikap mempertahankan hak-hak yang Gusti Allah berikan.”
“Kula Ukur, rek wasiat ka dinya. Kade, kabuyutan ulah direbut batur, engke dia baris hina alahbatan kulit lasun di jarian!” Kula Ukur, berwasiat kepada Kalian semua. Jangan pernah membiarkan warisan peninggalan leluhur direbut orang-orang asing. Kalau itu terjadi, derajat Kalian lebih hina dibanding kulit lasun[7] yang terpuruk di selokan kotor!”.
‘Ukur Mardawa’ sempat menghela nafas sejenak, setelah rangkaian kalimat panjang yang menyesakkan dadanya itu. Lalu, gelap menutup penglihatannya. Kepalanya menggelinding ke lantai panggung, dipancung algojo yang dari tadi siap dengan gobang besar yang sejak kemarin terasah tajam. Ada pancuran merah sejenak, diiringi jerit warga Mataram yang hari itu sengaja dikumpulan di Alun-alun.
Dada ‘Ukur Mardawa’ yang masih terikat di tiang pancang sebentar masih menunjukkan tanda kehidupan. Lalu…semua hening. Rakyat Mataram terdiam. Jauh di lubuk hati mereka, ada kesadaran untuk menghormati jiwa yang barusan berpulang. Alun-alun yang tadi hiruk pikuk dengan suara ribuan warga itu kini hening. Orang-orang Islam mengucapkan doa kematian, seraya mengingatkan diri bahwa ajal bisa datang kepada mereka, kapan pun, di mana pun. Orang-orang Hindu, yang kini minoritas di Mataram, meletakkan telapak tangan di dada, seraya berdoa.
“Oṁ atma tattwatma naryatma Swadah Ang Ah
Oṁ swargantu, moksantu, sùnyantu, murcantu.
Oṁ ksāma sampurnāya namah swāha.”
“Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa Yang Maha Kuasa, Semogalah arwah yang meninggal mendapat sorga, menunggal denganMu, mencapai keheningan tanpa derita. Ya Sang Hyang Widhy Wasa, ampunilah segala dosanya, semoga ia mencapai kesempurnaan atas kekuasaan dan pengetahuan serta pengampunanMu.”
Beberapa biksu Buddha yang hadir di acara penghukuman itu menarik nafas. Sebagian memalingkan muka, memandang ke arah Keraton, seolah yakin ada sepasang mata yang menyaksikan prosesi keji tersebut dengan penuh kebanggaan diri.
“Evaṃ mayā śrutam
Evaṁ jarā ca maccu ca
Adhivattanti pāṇino
Khattiye brāhmaṇe vesse
Sudde caṇḍāla-pukkuse
-Demikian pula kelapukan dan kematian
Menguasai semua makhluk, apakah dia:
Kesatria, brahmana, pedagang,
Pekerja, kasta buangan mau pun pembersih jalan…
Sadhu…sadhu…sadhu..”
Tak lama, para wanita Tatar Ukur, tawanan yang juga dikumpulkan untuk menyaksikan anak, suami, ayah atau saudara-saudara mereka menjalani hukuman, meraung dalam tangis kehilangan. Tak sedikit yang pingsan tak sadarkan diri. Bukan, bukan tak mengikhlaskan kehilangan, hanya sadar, antara dunia mereka dengan yang perlaya kini terpisahkan benteng kokoh iradat Gusti Allah. Entah kapan mereka akan kembali bertemu. Tak ada jaminan akan sebuah pertemuan, tak ada garansi. [bersambung]
[1] Adipati Imbanagara adalah putra Dipati Panaekan. Ia adalah bupati Galuh Ciamis pada kurun 1625-1636. Dalam ‘Babad Tanah Jawi’ Imbanagara disebut-sebut dimintai tolong oleh Narapaksa untuk minta bantuan Bagus Sukapura menaklukan Dipati Ukur. Anehnya, usai perlawanan Ukur, Adipati Imbanagara justru dicurigai Mataram berpihak kepada Dipati Ukur, dan dijatuhi hukuman mati pada 1636.
[2] Rabin Hardjadibrata, ibid.
[3] ‘Sejarah Galuh’ yang disusun Raden Padma Kusumah merupakan salah satu naskah yang memuat tentang penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus Sutapura. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki Bupati Galuh R.A.A Kusumah Diningrat (1836-1886), Bupati Galuh R.T Wiradikusumah (1815) dan R.A Sukamandara (1819).
[4] Bandan, dalam kata Sunda bisa berarti tawanan. Mungkin berasal dari kata ‘dibanda’ yang artinya diikat, ditelikung. Di Jakarta terdapat wilayah Kampung Bandan, yang menurut banyak ahli bahasa dan sejarawan merujuk tak hanya karena kampung itu di masa lalu banyak dihuni para budak asal Banda—Maluku, tetapi juga karena banyaknya para budak yang dipancung di sana di masa lalu karena memberontak. Pada saat pemancungan dilakukan, mereka selalu dalam keadaan ‘dibanda’, bandan, atau terikat.
[5] Babad Nithik, sebuah karya sastra Keraton Mataram, ditulis di kertas berukuran folio dengan tinta hitam, berhuruf Jawa dengan bahasa Jawa-Kawi, dalam bentuk tembang macapat. Penulisnya tidak diketahui, tetapi diterangkan ditulis atas perintah Sultan Hamengku Buwono VII. Waktu penulisannya disebutkan dengan Sengkalan “Resi nembah ngesthi tunggal” (1867 Jawi/1936 M). Pada babad itu sempat disebutkan bermacam-macam cara penghukuman mati yang lazim dilakukan di Mataram.
Dalam naskah Sukapura yang ditulis dalam bahasa Jawa, terdapat rangkaian kalimat seperti ini: “Ki Dipati Ukur dikethok, Ki Demang Songgata dibungkus dening duk diobong, Ki Tumenggung Batulayang digodog, Ki Ngabéhi Yudakerti digantung ing lawang, sugriyané kang liwat padha ngiris, nunten pejah. Langkung sapunika: Umbul Malangbong, Umbul Cihaur Mananggel, Umbul Medang Sasigar, Umbul Kahuripan, Umbul Sagarahérang sami dipunrujak kentasa.”
Terjemahannya: Ki Dipati Ukur dipancung lehernya, Ki Demang Saunggatang dibungkus ijuk kemudian dibakar, Ki Tumenggung Batulayang direbus. Ki Ngabéhi Yudakerti digantung di pintu gerbang, setiap orang yang lewat harus mengiris badan si terjukum itu sampai ia mati dalam sakit yang sangat. Selebihnya, Umbul Malangbong, Umbul Cihaur Mananggel, Umbul Medang Sasigar, Umbul Kahuripan, Umbul Sagarahérang, badan mereka ditumbuki alu dalam lisung (lesung)–alat penumbuk padi menjadi beras, sampai meninggal.
[6] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya kurang lebih keras (tentang bunyi) sekali sampai menimbulkan pantulan suara.
[7] Binatang mengerat sebangsa musang.
Episode-36
Tak harus menunggu terlalu lama, sebulan kemudian Gunung Lumbung sudah diserbu dari berbagai penjuru. Ribuan–kalau tidak puluhan ribu sebagaimana pihak yang suka membesar-besarkan, wadya bala Mataram menyerang Gunung Lumbung. Kali ini, pasukan pimpinan Tumenggung Narapaksa itu diperkuat Bagus Sutapura dan pasukannya, yang sama-sama orang Sunda sebagaimana mereka yang bertahan di benteng gunung.
Ada cerita tentang bagaimana Bagus Sutapura yang disebut-sebut sebagai adipati Kawasen (saat ini berada di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis) itu mau membantu wadya bala Mataram. Konon, Bagus Sutapura adalah kakak seperguruan Ukur pada suatu masa pembelajaran. Pihak Mataram berharap, rasa hormat Ukur kepada kakak seperguruannya itu mampu membuatnya menyerah dan bersedia datang ke Mataram. Bagus Sutapura mau membantu karena tak enak akan permintaan Adipati Imbanagara[1], bupati Galuh Ciamis saat itu, yang dibawa Tumenggung Narapaksa.
Namun, sebagaimana yang lain, ia luput menyadari bahwa yang dihadapinya bukanlah Ukur. ‘Ukur Mardawa’—yang jelas tak punya keharusan untuk menaruh hormat kepada Bagus Sutapura, tak bisa diminta untuk rela menyerahkan diri dan ikut ke Mataram. Alih-alih menyambut ajakan dari mulut manis namun penuh racun Bagus Sutapura, ‘Ukur Mardawa’ malah berkali-kali mengejek Sutapura yang dianggapnya berkhianat.
“Lamun enya ngaku dulur, kalaulah mengaku saudara, mengapa Kakang Bagus malah meminta kula sudi menyerahkan nyawa percuma ke orang-orang Wetan? Seperti yang tak tahu saja bahwa orang Wetan itu hanya punya satu cara untuk siapa pun yang tak memuaskan nafsu berkuasa mereka; dibunuh. Rayi tak akan pernah mau dibunuh begitu saja sebelum melawan sampai titik darah terakhir,” kata ‘Ukur Mardawa’.
Akhirnya tak terelakkan, kedua nonoman sakti tersebut memilih menyesaikan persoalan dengan bertarung habis-habisan. Keduanya menguras semua kemampuan yang masing-masing mereka miliki. Sayang, bagaimana pun ‘Ukur Mardawa’ bukanlah Ukur asli yang memiliki ilmu berlapis-lapis, yang dikeluarkan tergantung kehebatan musuh yang dihadapi. Benar bahwa selama bersama majikannya itu Ki Mardawa yang kini menjadi ‘Ukur Mardawa’ sempat belajar Aji Munding Lalampah, ilmu yang sangat dikuasai Ukur. Namun tentu saja, tahapan Aji Munding Lalampah yang ia miliki belum setinggi Ukur. Sementara, karena ia pun menggunakan ilmu tersebut dalam pertarungan, lawannya, Bagus Sutapura, sangat yakin bahwa yang ia hadapi memang bernar Ukur. Bagaimana tidak, bila wajah dan ilmu kanuragan yang dimilikinya pun benar-benar menunjukkan dia Ukur Wangsanata. Sempat memang Sutapura merasa heran, karena merasa Munding Lalampah yang dipakai Ukur untuk menyerangnya jauh di bawah Munding Lalapampah yang juga ia kuasai. Apalagi suara Ukur pun menurutnya berubah banyak, jadi lebih berat.
“Mungkin ia kebanyakan mengisap tembakau mole kualitas rendah selama mengungsi di Pongporang dan di sini,” pikir Sutapura.
Sekian lama bertarung, lama-lama ‘Ukur Mardawa’ sadar bahwa Sutapura bukanlah lawan sepadan buat dirinya. Hanya Ukur, majikannya yang akan mampu mengalahkan orang yang pernah bersama-sama belajar kanuragan kepada guru yang sama itu. Bukan dirinya. Baru kali itu Ki Mardawa merasa menyesal selama ini tidak terus menggali ilmu-ilmu kanuragan dan menyempurnakan apa yang sudah ia pegang.
“Wadya bala, munduuur!” teriaknya tiba-tiba. Tak perlu diperintah dua kali, karena secara jumlah pun kedua pasukan yang bertarung itu berbeda bagai bumi dengan langit, perintah mundur itu kontan ditaati. Para wadya bala Tatar Ukur segera kabur menyelamatkan diri masing-masing. ‘Ukur Mardawa’ sendiri segera mengambil seekor kuda, kabur dari serangan orang-orang Mataram yang makin gencar.
“Tidak,” kata dia kepada batinnya sendiri. “Aku bukan pengecut. Aku tak takut mati. Tapi bila masih mampu menyelamatkan diri dan banyak orang daripada tumpur semua di sini, lakukanlah..”
‘Ukur Mardawa’ bersama sekitar dua ribu orang pasukannya sempat melarikan diri ke Bumbang di wilayah Kerajaan Banten[2]. Dia bahkan sempat mengutus seseorang untuk meminta perlindungan kepada Keraton Banten. Sayang, tak hanya karena Banten pun saat itu tengah disibukkan oleh Kompeni yang mulai masuk mempengaruhi internal keraton, melainkan juga karena kehati-hatian Banten terhadap Mataram bila jelas-jelas melindungi Ukur dan pasukannya, penantian beberapa bulan ‘Ukur Mardawa’ dan pasukannya pun sia-sia. Tak pernah ada jawaban tegas dari Banten, apalagi mempersilakan mereka masuk ke Ibu kota atau memberikan wilayah pasti untuk hidup. Namun selama hampir setahun hidup di tanah Banten, meminum airnya dan mengambil umbi, buah dan akar yang diberikan tanahnya, Keraton Banten tak pernah datang melarang.
Nyaris akhir tahun itu, ‘Ukur Mardawa’ dan pasukannya kembali ke Gunung Lumbung. Di sana mereka menemukan benteng dan permukiman yang mereka bangun sudah dirusak. Selain itu, ternyata pasukan Mataram pun belum enyah jauh dari mereka. Tak sampai sepekan setelah kedatangan mereka, kembali pasukan Bagus Sutapura datang menyerbu. Kali ini, ‘Ukur Mardawa’ yang sudah benar-benar siap untuk perlaya, bertekat untuk tak lagi menghindar.
“Aing lahir di taneuh ieu, paeh ge nya di dieu. Aku lahir di tanah ini, biarlah mati pun di sini,” kata ‘Ukur Mardawa’ meneguhkan komitmen pribadinya.
Sayang, kehebatan Bagus Sutapura memang tak mampu ia lawan. Bukan itu saja, dengan perintah untuk membekuknya hidup-hidup demi kesenangan Sultan Agung, ‘Ukur Mardawa’ tak bisa seenaknya memilih opsi mati. Sementara membunuh dirinya sendiri jelas bukan ajaran Islam, agama yang ia pegang erat-erat. ‘Ukur Mardawa’ segera tertawan setelah kepayahan melawan Sutapura dan bala tentaranya[3].
Jatuhnya ‘Ukur Mardawa’ dengan segera membuat pasukannya yang sangat loyal itu menyerah. Kecuali beberapa orang yang sadar betul bahwa menjadi tawanan Mataram sejatinya lebih mengerikan daripada menjumpai kematian. Mereka terus melawan, mengamuk membabi-buta, berusaha membunuh sebanyak mungkin orang-orang Mataram. Namun ujung-ujungnya telah bisa diduga, orang-orang pemberani dari Tatar Ukur itu pun gugur di medan laga. Tak ada yang hanya memiliki satu dua luka tusukan atau bacokan senjata di tubuh mereka. Umumnya rata-rata prajurit Tatar Ukur perlaya dengan sekian anak panah menancap di tubuh, dan sekian lubang luka menganga di antara anak-anak panah yang menancap itu, saking banyaknya wadya bala musuh.
Tidak kurang dari 1000 orang pengikut Ukur ditawan, dibawa ke Kartasura. Sebelum sampai ke ibukota Mataram yang jarak perjalanannya sekitar sebulan-dua bulan jalan kaki, para pengikut Ukur itu sejatinya telah mati. Penghinaan selama perjalanan membuat mereka membunuh sendiri semangat yang sempat berkobar di dada untuk menegakkan martabat diri dan bangsa Sunda. Dengan tangan terikat para bandan[4] itu harus berjalan menempuh perjalanan ribuan kilometer, dalam sebuah belenggu panjang yang diikatkan kepada gerobak, mereka mengikuti jalannya kereta dan kuda-kuda pasukan Mataram.
Barisan manusia itu membentang sepanjang jalan yang dilalui, sebagaimana perjalanan para budak yang sudah kehilangan kemerdekaan. Nasib mereka bahkan lebih buruk daripada budak. Budak menjalani perjalanan berat dan tragis, namun tetap dijaga agar hidup karena di depan sana tenaga mereka diperlukan. Para pengikut Ukur ditawan, berjalan puluhan kilometer sehari, tanpa dijaga agar tetap hidup. Orang-orang Mataram itu tahu, sebenarnya buat apa membawa ribuan orang itu ke Mataram, karena toh Sultan Agung hanya akan membunuh mereka semua? Mereka hanya berguna buat Sultan yang ingin mempertontonkan kekuasaan dengan membunuhi orang-orang bernasib buruk tersebut, sebagai contoh buruk buat para warga wilayah-wilayah jajahan Mataram lainnya. Sementara bagi para pasukan Mataram itu, ribuan orang artinya hanya mengurangi jatah ransum mereka sepanjang perjalanan. Alhasil, entah berapa banyak pengikut Ukur yang dibiarkan mati di sepanjang perjalanan. Ada yang karena luka, sakit, dan terutama tentu saja, disebabkan kelaparan…
‘Ukur Mardawa’ pun sudah tak lagi berpenampilan laiknya seorang bangsawan dan pemimpin sebuah negeri. Rambutnya sudah panjang, gimbal karena keringat dan debu. Wajahnya kotor jarang terbasuh air. Sebagaimana para tawanan lainnya, ia jarang sekali diizinkan untuk berwudu, sementara harusnya ia melakukan hal itu minimal lima kali sehari-semalam.
Orang-orang Mataram memang sengaja melakukan hal itu. Tak hanya menjatah makan para tawanan itu jauh di bawah kebutuhan, mereka juga dibiarkan tak pernah mandi, kecuali manakala menyeberangi sungai. ‘Ukur Mardawa’ sekian lama sudah melakukan shalat dengan berbagai cara darurat, sementara bersuci pun hanya bisa dilakukannya dengan tayamum. Mandi adalah kata yang pelan-pelan tak ingin diingatnya lagi. Inilah perlakuan keraton yang mengklaim diri sebagai kerajaan Islam di bumi Jawa itu: tawanan seagama pun tak dimungkinkan melakukan kewajiban dasar dalam agama yang mereka sama-sama peluk itu.
Di akhir tahun, sampailah rombongan orang-orang menderita itu ke Kartasura. ‘Ukur Mardawa’ yang dianggap semua orang sebagai Dipati Ukur itu tak pernah dihadapkan kepada Sultan. Sekian lama pemenjaraan, ia diberi tahu, esok hari adalah waktu hukuman Sultan dijalankan kepada dirinya dan para pengikutnya.
Hanya para wanita, termasuk gadis-gadis dan bocah putri yang diampuni, hingga mereka lolos dari hukuman mati. Itu pun karena orang-orang Wetan memerlukan mereka untuk menambah selir, gundik, dan kalau nasib baik datang, sebagai istri kesekian dari para pembesar keraton. Entahlah, mungkin saja hati nurani para wanita itu pun sebenarnya tak ada yang bisa menerima. Tetapi kalau pilihannya hanya dua; menerima jadi gundik dan sejenisnya, atau bersegera menemui kematian, barangkali akan ada lebih banyak yang memilih pilihan pertama. Hidup, apa pun yang membuatnya pahit, toh hanya akan ditinggalkan bukan sebagai pilihan oleh orang-orang yang sikap putus asanya menutup otak warasnya.
Bocah-bocah lanang nasibnya tergantung kemurahan hati para pembesar Mataram yang saat itu berkuasa dan punya akses kepada mereka. Beberapa anak dibiarkan hidup, diangkat anak oleh beberapa pembesar yang masih punya nurani. Yang sudah agak besar, berada pada usia tanggung dan sudah mulai mengerti apa yang terjadi, umumnya dibiarkan ikut mati.
“Hm, jadi tinggal hari ini aku menghirup udara kehidupan,”kata ‘Ukur Mardawa’. Dari jeruji penjara yang menghadap Alun-alun Kartasura, dilihatnya orang-orang tengah membuat panggung, tiang pancang tempat mengikat tawanan, serta sekian puluh tiang gantungan. Yang membuatnya heran, ada juga beberapa tungku api dengan kancah gerabah ekstra besar. Buat apa? Tak mungkin besok di sana orang-orang Mataram akan membuat gulai atau dodol untuk dibagikan…
Esoknya, saat ‘Ukur Mardawa’ diseret dan diikat ke tiang pancang yang dibuat di tengah sebuah panggung khusus, ia baru tahu kegunaan kancah-kancah raksasa itu. Sejak pagi, begitu matahari meletik, tungku-tungku di bawah kancah itu dinyalakan, memanaskan air di dalamnya hingga lebih dari mendidih.
Lalu, satu persatu para pengikut Ukur itu diseret. Sebagian direbus dalam kancah, sebagian lagi digantung, diiris-iris oleh sekian ribu rakyat Mataram, atau ditumbuki alu di dalam lesung besar, diperlakukan laiknya padi untuk dijadikan beras[5].
Sebelum para algojo membunuhnya, ‘Ukur Mardawa’ menggunakan kesempatan itu untuk berteriak keras. Suaranya handaruan[6], terdengar ke seluruh penjuru Alun-alun, bahkan bersipongang di dinding-dinding tembok tebal Keraton Mataram.
“Ooy, rahayat Sunda, Kalian jangan mengira bahwa kami semua ini mati sia-sia. Tidak! Kami tilem terkubur dalam bumi justru untuk menjadi saksi dan mempersaksikan kepada Kalian bahwa mereka yang bela kepada kebenaran tak akan pernah mati. Seperti juga firman Gusti Allah, para syuhada akan selamanya hidup, bahkan jauh lebih abadi dibanding pata pengecut yang menyiksa kami hari ini.”
“Wuaaaaa!” teriak ‘Ukur Mardawa’ kesakitan. Pisau cungkil bermata tajam menyayat kulit perutnya. Penyiksaan dimulai. Namun, sadar bahwa tak ada lagi saat untuk memberikan waktu kepada rasa sakit, ‘Ukur Mardawa’ melanjutkan teriakannya.
“Kalian rahayat Sunda, ingatlah, bahwa bagaimanapun kebebasan dan hak untuk menentukan apa yang Kalian mau kebaikan utama dalam hidup yang diberikan Gusti Allah sejak manusia lahir. Kemerdekaan untuk menentukan masa depan sendiri akan membuat anak-anak kita tidak pernah dilahirkan dan hidup seperti budak.”
“Benar, hari ini Kalian bisa lari. Tapi itu justru lari dari takdir kalian untuk mati dengan gemilang. Larilah, berpalinglah dari kenyataan, dan hiduplah sebentar. Sekaratlah Kalian nanti, di ranjang yang diberikan orang-orang Mataram. Atau teruskan perjuangan kami, angkat gobang dan tombak yang telah Kalian asah di batu-batu asahan tempat nenek moyang kita mengasahnya saat orang-orang asing datang hanya guna menghina.
Ada satu kesempatan yang diberikan Gusti Allah kepada manusia, untuk membuktikan dirinya patut dihargai atau hidup selamanya sebagai pengecut. Matilah hanya sekali, jangan pernah menjadi pengecut yang sepanjang hidupnya sebenarnya laiknya kematian. Tanpa harga, tanpa nyawa. Beri tahu orang-orang Wetan ini bahwa mungkin saja mereka bisa merampas nyawa-nyawa kita. Tetapi mereka sepanjang hidup akan tahu, tak sekali pun mereka bisa merampas kebebasan kita!”
Pekik kesakitan kembali terdengar keras. Pisau turih algojo kembali menyobek perut ‘Ukur Mardawa’, membuat darah mengucur deras dari lubang luka yang terbuka.
“Kalian rahayat Sunda, sadarlah! Kita semua akhirnya mati. Hanya soal bagaimana dan mengapa. Setiap orang mati, tapi tak setiap manusia benar-benar hidup. Terlalu banyak yang memilih kematian dalam kehidupan, karena tak pernah mampu mengambil sikap mempertahankan hak-hak yang Gusti Allah berikan.”
“Kula Ukur, rek wasiat ka dinya. Kade, kabuyutan ulah direbut batur, engke dia baris hina alahbatan kulit lasun di jarian!” Kula Ukur, berwasiat kepada Kalian semua. Jangan pernah membiarkan warisan peninggalan leluhur direbut orang-orang asing. Kalau itu terjadi, derajat Kalian lebih hina dibanding kulit lasun[7] yang terpuruk di selokan kotor!”.
‘Ukur Mardawa’ sempat menghela nafas sejenak, setelah rangkaian kalimat panjang yang menyesakkan dadanya itu. Lalu, gelap menutup penglihatannya. Kepalanya menggelinding ke lantai panggung, dipancung algojo yang dari tadi siap dengan gobang besar yang sejak kemarin terasah tajam. Ada pancuran merah sejenak, diiringi jerit warga Mataram yang hari itu sengaja dikumpulan di Alun-alun.
Dada ‘Ukur Mardawa’ yang masih terikat di tiang pancang sebentar masih menunjukkan tanda kehidupan. Lalu…semua hening. Rakyat Mataram terdiam. Jauh di lubuk hati mereka, ada kesadaran untuk menghormati jiwa yang barusan berpulang. Alun-alun yang tadi hiruk pikuk dengan suara ribuan warga itu kini hening. Orang-orang Islam mengucapkan doa kematian, seraya mengingatkan diri bahwa ajal bisa datang kepada mereka, kapan pun, di mana pun. Orang-orang Hindu, yang kini minoritas di Mataram, meletakkan telapak tangan di dada, seraya berdoa.
“Oṁ atma tattwatma naryatma Swadah Ang Ah
Oṁ swargantu, moksantu, sùnyantu, murcantu.
Oṁ ksāma sampurnāya namah swāha.”
“Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa Yang Maha Kuasa, Semogalah arwah yang meninggal mendapat sorga, menunggal denganMu, mencapai keheningan tanpa derita. Ya Sang Hyang Widhy Wasa, ampunilah segala dosanya, semoga ia mencapai kesempurnaan atas kekuasaan dan pengetahuan serta pengampunanMu.”
Beberapa biksu Buddha yang hadir di acara penghukuman itu menarik nafas. Sebagian memalingkan muka, memandang ke arah Keraton, seolah yakin ada sepasang mata yang menyaksikan prosesi keji tersebut dengan penuh kebanggaan diri.
“Evaṃ mayā śrutam
Evaṁ jarā ca maccu ca
Adhivattanti pāṇino
Khattiye brāhmaṇe vesse
Sudde caṇḍāla-pukkuse
-Demikian pula kelapukan dan kematian
Menguasai semua makhluk, apakah dia:
Kesatria, brahmana, pedagang,
Pekerja, kasta buangan mau pun pembersih jalan…
Sadhu…sadhu…sadhu..”
Tak lama, para wanita Tatar Ukur, tawanan yang juga dikumpulkan untuk menyaksikan anak, suami, ayah atau saudara-saudara mereka menjalani hukuman, meraung dalam tangis kehilangan. Tak sedikit yang pingsan tak sadarkan diri. Bukan, bukan tak mengikhlaskan kehilangan, hanya sadar, antara dunia mereka dengan yang perlaya kini terpisahkan benteng kokoh iradat Gusti Allah. Entah kapan mereka akan kembali bertemu. Tak ada jaminan akan sebuah pertemuan, tak ada garansi.
[bersambung]
[1] Adipati Imbanagara adalah putra Dipati Panaekan. Ia adalah bupati Galuh Ciamis pada kurun 1625-1636. Dalam ‘Babad Tanah Jawi’ Imbanagara disebut-sebut dimintai tolong oleh Narapaksa untuk minta bantuan Bagus Sukapura menaklukan Dipati Ukur. Anehnya, usai perlawanan Ukur, Adipati Imbanagara justru dicurigai Mataram berpihak kepada Dipati Ukur, dan dijatuhi hukuman mati pada 1636.
[2] Rabin Hardjadibrata, ibid.
[3] ‘Sejarah Galuh’ yang disusun Raden Padma Kusumah merupakan salah satu naskah yang memuat tentang penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus Sutapura. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki Bupati Galuh R.A.A Kusumah Diningrat (1836-1886), Bupati Galuh R.T Wiradikusumah (1815) dan R.A Sukamandara (1819).
[4] Bandan, dalam kata Sunda bisa berarti tawanan. Mungkin berasal dari kata ‘dibanda’ yang artinya diikat, ditelikung. Di Jakarta terdapat wilayah Kampung Bandan, yang menurut banyak ahli bahasa dan sejarawan merujuk tak hanya karena kampung itu di masa lalu banyak dihuni para budak asal Banda—Maluku, tetapi juga karena banyaknya para budak yang dipancung di sana di masa lalu karena memberontak. Pada saat pemancungan dilakukan, mereka selalu dalam keadaan ‘dibanda’, bandan, atau terikat.
[5] Babad Nithik, sebuah karya sastra Keraton Mataram, ditulis di kertas berukuran folio dengan tinta hitam, berhuruf Jawa dengan bahasa Jawa-Kawi, dalam bentuk tembang macapat. Penulisnya tidak diketahui, tetapi diterangkan ditulis atas perintah Sultan Hamengku Buwono VII. Waktu penulisannya disebutkan dengan Sengkalan “Resi nembah ngesthi tunggal” (1867 Jawi/1936 M). Pada babad itu sempat disebutkan bermacam-macam cara penghukuman mati yang lazim dilakukan di Mataram.
Dalam naskah Sukapura yang ditulis dalam bahasa Jawa, terdapat rangkaian kalimat seperti ini: “Ki Dipati Ukur dikethok, Ki Demang Songgata dibungkus dening duk diobong, Ki Tumenggung Batulayang digodog, Ki Ngabéhi Yudakerti digantung ing lawang, sugriyané kang liwat padha ngiris, nunten pejah. Langkung sapunika: Umbul Malangbong, Umbul Cihaur Mananggel, Umbul Medang Sasigar, Umbul Kahuripan, Umbul Sagarahérang sami dipunrujak kentasa.”
Terjemahannya: Ki Dipati Ukur dipancung lehernya, Ki Demang Saunggatang dibungkus ijuk kemudian dibakar, Ki Tumenggung Batulayang direbus. Ki Ngabéhi Yudakerti digantung di pintu gerbang, setiap orang yang lewat harus mengiris badan si terjukum itu sampai ia mati dalam sakit yang sangat. Selebihnya, Umbul Malangbong, Umbul Cihaur Mananggel, Umbul Medang Sasigar, Umbul Kahuripan, Umbul Sagarahérang, badan mereka ditumbuki alu dalam lisung (lesung)–alat penumbuk padi menjadi beras, sampai meninggal.
[6] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya kurang lebih keras (tentang bunyi) sekali sampai menimbulkan pantulan suara.
[7] Binatang mengerat sebangsa musang.
Tak harus menunggu terlalu lama, sebulan kemudian Gunung Lumbung sudah diserbu dari berbagai penjuru. Ribuan–kalau tidak puluhan ribu sebagaimana pihak yang suka membesar-besarkan, wadya bala Mataram menyerang Gunung Lumbung. Kali ini, pasukan pimpinan Tumenggung Narapaksa itu diperkuat Bagus Sutapura dan pasukannya, yang sama-sama orang Sunda sebagaimana mereka yang bertahan di benteng gunung.
Ada cerita tentang bagaimana Bagus Sutapura yang disebut-sebut sebagai adipati Kawasen (saat ini berada di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis) itu mau membantu wadya bala Mataram. Konon, Bagus Sutapura adalah kakak seperguruan Ukur pada suatu masa pembelajaran. Pihak Mataram berharap, rasa hormat Ukur kepada kakak seperguruannya itu mampu membuatnya menyerah dan bersedia datang ke Mataram. Bagus Sutapura mau membantu karena tak enak akan permintaan Adipati Imbanagara[1], bupati Galuh Ciamis saat itu, yang dibawa Tumenggung Narapaksa.
Namun, sebagaimana yang lain, ia luput menyadari bahwa yang dihadapinya bukanlah Ukur. ‘Ukur Mardawa’—yang jelas tak punya keharusan untuk menaruh hormat kepada Bagus Sutapura, tak bisa diminta untuk rela menyerahkan diri dan ikut ke Mataram. Alih-alih menyambut ajakan dari mulut manis namun penuh racun Bagus Sutapura, ‘Ukur Mardawa’ malah berkali-kali mengejek Sutapura yang dianggapnya berkhianat.
“Lamun enya ngaku dulur, kalaulah mengaku saudara, mengapa Kakang Bagus malah meminta kula sudi menyerahkan nyawa percuma ke orang-orang Wetan? Seperti yang tak tahu saja bahwa orang Wetan itu hanya punya satu cara untuk siapa pun yang tak memuaskan nafsu berkuasa mereka; dibunuh. Rayi tak akan pernah mau dibunuh begitu saja sebelum melawan sampai titik darah terakhir,” kata ‘Ukur Mardawa’.
Akhirnya tak terelakkan, kedua nonoman sakti tersebut memilih menyesaikan persoalan dengan bertarung habis-habisan. Keduanya menguras semua kemampuan yang masing-masing mereka miliki. Sayang, bagaimana pun ‘Ukur Mardawa’ bukanlah Ukur asli yang memiliki ilmu berlapis-lapis, yang dikeluarkan tergantung kehebatan musuh yang dihadapi. Benar bahwa selama bersama majikannya itu Ki Mardawa yang kini menjadi ‘Ukur Mardawa’ sempat belajar Aji Munding Lalampah, ilmu yang sangat dikuasai Ukur. Namun tentu saja, tahapan Aji Munding Lalampah yang ia miliki belum setinggi Ukur. Sementara, karena ia pun menggunakan ilmu tersebut dalam pertarungan, lawannya, Bagus Sutapura, sangat yakin bahwa yang ia hadapi memang bernar Ukur. Bagaimana tidak, bila wajah dan ilmu kanuragan yang dimilikinya pun benar-benar menunjukkan dia Ukur Wangsanata. Sempat memang Sutapura merasa heran, karena merasa Munding Lalampah yang dipakai Ukur untuk menyerangnya jauh di bawah Munding Lalapampah yang juga ia kuasai. Apalagi suara Ukur pun menurutnya berubah banyak, jadi lebih berat.
“Mungkin ia kebanyakan mengisap tembakau mole kualitas rendah selama mengungsi di Pongporang dan di sini,” pikir Sutapura.
Sekian lama bertarung, lama-lama ‘Ukur Mardawa’ sadar bahwa Sutapura bukanlah lawan sepadan buat dirinya. Hanya Ukur, majikannya yang akan mampu mengalahkan orang yang pernah bersama-sama belajar kanuragan kepada guru yang sama itu. Bukan dirinya. Baru kali itu Ki Mardawa merasa menyesal selama ini tidak terus menggali ilmu-ilmu kanuragan dan menyempurnakan apa yang sudah ia pegang.
“Wadya bala, munduuur!” teriaknya tiba-tiba. Tak perlu diperintah dua kali, karena secara jumlah pun kedua pasukan yang bertarung itu berbeda bagai bumi dengan langit, perintah mundur itu kontan ditaati. Para wadya bala Tatar Ukur segera kabur menyelamatkan diri masing-masing. ‘Ukur Mardawa’ sendiri segera mengambil seekor kuda, kabur dari serangan orang-orang Mataram yang makin gencar.
“Tidak,” kata dia kepada batinnya sendiri. “Aku bukan pengecut. Aku tak takut mati. Tapi bila masih mampu menyelamatkan diri dan banyak orang daripada tumpur semua di sini, lakukanlah..”
‘Ukur Mardawa’ bersama sekitar dua ribu orang pasukannya sempat melarikan diri ke Bumbang di wilayah Kerajaan Banten[2]. Dia bahkan sempat mengutus seseorang untuk meminta perlindungan kepada Keraton Banten. Sayang, tak hanya karena Banten pun saat itu tengah disibukkan oleh Kompeni yang mulai masuk mempengaruhi internal keraton, melainkan juga karena kehati-hatian Banten terhadap Mataram bila jelas-jelas melindungi Ukur dan pasukannya, penantian beberapa bulan ‘Ukur Mardawa’ dan pasukannya pun sia-sia. Tak pernah ada jawaban tegas dari Banten, apalagi mempersilakan mereka masuk ke Ibu kota atau memberikan wilayah pasti untuk hidup. Namun selama hampir setahun hidup di tanah Banten, meminum airnya dan mengambil umbi, buah dan akar yang diberikan tanahnya, Keraton Banten tak pernah datang melarang.
Nyaris akhir tahun itu, ‘Ukur Mardawa’ dan pasukannya kembali ke Gunung Lumbung. Di sana mereka menemukan benteng dan permukiman yang mereka bangun sudah dirusak. Selain itu, ternyata pasukan Mataram pun belum enyah jauh dari mereka. Tak sampai sepekan setelah kedatangan mereka, kembali pasukan Bagus Sutapura datang menyerbu. Kali ini, ‘Ukur Mardawa’ yang sudah benar-benar siap untuk perlaya, bertekat untuk tak lagi menghindar.
“Aing lahir di taneuh ieu, paeh ge nya di dieu. Aku lahir di tanah ini, biarlah mati pun di sini,” kata ‘Ukur Mardawa’ meneguhkan komitmen pribadinya.
Sayang, kehebatan Bagus Sutapura memang tak mampu ia lawan. Bukan itu saja, dengan perintah untuk membekuknya hidup-hidup demi kesenangan Sultan Agung, ‘Ukur Mardawa’ tak bisa seenaknya memilih opsi mati. Sementara membunuh dirinya sendiri jelas bukan ajaran Islam, agama yang ia pegang erat-erat. ‘Ukur Mardawa’ segera tertawan setelah kepayahan melawan Sutapura dan bala tentaranya.
Jatuhnya ‘Ukur Mardawa’ dengan segera membuat pasukannya yang sangat loyal itu menyerah. Kecuali beberapa orang yang sadar betul bahwa menjadi tawanan Mataram sejatinya lebih mengerikan daripada menjumpai kematian. Mereka terus melawan, mengamuk membabi-buta, berusaha membunuh sebanyak mungkin orang-orang Mataram. Namun ujung-ujungnya telah bisa diduga, orang-orang pemberani dari Tatar Ukur itu pun gugur di medan laga. Tak ada yang hanya memiliki satu dua luka tusukan atau bacokan senjata di tubuh mereka. Umumnya rata-rata prajurit Tatar Ukur perlaya dengan sekian anak panah menancap di tubuh, dan sekian lubang luka menganga di antara anak-anak panah yang menancap itu, saking banyaknya wadya bala musuh.
Tidak kurang dari 1000 orang pengikut Ukur ditawan, dibawa ke Kartasura. Sebelum sampai ke ibukota Mataram yang jarak perjalanannya sekitar sebulan-dua bulan jalan kaki, para pengikut Ukur itu sejatinya telah mati. Penghinaan selama perjalanan membuat mereka membunuh sendiri semangat yang sempat berkobar di dada untuk menegakkan martabat diri dan bangsa Sunda. Dengan tangan terikat para bandan[3] itu harus berjalan menempuh perjalanan ribuan kilometer, dalam sebuah belenggu panjang yang diikatkan kepada gerobak, mereka mengikuti jalannya kereta dan kuda-kuda pasukan Mataram.
Barisan manusia itu membentang sepanjang jalan yang dilalui, sebagaimana perjalanan para budak yang sudah kehilangan kemerdekaan. Nasib mereka bahkan lebih buruk daripada budak. Budak menjalani perjalanan berat dan tragis, namun tetap dijaga agar hidup karena di depan sana tenaga mereka diperlukan. Para pengikut Ukur ditawan, berjalan puluhan kilometer sehari, tanpa dijaga agar tetap hidup. Orang-orang Mataram itu tahu, sebenarnya buat apa membawa ribuan orang itu ke Mataram, karena toh Sultan Agung hanya akan membunuh mereka semua? Mereka hanya berguna buat Sultan yang ingin mempertontonkan kekuasaan dengan membunuhi orang-orang bernasib buruk tersebut, sebagai contoh buruk buat para warga wilayah-wilayah jajahan Mataram lainnya. Sementara bagi para pasukan Mataram itu, ribuan orang artinya hanya mengurangi jatah ransum mereka sepanjang perjalanan. Alhasil, entah berapa banyak pengikut Ukur yang dibiarkan mati di sepanjang perjalanan. Ada yang karena luka, sakit, dan terutama tentu saja, disebabkan kelaparan…
‘Ukur Mardawa’ pun sudah tak lagi berpenampilan laiknya seorang bangsawan dan pemimpin sebuah negeri. Rambutnya sudah panjang, gimbal karena keringat dan debu. Wajahnya kotor jarang terbasuh air. Sebagaimana para tawanan lainnya, ia jarang sekali diizinkan untuk berwudu, sementara harusnya ia melakukan hal itu minimal lima kali sehari-semalam.
Orang-orang Mataram memang sengaja melakukan hal itu. Tak hanya menjatah makan para tawanan itu jauh di bawah kebutuhan, mereka juga dibiarkan tak pernah mandi, kecuali manakala menyeberangi sungai. ‘Ukur Mardawa’ sekian lama sudah melakukan shalat dengan berbagai cara darurat, sementara bersuci pun hanya bisa dilakukannya dengan tayamum. Mandi adalah kata yang pelan-pelan tak ingin diingatnya lagi. Inilah perlakuan keraton yang mengklaim diri sebagai kerajaan Islam di bumi Jawa itu: tawanan seagama pun tak dimungkinkan melakukan kewajiban dasar dalam agama yang mereka sama-sama peluk itu.
Di akhir tahun, sampailah rombongan orang-orang menderita itu ke Kartasura. ‘Ukur Mardawa’ yang dianggap semua orang sebagai Dipati Ukur itu tak pernah dihadapkan kepada Sultan. Sekian lama pemenjaraan, ia diberi tahu, esok hari adalah waktu hukuman Sultan dijalankan kepada dirinya dan para pengikutnya.
Hanya para wanita, termasuk gadis-gadis dan bocah putri yang diampuni, hingga mereka lolos dari hukuman mati. Itu pun karena orang-orang Wetan memerlukan mereka untuk menambah selir, gundik, dan kalau nasib baik datang, sebagai istri kesekian dari para pembesar keraton. Entahlah, mungkin saja hati nurani para wanita itu pun sebenarnya tak ada yang bisa menerima. Tetapi kalau pilihannya hanya dua; menerima jadi gundik dan sejenisnya, atau bersegera menemui kematian, barangkali akan ada lebih banyak yang memilih pilihan pertama. Hidup, sepahit apa pun itu, toh hanya akan ditinggalkan bukan sebagai pilihan oleh orang-orang yang sikap putus asanya menutup otak warasnya.
Bocah-bocah lanang nasibnya tergantung kemurahan hati para pembesar Mataram yang saat itu berkuasa dan punya akses kepada mereka. Beberapa anak dibiarkan hidup, diangkat anak oleh beberapa pembesar yang masih punya nurani. Yang sudah agak besar, berada pada usia tanggung dan sudah mulai mengerti apa yang terjadi, umumnya dibiarkan ikut mati.
“Hm, jadi tinggal hari ini aku menghirup udara kehidupan,”kata ‘Ukur Mardawa’. Dari jeruji penjara yang menghadap Alun-alun Kartasura, dilihatnya orang-orang tengah membuat panggung, tiang pancang tempat mengikat tawanan, serta sekian puluh tiang gantungan. Yang membuatnya heran, ada juga beberapa tungku api dengan kancah gerabah ekstra besar. Buat apa? Tak mungkin besok di sana orang-orang Mataram akan membuat gulai atau dodol untuk dibagikan…
Esoknya, saat ‘Ukur Mardawa’ diseret dan diikat ke tiang pancang yang dibuat di tengah sebuah panggung khusus, ia baru tahu kegunaan kancah-kancah raksasa itu. Sejak pagi, begitu matahari meletik, tungku-tungku di bawah kancah itu dinyalakan, memanaskan air di dalamnya hingga lebih dari mendidih.
Lalu, satu persatu para pengikut Ukur itu diseret. Sebagian direbus dalam kancah, sebagian lagi digantung, diiris-iris oleh sekian ribu rakyat Mataram, atau ditumbuki alu di dalam lesung besar, diperlakukan laiknya padi untuk dijadikan beras[4].
Sebelum para algojo membunuhnya, ‘Ukur Mardawa’ menggunakan kesempatan itu untuk berteriak keras. Suaranya handaruan[5], terdengar ke seluruh penjuru Alun-alun, bahkan bersipongang di dinding-dinding tembok tebal Keraton Mataram.
“Ooy, rahayat Sunda, Kalian jangan mengira bahwa kami semua ini mati sia-sia. Tidak! Kami tilem terkubur dalam bumi justru untuk menjadi saksi dan mempersaksikan kepada Kalian bahwa mereka yang bela kepada kebenaran tak akan pernah mati. Seperti juga firman Gusti Allah, para syuhada akan selamanya hidup, bahkan jauh lebih abadi dibanding pata pengecut yang menyiksa kami hari ini.”
“Wuaaaaa!” teriak ‘Ukur Mardawa’ kesakitan. Pisau cungkil bermata tajam menyayat kulit perutnya. Penyiksaan dimulai. Namun, sadar bahwa tak ada lagi saat untuk memberikan waktu kepada rasa sakit, ‘Ukur Mardawa’ melanjutkan teriakannya.
“Kalian rahayat Sunda, ingatlah, bahwa bagaimanapun kebebasan dan hak untuk menentukan apa yang Kalian mau kebaikan utama dalam hidup yang diberikan Gusti Allah sejak manusia lahir. Kemerdekaan untuk menentukan masa depan sendiri akan membuat anak-anak kita tidak pernah dilahirkan dan hidup seperti budak.”
“Benar, hari ini Kalian bisa lari. Tapi itu justru lari dari takdir kalian untuk mati dengan gemilang. Larilah, berpalinglah dari kenyataan, dan hiduplah sebentar. Sekaratlah Kalian nanti, di ranjang yang diberikan orang-orang Mataram. Atau teruskan perjuangan kami, angkat gobang dan tombak yang telah Kalian asah di batu-batu asahan tempat nenek moyang kita mengasahnya saat orang-orang asing datang hanya guna menghina.
Ada satu kesempatan yang diberikan Gusti Allah kepada manusia, untuk membuktikan dirinya patut dihargai atau hidup selamanya sebagai pengecut. Matilah hanya sekali, jangan pernah menjadi pengecut yang sepanjang hidupnya sebenarnya laiknya kematian. Tanpa harga, tanpa nyawa. Beri tahu orang-orang Wetan ini bahwa mungkin saja mereka bisa merampas nyawa-nyawa kita. Tetapi mereka sepanjang hidup akan tahu, tak sekali pun mereka bisa merampas kebebasan kita!”
Pekik kesakitan kembali terdengar keras. Pisau turih algojo kembali menyobek perut ‘Ukur Mardawa’, membuat darah mengucur deras dari lubang luka yang terbuka.
“Kalian rahayat Sunda, sadarlah! Kita semua akhirnya mati. Hanya soal bagaimana dan mengapa. Setiap orang mati, tapi tak setiap manusia benar-benar hidup. Terlalu banyak yang memilih kematian dalam kehidupan, karena tak pernah mampu mengambil sikap mempertahankan hak-hak yang Gusti Allah berikan.”
“Kula Ukur, rek wasiat ka dinya. Kade, kabuyutan ulah direbut batur, engke dia baris hina alahbatan kulit lasun di jarian!” Kula Ukur, berwasiat kepada Kalian semua. Jangan pernah membiarkan warisan peninggalan leluhur direbut orang-orang asing. Kalau itu terjadi, derajat Kalian lebih hina dibanding kulit lasun[6] yang terpuruk di selokan kotor!”.
‘Ukur Mardawa’ sempat menghela nafas sejenak, setelah rangkaian kalimat panjang yang menyesakkan dadanya itu. Lalu, gelap menutup penglihatannya. Kepalanya menggelinding ke lantai panggung, dipancung algojo yang dari tadi siap dengan gobang besar yang sejak kemarin terasah tajam. Ada pancuran merah sejenak, diiringi jerit warga Mataram yang hari itu sengaja dikumpulan di Alun-alun.
Dada ‘Ukur Mardawa’ yang masih terikat di tiang pancang sebentar masih menunjukkan tanda kehidupan. Lalu…semua hening. Rakyat Mataram terdiam. Jauh di lubuk hati mereka, ada kesadaran untuk menghormati jiwa yang barusan berpulang. Alun-alun yang tadi hiruk pikuk dengan suara ribuan warga itu kini hening. Orang-orang Islam mengucapkan doa kematian, seraya mengingatkan diri bahwa ajal bisa datang kepada mereka, kapan pun, di mana pun. Orang-orang Hindu, yang kini minoritas di Mataram, meletakkan telapak tangan di dada, seraya berdoa.
“Oṁ atma tattwatma naryatma Swadah Ang Ah
Oṁ swargantu, moksantu, sùnyantu, murcantu.
Oṁ ksāma sampurnāya namah swāha.”
“Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa Yang Maha Kuasa, Semogalah arwah yang meninggal mendapat sorga, menunggal denganMu, mencapai keheningan tanpa derita. Ya Sang Hyang Widhy Wasa, ampunilah segala dosanya, semoga ia mencapai kesempurnaan atas kekuasaan dan pengetahuan serta pengampunanMu.”
Beberapa biksu Buddha yang hadir di acara penghukuman itu menarik nafas. Sebagian memalingkan muka, memandang ke arah Keraton, seolah yakin ada sepasang mata yang menyaksikan prosesi keji tersebut dengan penuh kebanggaan diri.
“Evaṃ mayā śrutam
Evaṁ jarā ca maccu ca
Adhivattanti pāṇino
Khattiye brāhmaṇe vesse
Sudde caṇḍāla-pukkuse
-Demikian pula kelapukan dan kematian
Menguasai semua makhluk, apakah dia:
Kesatria, brahmana, pedagang,
Pekerja, kasta buangan mau pun pembersih jalan…
Sadhu…sadhu…sadhu..”
Tak lama, para wanita Tatar Ukur, tawanan yang juga dikumpulkan untuk menyaksikan anak, suami, ayah atau saudara-saudara mereka menjalani hukuman, meraung dalam tangis kehilangan. Tak sedikit yang pingsan tak sadarkan diri. Bukan, bukan tak mengikhlaskan kehilangan, hanya sadar, antara dunia mereka dengan yang perlaya kini terpisahkan benteng kokoh iradat Gusti Allah. Entah kapan mereka akan kembali bertemu. Tak ada jaminan akan sebuah pertemuan, tak ada garansi. [bersambung]
[bersambung]
[1] Adipati Imbanagara adalah putra Dipati Panaekan. Ia adalah bupati Galuh Ciamis pada kurun 1625-1636. Dalam ‘Babad Tanah Jawi’ Imbanagara disebut-sebut dimintai tolong oleh Narapaksa untuk minta bantuan Bagus Sukapura menaklukan Dipati Ukur. Anehnya, usai perlawanan Ukur, Adipati Imbanagara justru dicurigai Mataram berpihak kepada Dipati Ukur, dan dijatuhi hukuman mati pada 1636.
[2] Rabin Hardjadibrata, ibid.
[3] Bandan, dalam kata Sunda bisa berarti tawanan. Mungkin berasal dari kata ‘dibanda’ yang artinya diikat, ditelikung. Di Jakarta terdapat wilayah Kampung Bandan, yang menurut banyak ahli bahasa dan sejarawan merujuk tak hanya karena kampung itu di masa lalu banyak dihuni para budak asal Banda—Maluku, tetapi juga karena banyaknya para budak yang dipancung di sana di masa lalu karena memberontak. Pada saat pemancungan dilakukan, mereka selalu dalam keadaan ‘dibanda’, bandan, atau terikat.
[4] Babad Nithik, sebuah karya sastra Keraton Mataram, ditulis di kertas berukuran folio dengan tinta hitam, berhuruf Jawa dengan bahasa Jawa-Kawi, dalam bentuk tembang macapat. Penulisnya tidak diketahui, tetapi diterangkan ditulis atas perintah Sultan Hamengku Buwono VII. Waktu penulisannya disebutkan dengan Sengkalan “Resi nembah ngesthi tunggal” (1867 Jawi/1936 M). Pada babad itu sempat disebutkan bermacam-macam cara penghukuman mati yang lazim dilakukan di Mataram.
Dalam naskah Sukapura yang ditulis dalam bahasa Jawa, terdapat rangkaian kalimat seperti ini: “Ki Dipati Ukur dikethok, Ki Demang Songgata dibungkus dening duk diobong, Ki Tumenggung Batulayang digodog, Ki Ngabéhi Yudakerti digantung ing lawang, sugriyané kang liwat padha ngiris, nunten pejah. Langkung sapunika: Umbul Malangbong, Umbul Cihaur Mananggel, Umbul Medang Sasigar, Umbul Kahuripan, Umbul Sagarahérang sami dipunrujak kentasa.”
Terjemahannya: Ki Dipati Ukur dipancung lehernya, Ki Demang Saunggatang dibungkus ijuk kemudian dibakar, Ki Tumenggung Batulayang direbus. Ki Ngabéhi Yudakerti digantung di pintu gerbang, setiap orang yang lewat harus mengiris badan si terjukum itu sampai ia mati dalam sakit yang sangat. Selebihnya, Umbul Malangbong, Umbul Cihaur Mananggel, Umbul Medang Sasigar, Umbul Kahuripan, Umbul Sagarahérang, badan mereka ditumbuki alu dalam lisung (lesung)–alat penumbuk padi menjadi beras, sampai meninggal.
[5] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya kurang lebih keras (tentang bunyi) sekali sampai menimbulkan pantulan suara.
[6] Binatang mengerat sebangsa musang.