Sekilas Paradigma Hierarkis dan Non-hierarkis dalam Filsafat
Semua karakter kemodernan itu dengan cukup telak membuat runtuh langit sakral yang menjadi naungan para teolog dan filsuf Abad Pertengahan
Oleh : Alfathri Adlin
JERNIH– Bagi Barat, Timur menawarkan kebaruan, mulai dari eksotisme kultural hingga ke pemikiran filsafat dan keagamaan. Hingga abad 19, filsafat Barat kurang menaruh perhatian pada perkembangan pemikiran Timur. Bahkan pada umumnya mereka menganggap pemikiran Timur merupakan alam pikiran primitif yang belum maju, dan karenanya tidak menarik untuk diperhatikan.
Akan tetapi, dari perjalanan orang-orang Barat ke Timur, serta pengenalannya pada budaya Timur dari dekat, mereka pun mulai memperhatikan adanya kekhasan pemikiran Timur yang lain dari pemikiran Barat. Maka terjadilah perubahan, dari yang tadinya bersikap melecehkan, jadi mulai ada sikap ingin tahu dan kagum akan eksotismenya.
Selain itu, perkembangan epistemologi dan hermeneutika, serta studi bahasa di Eropa, semakin membuka minat filsuf dan pemikir Eropa untuk memahami naskah-naskah serta cara berpikir Timur. Modernitas, yang juga merupakan awal perkembangan sains dan teknologi, serta perkembangan wawasan humanisme (earthly man), merupakan hal yang paling pokok dalam perkembangan sejarah Barat. Modernisme hadir sebagai respons atas perkembangan zaman, sekaligus bentuk resistensi terhadap situasi keagamaan khas Abad Pertengahan yang dipandang memberangus potensi utama kemanusiaan, yakni kebebasan nalar atau rasio.
Van Gennep, menyebutkan ada beberapa ciri dalam proyek modernitas: Pertama, proses sejarah dipandang sebagai sesuatu yang progresif dan diukur atas dasar penalaran, artinya, mereka yang tidak rasional berarti adalah yang terbelakang.
Kedua, individu, dan bukan masyarakat, yang menjadi penentu perubahan (agent of change).
Ketiga, proses mengetahui berarti adalah proses abstraksi. Keempat, adanya pemisahan antara subjek-objek yang merupakan pandangan khas Cartesian.
Nah, semua karakter kemodernan di atas dengan cukup telak membuat runtuh langit sakral yang menjadi naungan para teolog dan filsuf Abad Pertengahan.
Perseteruan antara modernitas dan tradisi sebenarnya adalah representasi dari dua pandangan dunia yang berbeda. Ini persoalan klasik, tapi memang bahwa pertarungan semenjak zaman Yunani Kuno antara kaum Orphic dan Epicurus terus berlanjut. Dan narasi-narasi besar yang hadir dalam sejarah peradaban adalah juga cerita tentang pertarungan tadi.
Sederhananya, yang sebenarnya terjadi adalah pertarungan antara paradigma hierarkis dan paradigma non-hierarkis.
Pandangan dunia atau pola pikir atau paradigma hierarkis adalah cara pandang realitas sebagai suatu tingkatan yang berjenjang dalam gradasi menaik. Dalam paradigma hierarkis, semua tingkatan alam tersebut bermuara kepada satu diri manusia. Konsekuensinya, pembicaraan mengenai paradigma hierarkis, adalah pengakuan atas adanya dimensi spiritual manusia beserta kecerdasannya. Intelek adalah nama, dalam bahasa filsafat perenial, untuk perangkat kecerdasan batin yang bersepadan dengan tingkatan realitas—yang non-inderawi dan non-abstraksi—yang lebih tinggi.
Sedangkan paradigma non-hierarkis adalah pandangan atas realitas sebatas apa yang tercerna secara inderawi maupun terabstraksi secara rasio. Perbedaan pandangan dunia dan pemikiran semacam inilah yang, dalam hal tertentu, bisa menawarkan kebaruan. [ ]