Crispy

Banyak Kasus Femisida Atau Pembunuhan Terhadap Perempuan di Turki Ditutup-tutupi

Dari 300 kematian perempuan di Turki, 171 kasus sangat mencurigakan

JERNIH—Menurut data organisasi hak-hak perempuan di Turki, sedikitnya 300 wanita dibunuh di Turki pada 2020. Jumlah kasus yang tidak tercatat diyakini jauh lebih tinggi karena femisida sering ditutupi sebagai kasus bunuh diri.

Kaum perempuan telah menyuarakan dan menuntut perlindungan dari tindak kekerasan, namun pemerintah tidak dapat berbuat banyak untuk membantu mereka

Kasus pembunuhan pada Mei 2018 terhadap warga Ankara berusia 23 tahun, Sule Cet, merupakan salah satu kasus yang menggemparkan. Wanita muda itu diperkosa di kantor oleh dua pria mabuk, salah satunya adalah bosnya. Setelah diperkosa, dia dilempar keluar jendela dari ketinggian.

Pelaku mengatakan kepada polisi bahwa Cet telah bunuh diri, meski petugas menemukan kondisi Cet dalam keadaan patah leher, luka robekan di daerah anus, dan ditemukan kandungan obat penenang dalam darahnya. Sejumlah bukti yang hampir tidak sesuai dengan kejadian “bunuh diri”.

Proses persidangan pembunuhan terhadap Cet berlangsung selama enam bulan, dengan diwarnai aksi unjuk rasa sebagai bukti solidaritas dari kaum perempuan. Kasus tersebut juga ramai diperbincangkan di media sosial. Tekanan dari publik membuahkan hasil, pengadilan di Ankara memvonis pelaku utama dengan hukuman penjara seumur hidup, sedangkan rekannya dipenjara selama 19 tahun.

Saat itu, kelompok hak perempuan berharap kasus Cet akan mendorong perubahan di masyarakat– tidak hanya didukung oleh masyarakat sipil tetapi juga oleh sistem peradilan Turki.

Sule Cet sebuah pengecualian?

Sayangnya, tidak banyak yang berubah sejak saat itu. Beberapa kasus pembunuhan terhadap perempuan, tetap saja diklaim sebagai kasus bunuh diri sebagai upaya menutupi femisida.

Belum lama ini kematian tragis warga kota Diyarbakir, Ayten Kaya yang berusia 35 tahun menjadi berita utama di Turki. Kaya ditemukan digantung di rumahnya. Penyelidik menyimpulkan bahwa dia telah bunuh diri dan kantor kejaksaan negara bagian menutup kasus tersebut.

Kerabat Kaya tidak menerima klaim bunuh diri itu. Mereka percaya Kaya dibunuh dan mengatakan kasus tersebut penuh dengan “celah” dan kontradiksi. Misalnya, otopsi gagal mencatat waktu kematian Kaya dan seluruh tubuhnya dipenuhi luka memar, sebuah bukti yang berbeda jika benar dia melakukan bunuh diri. Otopsi juga menunjukkan bahwa wanita tersebut memiliki hematoma (gumpalan darah di luar pembuluh darah) berumur tiga hari di tubuhnya.

Suami Kaya, seorang buruh musiman sektor pertanian, berada di rumah itu tepat tiga hari sebelumnya. Meski ada banyak keberatan, jaksa penuntut memutuskan untuk tidak melanjutkan kasus tersebut.

Pengacara Gurbet Gozde Engin melaporkan, ada empat wanita meninggal dalam keadaan yang sama, terjadi beberapa minggu setelah kematian Ayten Kaya.  Engin adalah anggota cabang Rosa Diyarbakir, sebuah asosiasi untuk membela hak wanita.

Namun jaksa menolak untuk menyelidiki kasus tersebut. “Dalam kasus di mana wanita meninggal bunuh diri namun kenampakannya sangat diragukan, maka aparat harus mengarahkan penyelidikan ke arah yang berbeda. Ini bukan hanya kejahatan pembunuhan, namun merupakan kejahatan yang menyatakan femisida sebagai kasus bunuh diri,” kata Gozde.

Hatice Coruk dari asosiasi perempuan Kadin Kultur Evi Dernegi menyalahkan seluruh sistem peradilan: “Kita harus lebih tidak percaya setiap kali kasus femisida digolongkan sebagai bunuh diri. Klaim itu semakin menutupi femisida.”

Leyla Soydinc dari Mor Cati Kadin Siginagi Vakfi, asosiasi perempuan yang berbasis di Istanbul juga melihat adanya masalah struktural. “Dalam sistem peradilan yang didominasi oleh pria, banyak kejahatan yang dilakukan [terhadap wanita] tidak dihukum.”

Soydinc mengatakan banyak pria merasa yakin dianggap tidak bersalah oleh sistem peradilan, setelah mereka mengalihkan kasu femisida sebagai kasus bunuh diri. “Untuk membuat seolah-olah bunuh diri tampak lebih masuk akal, berkas kasus kemudian mengatakan hal-hal seperti ‘suasana hati sedang tidak baik, atau memiliki masalah psikologis’.”

Dari 300 femisida, 171 kematian mencurigakan

Kampanye melalui media sosial tentang masalah ini dan tindakan tegas dari kelompok hak-hak perempuan semakin membuat pemerintah dan pengadilan Turki berada di bawah tekanan.

Pemerintah dan pengadilan Turki telah membungkam masalah femisida sejak lama dan hingga saat ini tidak terlihat adanya keinginan politik yang nyata untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, terlepas dari fakta bahwa 300 femisida terjadi pada tahun 2020. Angka tersebut diterbitkan oleh organisasi We Will Stop Femicides.

Organisasi itu juga melaporkan ada 171 wanita lainnya ditemukan tewas dalam keadaan mencurigakan di Turki pada waktu yang sama, beberapa dari kasus tersebut juga diklaim sebagai dugaan bunuh diri.

Banyak wanita Turki yang mempertaruhkan harapan mereka untuk perubahan di Dewan Konvensi Istanbul Dewan Eropa. Perjanjian untuk mencegah dan memerangi kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga sudah ada sejak tahun 2014.

Turki meratifikasi perjanjian itu lima tahun lalu, mendukungnya secara hukum dengan mengeluarkan undang-undang untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan melindungi keluarga. Namun dalam praktiknya, para kritikus mengatakan bahwa norma hukum Konvensi Istanbul belum diadopsi dan langkah-langkah dukungan serta perlindungan yang diharapkan untuk perempuan tidak terwujud. [Deutsche Welle]

Back to top button