Solilokui

Munggahan

Munggahan bagi kami adalah menguras kolam (mengambil ikan), memotong ayam, bahkan banyak yang memotong kambing. Almarhum ayah—semoga Allah menjadikan alam kuburnya istana—juga sering menguras kolam. Kami menangkap mujair, juga membagi-bagikannya kepada tetangga. “Menyambut shaum, semua orang harus bergembira, kita berbagi”, demikian kata ayah.

Oleh  : Acep Iwan Saidi*

JERNIH– Sependek pengetahuan yang saya miliki, munggahan bukanlah bagian dari ibadah shaum. Demikian juga permohonan maaf-maafan dan ziarah kubur di awal shaum, saya tidak menemukan referensi yang menyebut hal itu sebagai ritual yang disyaratkan terkait shaum Ramadhan.

Acep Iwan Saidi

Jadi, munggahan adalah tradisi. Saat kanak-kanak, di kampung, kami menyambut munggahan tidak jauh berbeda dengan lebaran. Momen sehari sebelum shaum Ramadhan ini merupakan saat yang sangat ditunggu. Bagaimana tidak, munggahan bagi kami adalah menguras kolam (mengambil ikan), memotong ayam, bahkan banyak yang memotong kambing. Almarhum ayah—semoga Allah menjadikan alam kuburnya istana—juga sering menguras kolam. Kami menangkap mujair, juga membagi-bagikannya kepada tetangga. “Menyambut shaum, semua orang harus bergembira, kita berbagi”, demikian kata ayah.

Beberapa kilo gram mujair sebesar tiga jari remaja milineal  itu digoreng kering, lantas disimpan di dalam toples beling (keler). Semakin lama usia mujair goreng itu berada di sana, semakin nikmat rasanya. Itu mengapa almarhumah emak—semoga Allah membuatkan singgasana untuknya di surga—mempersiapkannya untuk dua hingga tiga pekan. Sering kami berbuka dan sahur hanya dengan nasi dan mujair goreng itu. Allah Maha Pemberi nikmat.

Munggahan, dengan begitu, bagi kami bukanlah makan-makan, bukan mengadakan acara khusus, kumpul kolega, tausiah, doa bersama, dan maaf-maafan. Munggahan, bagi kami, adalah sebuah cara menyambut ramadhan dengan riang, bukan meninggalkan Sya’ban yang bebas makan.

Sebagai anak-anak, kala itu, sekali lagi, saya merasakan munggahan sebagai lebaran di awal Ramadhan. Hari ini, 40 tahun kemudian, saya tersenyum dan berdoa untuk munggahan masa kecil tersebut. Doa yang diharapkan berlaku surut. Mudah-mudahan, pada tiap munggahan kala itu, kami telah menjadi fitri.

Juga untuk Ramadhan kali ini. Munggahan, semoga, merupakan cara mengawali shaum dengan diri yang telah suci. [  ]

Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB

Back to top button