Semangat Keberagamaan Harus Dilandasi Keluasan Ilmu
Semakin luas keilmuan kita, semakin kita mampu melihat perbedaan keberagamaan sebagai sebuah kekayaan tradisi dan keindahan Islam.
Prof Dr KH Ahmad Imam Mawardi
AWAL-AWAL bulan puasa ini tak berbeda dengan minggu-minggu pertama bulan puasa tahun-tahun sebelumnya. Semangat keberagamaan tampak kuat dan kompak. Kajian setelah shalat fardlu di masjid-masjid banyak diikuti oleh jamaah. Sore ini, kesibukan mempersiapkan buka puasa juga sangat ramai. Memberikan sumbangan ta’jil menjadi salah satu amal pilihan karena berpegang pada hadits bahwa yang memberikan buka puasa mendapatkan pahala yang sangar besar. Semangat menyumbangkan aneka ta’jil dan menu buka puasa tampak dengan jelas.
Sengaja saya membuat kata terpisah antara ta’jil dan menu buka puasa, walaupun dua-duanya aslinya adalah sama sebagai pembuka “imsak” atau menahan diri dari yang membatalkan puasa. Saya pisahkan karena mengikuti kelaziman masyarakat yang mengasosiasikan ta’jil dengan kolak, es cingcau dan gorengan, sementara menu buka puasa adalah makanan besarnya. Istilah dengan konotasi ini hanya ada di nusantara. Di Saudi Arabia tidak ada. Tapi jangan lalu karena tidak ada di Arab maka dianggap bid’ah yang sesat.
Tadi ada seorang dosen yang memberikan komentar pada tulisan saya tentang IMSAK dengan memohon bahasan tentang ziarah kubur dan ucapan permintaan maaf menjelang Ramadlan yang dianggap oleh sebagian orang sebagai bid’ah tercela. Alasannya adalah karena tidak ada dalilnya. Nah, menurut saya, andai saja sebelum menuduh tradisi tertentu sebagai bid’ah sang penuduh itu mengaji dan mengkaji secara serius dan lengkap maka tidak mungkin mudah main tuduh.
Mungkin sang penuduh mau menunjukkan semangat keberagamaannya yang kuat, namun sayang kurang dilengkapi dengan keluasan ilmu. Semangat beragama yang kuat tapi minus ilmu biasanya akan memunculkan karakter pemisuh, pemusuh dan pemprotes.
Tentang bid’ah itu ada definisi dan sejarahnya. Banyak kitab dan disertasi yang membahas tentang ini secara mendalam. Ada yang memanfaatkan bab bid’ah ini untuk iklan kepentingan kelompok tertentu. Politik pun akhirnya menungganginya. Maka jadilah bid’ah ini sebagai pemisah ummat, pengkotak-kotakan ummat. Umat muslim akhirnya gagal bersatu dalam cinta dan kasih sayang. Hati-hatilah dengan isu ini. Waduh, jadi agak serius bahasannya ini. Kembali santai saja ya.
Urusan ziarah kubur dan minta maaf itu adalah urusan kapan ada waktu dan kapan biasa dianggap sebagai kebaikan serta mudah diingat. Jadi, mau minta maaf bulan apa saja tidak apa. Termasuk ketika dilakukan menjelang Ramadlan. Apakah yang tidak ziarah dan tidak ucapkan minta maaf lalu dianggap pelanggaran hukum? Ternyata tidak. Lalu bid’ahnya di mana? Nah, bid’ah itu ada ruangnya, ada syarat rukunnya. Sudah ngaji belum? Kapan-kapan kita mengaji bersama dengan hati dan pikiran terbuka.
Semakin luas keilmuan kita, semakin kita mampu melihat perbedaan keberagamaan sebagai sebuah kekayaan tradisi dan keindahan Islam. Semakin sedikit ilmu maka semakin mudah menganggap orang lain yang memiliki beda tafsir sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Sering dikatakan bahwa bagi mereka yang hanya punya palu, semua masalah dianggapnya sebagai paku. Semua harus dipukul.
Saudara dan sahabatku, jalan menuju Allah itu banyak berbagai macam. Jangan mudah mengkafirkan dan menerakakan orang lain. Mungkin Anda masuk lewat pintu shalat, mungkin orang lain lewat pintu berderma membantu orang lain. Tak malukah Anda jika Anda nanti bertemu di surga dengan orangvyang Anda tuduh di dunia sebagai ahli neraka. Saling berdoalah untuk sama-sama selamat dengan caranya yang mungkin berbeda. Salam, A. I. Mawardi. [*]
* Founder and Director di Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya