Catatan Menjelang Buka (15): Harga
Karena seluruh tubuh dibungkus imej (citra), tubuh itu sendiri akhirnya lesap. Yang tampak ke permukaan adalah imej itu sendiri. Hubungan kita dengan kerabat, saudara, teman, tetangga, dan seterusnya adalah hubungan antarimej. Itulah yang jauh-jauh hari disebut Karl Marx sebagai mistifikasi benda-benda. Benda-benda hidup; sedangkan Subjek, kita, mati. Kita hanya rangka saja.
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH–Hari ke-15. Saya masih ingin melanjutkan perbincangan kita tentang mall (cambuk 14) kemarin. Taruhlah kamu membeli sepasang sepatu, satu setel pakaian, atau sebuah jam merek terkenal. Biasanya pasti lebih dari itu, bukan? Masalahnya, jika sudah berada di mall, semua barang yang dipajang di situ seolah-olah menjadi kebutuhan kita.
Tapi, apakah sesungguhnya yang kamu beli? Riil barang-barang tersebut, atau sesuatu yang lain? Dalam kebudayaan visual, kata Shcroeder melalui bukunya, “Visual Consumption”, yang kita konsumsi sehari-hari sesungguhnya adalah “yang visual”. Benar.
Disadari atau tidak, sejauh ini kita memang lebih banyak menelan gambar, menyantap imej (citra). Kita tidak memakai sepatu, tapi mengenakan imej; tidak mengenakan pakaian, tapi memakai imej, tidak melingkarkan arloji di tangan, tapi melingkari tangan dengan imej. Demikian seterusnya.
Karena seluruh tubuh dibungkus imej (citra), tubuh itu sendiri akhirnya lesap. Yang tampak ke permukaan adalah imej itu sendiri. Hubungan kita dengan kerabat, saudara, teman, tetangga, dan seterusnya adalah hubungan antarimej. Itulah yang jauh-jauh hari disebut Karl Marx sebagai mistifikasi benda-benda. Benda-benda hidup; sedangkan Subjek, kita, mati. Kita hanya rangka saja.
“Siapa berkata-kata…?/Kawanku hanya rangka saja/Karena dera mengelucak tenaga”, demikian tulis Chairil Anwar dalam sajaknya, “Kawanku dan Aku”.
Jika yang kamu beli dan kemudian dipakai adalah imej, jelas label harga yang menempel pada barang-barang itu adalah harga imej. Tentu harga imej bukan harga barang itu sendiri, melainkan harga yang merujuk pada “dunia dalam angan-anganmu”, yang diproduksi oleh pabrik bahasa atau perusahaan metafora.
Barang-barang tersebut dijajakan ke dalam angan-anganmu dengan berbagai cara yang sangat menggoda. Mereka menawarkan harga imej. Nilai tukar barang kini telah bergeser menjadi nilai tukar imej sebab nilai gunanya juga sudah menjadi nilai guna imej.
Sebab barang, harga, dan kamu sendiri telah menjadi imej, maka kini sudah tidak ada lagi “yang riil” dan yang asli. Kini bukan zaman kenyataan dan keaslian, tapi zaman ketidaknyataan (fiktif) dan kepalsuan.
Kini kepalsuan adalah realitas itu sendiri. Dalam realitas kepalsuan, nalar yang berlaku, tentu saja, nalar kepalsuan juga. Saat kamu membeli dan memakai imej arloji, bukan fungsi arlojinya, itulah nalar kepalsuan. Coba periksa sekali lagi, kalau kamu membeli fungsi arloji, kiranya merek biasa dengan harga biasa sudah cukup, tidak perlu beli merk internasional, pernah dipakai artis Holywood, dan harganya sebanding upah 50 tahun pegawai negeri SIPIL macam saya.
Ketika nalar telah menjadi nalar palsu sedemikian, itu berarti kita percaya bahwa ia memiliki kekuatan lebih dibandingkan dengan nalar yang sering dibicarakan dalam filsafat modern. Kita lebih percaya pada kekuatan di balik benda-benda yang menjadi sumber imej di atas, daripada kekuatan kita sendiri, bahkan mungkin kekuatan Tuhan.
Sekarang, coba kita ingat peradaban masa lalu ketika orang memercayai keris sebagai “subjek” yang memiliki kesaktian atau kekuatan supranatural. Kepada mereka, bukankah kita mengatakannya mistik, takhayul, musyrik, dll?
Ambil kembali arlojimu tadi. Ketika kamu merasa percaya diri dengan memakainya, bukankah itu berbanding lurus dengan si pemakai keris. Jika begitu, label yang diberikan kepada si pemakai keris bisa juga diberikan kepada kamu: sama-sama takhayul, sama-sama mistik.
Bedanya, mistik pemakai keris adalah mistik antropologis, takhayul kamu adalah takhayul komoditas kontemporer. Naudzubillah summa naudzubillah, semoga kini kita tidak sedang terjebak dalam abad musyrik kontemporer. Selamat berbuka. Semoga puasa kita hari ini bukan puasa imej. [ ]
Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB