Akses Internet BAKTI Mengubah Strategi Bisnis Daun Kelor
JERNIH — Bagi kebanyakan orang tumbuhan Kelor (atau biasa disebut Merunggai) dianggap sebagai pepohonan biasa. Pertumbuhannya cepat, daunnya yang kecil-kecil juga lebat. Kadang malah jadi merepotkan karena seringnya rontok dan jatuh ke jalanan.
Moringa oleoifera banyak tumbuh di bumi NTT. Hampir di setiap sudut mudah dijumpai tanaman yang dianggap tidak produktif ini. Sampai kemudian berubah citranya, dari nothing menjadi something.
Itu karena di tangan seorang gadis bernama Meybi Agnesya, bagian tumbuhan khususnya daun ia ubah menjadi produk konsumsi. Semula, Meybi hanya ingin memanfaatkan daun Kelor agar memberi manfaat bagi warga NTT. Namun, begitu ia paham khasiat dan peluang menjadi komoditas perdagangan, ia pun terjun sekalian.
Lewat brand bernama Timor Moringa yang berstatus sebagai UMKM, Meybi bersama rekan sejawatnya mengemas daun Kelor dengan segala kreativitasnya. Apalagi, kemudian muncul jurnal yang diterbitkan oleh WHO yang menyebut bahwa tanaman family Moringaceae ini menyimpan kandungan zat yang tiada tara. Lembaga kesehatan dunia itu bahkan menyebutnya sebagai “the new superfood”.
Kelor yang tumbuh tanpa terpaku pada musim, tahan hidup di daerah panas sekalipun, bahkan memiliki umur panjang lalu bak disulap. Hasil akhirnya berupa produk teh, coklat, kopi, serbuk daun, dan beragam lagi.
Sayang, ketika bisnis Timor Moringa baru mulai melejit dengan pasar wisatawan di kawasan NTT, mendadak dihantam pandemik Covid-19. Bisnis wisata mandeg, produk daun Kelor pun tak terbeli.
Siasat harus dibuat. Semangat harus melesat. Meybi pun mengubah strategi, memilih jalur digital sebagai medium untuk pemasaran. Artinya, mungkin saja produknya justru punya peluang menembus batas pasar yang selama ini hanya terfokus di NTT saja.
Di sisi lain, ketersediaan jaringan telekomunkasi untuk akses internet perlahan juga dibangun oleh BAKTI Kominfo.
Menurut Danny Januar Ismawan, Direktur layanan TI untuk Masyarakat dan Pemerintah BAKTI Kominfo, tugas BAKTI tidak selesai sampai membangun jaringan. Selanjutnya masih ada proses berikutnya yang penggunaan jaringan agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karenanya BAKTI melakukan solusi ekosistem digital dengan 3 pilar utama, yakni Digital Citizen, Digital Economy, dan Digital Government.
Salah satu rencana strategis terkait Ekonomi Digital adalah meningkatkan pendapatan masyarakat dan ketahanan pangan di wilayah pedesaan yang dilakukan oleh BUMDes dan UMKM.
Di situlah kemudian bisnis Timor Moringa berkembang dan kini telah berubah dan mudah ditemui di sejumlah e-commerce. Jaringan BAKTI sebagai infrastruktur yang memberi jalan bagi Timor Moringa agar lebih dikenal lebih luas.
“Kita harus melihat bahwa pandemi ini memiliki hikmah tersediri. Masyarakat di daerah 3T secara tidak langsung dipaksa oleh kondisi untuk bisa beradaptasi secara cepat melakukan adopsi teknologi yang hadir di daerahnya akibat akselerasi jaringan telekomunikasi yang dilakukan pemerintah. Sehingga kebangkitan UMKM di kala pandemi ini menjadi momentum transformasi UMKM Indonesia menjadi lebih maju,” tambah Danny.
Nyatanya, transaksi e-commerce yang tadinya hanya sebesar 29,6% dari Rp205,5 triliun pada 2019 menjadi Rp266,3 triliun pada 2020 alias justru saat orang banyak tinggal di rumah.
Tak hanya Timor Moringa yang banting setir dan memanfaatkan perdagangan digital. Sangat banyak, hingga kewalahan ketika harus membuat kurikulum bagi para pebisnis pemula tersebut. BAKTI menggandeng idea yang asosiasi perdagangan digital Indonesia itu.
Ternyata tidak gampang memang membangun kesetaraan perdagangan bagi para pemula, khususnya yang berdomisili di daerah 3T. Rosihan melihat persoalan lain, misalnya ketersediaan logistik dan aksesnya. Meybi bercerita, bagaimana mungkin untuk sebuah produk seharga Rp 27.500,- harus dikenai ongkos kirim sebesar Rp 32.500,- untuk sampai ke tangan konsumen. Ongkir lebih besar ketimbang harga produk.
Jaringan sudah bisa digunakan, tetapi ada kendala jalur logistik. idEA lekas-lekas memikirkan ulang program kurikulum pelatihan yang telah dilakukan. Sampai kemudian menemukan jurus bahwa tidak semua perusahaan harus memperlua pasar ke level nasional atau bahkan menjadi eksportir bila logistic masih jadi persoalan. Pasar lokal juga terbuka dan kluster ini punya potensi tentu dengan skala ekonominya tersendiri.
Lokasi usaha UMKM juga menentukan strategi Go Online yang dipakai sebab posisi menentukan daya saing produknya. Sedangkan, daya saing UMKM daerah tergantung daya saing digital perwilayah.
“Onboarding bisa di e-commerce nasional tapi fokus pelanggan tetap di pasar lokal,” ujar Rosihan.
Hasilnya, tahun 2020 lalu sudah 4000 peserta UMKM daerah 3T mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh BAKTI. Di tahun 2021 ini, BAKTI menambahkan layanan dengan menjembatani pada akses pembiayaan, baik itu dari perbankan maupun institusi lain yang menyalurkan kredit dan permodalan bagi UMKM.
Transformasi digital bagi para pelaku bisnis amat membutuhkan akses internet yang perannya amat vital. Jika jaringan telah tersedia, bak pintu yang terbuka. Apa saja bisa dilakukan bahkan jaringan logistik pun akan mengikuti. (*)