Solilokui

Margiono, Wartawan Gigih yang Pernah Pura-pura Gagu

Sekali lagi benarlah Schopenhauer,”Rasa humor adalah satu-satunya kualitas ilahiah yang ada pada manusia.” Dengan rasa humor itu, buktinya Margiono bisa mengubah suasana yang harusnya kental dan jumud, menjadi cair karena humor yang dibalutkan membungkus kritik. Setitik kecil laiknya sifat ilahiah, yakni mengubah dan mencipta, dimungkinkan karena humor yang dimilikinya.  

Oleh   : Atal Sembiring Depari*

JERNIH–Barangkali akan banyak yang bilang ini berlebihan. Tetapi saya pernah teringatkan filsuf Jerman terkemuka, Arthur Schopenhauer, manakala melihat almarhum Margiono yang baru saja berpulang, berpidato.

Atal S Depari

Filsuf Jerman itu berkata bahwa rasa humor adalah satu-satunya kualitas ilahiah yang ada pada manusia. Kuotasi Schopenhauer itu melintas cepat di kepala saya di saat melihat Margiono berpidato pada perhelatan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Padang, pada 2018 lalu. HPN terakhir di tahun ujung kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat yang dipimpinnya dalam dua periode.

Di peringatan HPN yang bertajuk “Meminang Keindahan di Padang Kesejahteraan” itulah, saya melihat kebenaran pernyataan Schopenhauer itu dibuktikan Margiono. Di hadapan Kepala Negara, Presiden Jokowi, ia santuy saja bicara ngalor-ngidul tapi jelas tertata dan punya satu arah yang dituju. Maklum, belakangan baru saya tahu bahwa Margiono pernah menjadi seorang dalang wayang.

Saat bicara, lisan Margiono benar-benar memiliki lidah seorang dalang atau juru dongeng di masa lalu. Kalimat-kalimatnya runtut, namun tak membosankan karena sifat humoris yang ia miliki memberinya kosa kata berlimpah di samping segudang anekdot segar.   

Sementara gayanya saat bicara tak kalah dengan para komika usia kaum milenial. Saya terbayang bagaimana gesture Margiono saat itu, manakala ia mengkritik halus Presiden Jokowi langsung yang berada di hadapannya, sementara Jokowi sendiri justru tergelak lepas. Saya lupa apa yang jadi bahan kritik, karena esensi kritiknya sih umum-umum saja sebagaimana banyak bertebar di media dan meme-meme. Yang membedakannya saat itu, kritik itu langsung dinyatakan kepada subjek yang dikritik. Dan jangan lupa, itu dilakukan seorang Margiono, ketua umum PWI Pusat yang punya gaya khas. 

Sekali lagi benarlah Schopenhauer,”Rasa humor adalah satu-satunya kualitas ilahiah yang ada pada manusia.” Dengan rasa humor itu, buktinya Margiono bisa mengubah suasana yang harusnya kental dan jumud, menjadi cair karena humor yang dibalutkan membungkus kritik. Setitik kecil laiknya sifat ilahiah, yakni mengubah dan mencipta, dimungkinkan karena humor yang dimilikinya.  

Sifat humoris itu menjadikan Margiono selalu berusaha memperlakukan masalah sebesar dan serumit apapun sebagai masalah yang ringan dan bisa diatasi. Di pernah bercerita kepada saya satu hal yang menurutnya tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.

“Saya pernah delapan bulan jadi kepala biro Jawa Pos di Washington, DC,” kata dia. Dan menurutnya, itulah masa-masa paling sulit karena kemampuan bahasa Inggrisnya—menurut dia—sangat terbatas. “Saya sampai ikut kursus selama di DC itu,”kata dia.

Tapi ya bukan Margiono—tepatnya bukan wartawan—kalau kendala bahasa saja, itu pun mungkin hanya dalam urusan pembicaraan aktif, sudah mengandaskan dirinya. Tahu apa yang ia lakukan?

Sekitar enam dari delapan bulan itu Margiono pura-pura gagu.

“Gagu…aah…uuh…ahh..uhh..begitu?”tanya saya penasaran.

“Ya, begitu,” jawabnya mantap.

Lalu bagaimana ia menulis laporan ke Jawa Pos di Indonesia? “Ya, saya sih mengerti apa yang jadi perbincangan, siapa bilang apa. Yang nggak bisa kan hanya bertanya. Daripada ditunjuk untuk bertanya, pura-pura gagu itu menurutnya paling efektif.

“Sebagai orang gagu, saya selalu mendapatkan prioritas. Apa-apa selalu kita duluan, terutama kalau jamuan makan malam,” kata dia, dengan gaya santai saja. Woles kalau kata anak milenial.

Tapi jangan pernah berpikir Margiono jenis wartawan cemen yang hanya bisa bergabung secara embedded, ikut rombongan kementerian.  Sebelum menjadi ketua umum PWI Pusat, nama dan reputasi Margiono cukup membanggakan. Dia dikenal wartawan pemberani. Di awal-awal Reformasi, salah satu media yang dipimpinnya saat itu, Majalah “Detektif dan Romantika” belakangan hanya disebut “DR” pernah bikin geger Indonesia. Sampul depannya menampilkan Presiden Soeharto dalam bingkai kartu King terbalik-balik.

Mudah diprediksi, DR kena bredel, menyusul Detik, TEMPO, dan Editor yang dibredel pada tahun-tahun sebelumnya, 1994. Saat itu Margiono juga dapat sanksi dari organisasi PWI. Tapi sebagaimana sifatnya, Margiono menyikapinya woles saja.

Era Reformasi tak membuatnya kehilangan rasa berani. Di kurun itu, awal 2000-an, harian “Rakyat Merdeka” yang dipimpinnya setiap hari keluar dengan tajuk-tajuk sensitif dan ‘berani’. Selalu menyerempet-nyerempet bahaya alias vivere pericoloso terhadap kekuasaan saat itu.

“Kalau di era ini kita tidak berteriak keras, tidak ada yang mau peduli aspirasi rakyat,” katanya, beralasan.

Suatu saat datang juga saat terpeleset. Setelah sekian kali menulis judul-judul seperti : “Mulut Mega Bau Solar”, “Mega Lebih Kejam dari Sumanto”, “Mega Lintah Darat” dan “Mega Sekelas Bupati”, Rakyat Merdeka pun digelandang hamba hukum ke Pengadilan atas laporan jajaran PDIP. Untunglah, saat tu belum ada modus-modus mengadu-domba rakyat melalui para buzzer dengan dukungan yang seolah-olah populis. Namun hasilnya tetap saja cukup pedih: Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka, Supratman divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan dalam kasus pencemaran nama baik Presiden Megawati Sukarnoputri itu.

Saya cukup dekat dengan Margiono, dan sepekan sebelum ia berpulang sempat bertukar kabar. Margiono bilang, ia akan berusaha menghadiri peringatan Hari Pers Nasional 2022 di Kendari, 7-9 Februari mendatang. Tampaknya, kondisi sakit tak mengalahkan rindunya kepada teman-teman seprofesi, terutama kepada teman dan para juniornya.

Namun Allah Sang Pencipta lebih rindu kepadanya, dan lebih dulu memintanya pulang. [  ]

Back to top button