Memahami Dialog Antar-Agama [3]
Amerika selama ini seringkali dikenal oleh sebagian sebagai negara “Judio Kristen” (negara Yahudi dan Kristen). Bahkan sebagian warga Amerika “Kristen radikal” (Evangelicals misalnya) mengakuinya sebagai negara Kristen. Yang terakhir inilah yang menjadi embrio kebencian kepada non Kristen, termasuk Yahudi dan Muslim.
Oleh : Imam Shamsi Ali*
JERNIH– Saya pribadi harus mengakui bahwa kerja-kerja interfaith saya banyak terjadi, bahkan sesungguhnya banyak belajar dari kehidupan interfaith di Amerika. Saya terlahir di negara Muslim terbesar dunia, Indonesia. Sejak kecil mengenyam pendidikan di pesantren. Tentu dapat dibayangkan bahwa interaksi saya dengan non-Muslim hampir zero.
Setamat dari pesantren saya melanjutkan studi Islam dì Islamabad, Pakistan, sebuah negara yang pemahaman agamanya dikenal cukup keras. Apalagi itu terjadi di saat perang Afghanistan melawan Uni Soviet bergejolak. Dengan sendirinya mindset saya tentang non-Muslim sangat prejudicial ketika itu.
Saya kemudian tinggal di Saudi Arabia sebagai pengajar di sebuah institusi Islam di bawah Kementerian Wakaf dan Haji. Kantor ini dibawahi langsung Kantor Dakwah dan Penerangan Islam (ad-da’wah wal Irsyad) yang saat itu diketua Sheikh Abdullah bin Baz, mufti besar Saudi Arabia saat itu.
Dari jejak perjalanan itu tentu dapat menggambarkan wawasan saya tentang Islam dan juga dunia global, khususnya dunia Barat yang memang dianggap kurang bersahabat ke Islam, dipenuhi kecurigaan bahkan ketidaksenangan. Dengan semua itu untuk saya aktif di kegiatan antaragama di kemudian hari memerlukan proses transformasi atau perubahan mendasar.
Ini pulalah salah satu hal yang saya harus akui. Di Amerikalah transformasi wawasan keagamaan dan dunia (lingkungan sekitar) itu terjadi.
Interfaith dan Amerika
Sejak berdirinya Amerika telah ditakdirkan untuk menjadi negara yang multi ras, etnik, budaya dan agama. Di negara inilah semua manusia dengan latar belakang yang sangat ragam menyatu dalam kesatuan Amerika (United States of America).
Hanya saja kesalahan sejarah itu bisa saja terjadi di mana-mana. Amerika selama ini seringkali dikenal oleh sebagian sebagai negara “Judio Kristen” (negara Yahudi dan Kristen). Bahkan sebagian warga Amerika “Kristen radikal” (Evangelicals misalnya) mengakuinya sebagai negara Kristen. Yang terakhir inilah yang menjadi embrio kebencian kepada non Kristen, termasuk Yahudi dan Muslim.
Interaksi antar agama di Amerika bukan cerita baru. Sejak lama hubungan komunitas Muslim dengan tetangga-tetangganya sudah mulai terbangun. Akan tetapi hubungan itu hanya sebatas hubungan keseharian yang tidak dirancang dengan sengaja dan tidak secara sistimatis. Akibatnya masih terlalu banyak non-Muslim yang salah paham, curiga, takut bahkan benci dengan keberadaan komunitas Islam di Amerika.
Pada saat yang sama masyarakat Amerika di bombardir oleh informasi-informasi yang salah tentang Islam dan komunitas Muslim. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah bahwa Islam itu adalah ajaran yang membenci orang lain. Belakangan Donald Trump mengekspresikan itu dengan “they hate us”. Bahkan di zamannya tagar “they hate us” menjadi trending.
Dari kesalahpahaman jika Islam adalah agama kebencian, melahirkan di kemudian hari pemahaman bahwa Islam adalah inspirasi teror. Maka Islam kemudian dipersepsikan sebagai agama terorisme. Berbagai peristiwa terorisme dunia dianggap jika Islam adalah ideologinya.
Puncak kesalah pahaman itu terjadi ketika serangan teror melanda Amerika, kota New York khususnya, di tahun 2001. Peristiwa yang dikenal dengan “Nine Eleven” itu seolah menjadi justifikasi bahwa Islam memang adalah agama teror.
Keadaan pasca 9/11 itulah yang kemudian memaksa saya dan tentunya masyarakat Muslim Amerika secara umum memulai dialog antaragama ini secara sungguh-sungguh dan sistematis. Tujuan terutama dari keterlibatan saya ini adalah untuk mengurangi kecurigaan-kecurigaan yang mengantar kepada ketakutan (phobia) dan kebencian kepada Islam dan Komunitas Muslim itu.
Kita mengenal dari hanyak cerita, bagi saya pribadi adalah pengalaman langsung, betapa banyak serangan kepada komunitas Muslim saat itu. Selain serangan fisik, yang sesungguhnya terberat adalah tekanan psikis. Kecurigaan jika Muslim itu berbahaya, musuh, ancaman, menjadikan umat saat itu selalu berada dalam keadaan merasa terawasi.
Komunitas Muslim kemudian tersadarkan bahwa keadaan ini jangan lagi “taken for granted”. Seolah akan berubah dan membaik dengan sendirinya seiring perjalanan masa. Umat ini harus melakukan langkah-langkah untuk mengurangi stigma dan kesalahpahaman itu.
Saya sebagai bahagian dari Umat Muslim Amrika perlu mengambil langkah-langkah kongkrit untuk meng-counter stigma yang terbangun. Dan karenanya saya menghubungi teman saya di Interfaith Center, Timur Yuskaev (saat ini beliau adalah seorang professor di Harford Seminary CT), untuk menginisiasi kegiatan antaragama yang melibatkan Komunitas Muslim dan secara khusus saya pribadi.
Ternyata hal itu mendapat sambutan dari Interfaith center. Tentu mereka memang ingin melihat keterlibatan umat Islam dalam kegiatan ini. Karena selama ini hampir di semua kegiatan interfaith komunitas Muslim masih jarang yang terlibat. Mungkin karena komunitas Muslim sendiri yang merasa tidak perlu. Atau memang pihak lain belum melihat urgensinya bagi komunitas Muslim dilibatkan.
9/11 pintu Interfaith AS
Seperti disebutkan terdahulu, peristiwa 9/11 mengubah tatanan kegiatan interfaith. Sejak itu Komunitas Muslim, saya pribadi, sangat dilibatkan dalam berbagai kegiatan interfaith. Ragam kegiatan interfaith kemudian dilakukan, termasuk yang saya pribadi terlibat di dalamnya secara langsung.
Dua hari setelah peristiwa 9/11 saya diminta oleh Timur Yuskaev dari IC (Interfaith Center of NY) untuk mewakili komunitas Muslim dalam sebuah konferensi pers pimpinan agama-agama New York (Religious leaders response to terror attack). Di sanalah saya mulai kenalan dengan beberapa pastor Kristen, pendeta Katolik, dan rabi Yahudi.
Tapi pertemuan dan perkenalan dengan mereka itu terasa sangat “intimidating” (menekan) batin saya. Karena saat itu saya hadir di saat warga Amerika melihat agama saya (Islam) ini sebagai sumber kejahatan. Seolah saya saat itu mewakili sebuah peristiwa kejahatan kemanusiaan (human crime) yang baru saja menimpa negeri adi daya itu.
Dua hari setelah itu saya kembali diundang menjadi salah satu “accompanying team” dari kalangan tokoh-tokoh agama untuk mendampingi Presiden Bush berkunjung ke Ground Zero. Di sanalah saya semakin intens dan bersemangat membangun rasa percaya diri (self confidence) untuk membangun komunikasi dan relasi dengan pimpinan agama-agama di kota New York.
Lalu beberapa hari kemudian kantor walikota New York (City Hall) mengadakan acara besar di Yankee Stadium. Acara itu disebut “National Prayer for America” (doa Nasional untuk Amerika). Saya kembali diundang untuk mewakili komunitas Muslim untuk membaca doa. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk membaca Al-Quran.
Acara itulah yang semakin memberikan saya pribadi, yang saat itu baru empat tahunan di AS, eksposur yang luas. Saya banyak dikenal oleh tokoh-tokoh Kristen, Katolik, dan juga Yahudi. Dan sejak itu berbagai undangan untuk saya hadir dalam acara Interfaith baik di kota New York, Washington DC, dan kota-kota lain di AS.
Kesempatan menjadi imam di Islamic Center New York di kemudian hari semakin membuka pintu kesempatan itu. Saya bahkan menjadikan interfaith sebagai salah satu program unggulan Islamic Center saat itu. Walaupun program ini di belakang hari mendapat resistensi yang cukup kuat dari komunitas Muslim, khususnya mereka yang berasal dari Timur Tengah.
Acara demi acara di bulan-bulan setelah 9/11 itu semakin membuka mata saya bahwa ternyata dialog antaragama (interfaith) menjadi salah satu kunci yang efektif dalam menjalankan amanah dakwah di AS.
Diundang ke Gedung Putih
Pada bulan-bulan selanjutnya pasca 9/11 itu saya dan Imam E. Pasha dari Harlem mewakili komunitas Muslim New York menjadi bagian dari delegasi tokoh-tokoh agama Amerika yang diundang Presiden Bush ke White House.
Agenda terpenting ketika itu adalah harapan Bush untuk mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh agama untuk menyerang Irak. Walaupun pada akhirnya mayoritas tokoh-tokoh agama menentang serangan militer ke Irak. Alasan terutama tokoh-tokoh agama saat itu karena minimnya bukti keterlibatan Saddam Husain dalam konspirasi serangan 9/11.
Belakangan Bush mengubah justifikasi serangan militernya ke Irak dengan tuduhan senjata kimia (chemical weapon). Alasan ini pun sesungguhnya mendapat resistensi dari sebagian besar tokoh-tokoh agama Amerika.
Di masa pemerintahan GW Bush Jr saya mendapat tiga kali kesempatan untuk bertemu dengan Presiden di Gedung Putih. Selain yang disebutkan di atas kami juga pernah diundang bersama 15 tokoh agama Amerika bertemu Presiden Bush untuk lebih proaktif mendukung Agenda Sustainable Development dan Millennium Goals.
Pada saat yang sama ragam kerja-kerja interfaith pada tataran lokal dengan semua pihak berlanjut dan semakin menjamur. Dari yang bersifat akademik di Universitàs, PBB, hingga ke kerja sama sosial antarkomunitas seperti mengadakan “soup kitchen” untuk homeless di kota New York. Sebuah kolaborasi antara Islamic Center, Jewish Theological Seminary dan Presbytarian Church di Uptown New York.
Lalu bagaimana interfaith dalam konteks dunia global? Apakah interfaith ini sebuah kegiatan lokal karena tuntutan kebutuhan di sebuah tempat? Atau memang telah menjadi kebutuhan dunia Global kita? [Bersambung]
* Presiden Nusantara Foundation