Menunggu Ketegasan Presiden Jokowi
Meski pelanggaran konstitusi dimungkinkan, tetap saja pembatasan kekuasaan dan penghormatan HAM sebagai pilar utama dari prinsip konstitusionalisme harus dilakukan. Namun dalam kaitan wacana yang kini tengah jadi bahan perbincangan, Denny bilang, nyata-nyata merupakan potret pelanggaran konstitusi berjamaah.
JERNIH-Joko Widodo sebagai Kepala Negara, akhirnya buka suara terkait wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatannya selaku Presiden RI. Dia bilang, dirinya bakal mematuhi apapun yang dikatakan Undang-Undang Dasar 1945, termasuk soal isyu yang menghebohkan itu.
“Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi,” kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/3).
Namun, Presiden juga menyatakan kalau adanya wacana penundaan Pemilu tak bisa dilarang. Sebab, ini merupakan bagian dari demokrasi.
“Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi,” ujarnya.
Konstitusi memang sudah dengan tegas mengamanatkan kalau Pemilu harus digelar lima tahun sekali. Begitu juga terkait masa jabatan Presiden, Wapres, anggota DPR, DPD termasuk DPRD. Hal ini, ditegaskan dalam pasal 22E UUD 1945.
Sementara jika merujuk pada pasal 7 UUD 1945, masa jabatan Presiden dan Wakilnya, dibatasi paling banyak dua periode saja. Pakar Hukum Tata Negara Yuzril Ihza Mahendra menilai, jika emilu ditunda, maka penyelenggara negara tak memiliki dasar hukum menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya. Akibatnya, Pemerintahan berjalan ilegal, sebab sudah sangat seharusnya dipilih tiap lima tahun sekali.
“Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya ‘ilegal’ alias ‘tidak sah’ atau ‘tidak legitimate’.” kata Yuzril dalam keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu.
Sementara di lain pihak, Denny Indrayana yang juga Pakar Hukum Tata Negara menilai, dengan mewacanai penundaan Pemilu 2024 saja, sudah masuk ke dalam bentuk pelecehan terhadap konstitusi, dan merupakan perkembangan demokrasi yang memalukan sekaligus membahayakan.
Pada keterangan tertulisnya pada Jumat 25 Februari lalu, dia bilang bahwa di dalam teori ketatanegaraan, pelanggaran atas konstitusi cuma dimungkinkan jika situasi sangat darurat. Alasan yang dipakai pun, harus dalam upaya penyelamatan negara dan melindungi seluruh rakyat.
Meski pelanggaran konstitusi dimungkinkan, tetap saja pembatasan kekuasaan dan penghormatan HAM sebagai pilar utama dari prinsip konstitusionalisme harus dilakukan. Namun dalam kaitan wacana yang kini tengah jadi bahan perbincangan, Denny bilang, nyata-nyata merupakan potret pelanggaran konstitusi berjamaah.
Di lain pihak, Cendikiawan Muslim Azyumardi Azra menanggapi pernyataan yang dikeluarkan Jokowi terkait wacana penundaan Pemilu, masih sangat normatif. Artinya, tidak mencerminkan ketegasan terhadap sejumlah partai politik yang menggulirkan wacana itu.
“Pernyataan Presiden Jokowi (Kompas 5/3/2022) bhw ia ‘taat, tunduk dan patuh pd konstitusi” masih normatif; Tidak cukup tegas menjawab kegaduhan politik 3 parpol yg mengusulkan penundaan Pemilu 14 Feb 2024,” katanya melalui akun Twitter @Prof_Azyumardi, pada Sabtu (5/3).
Padahal, sudah sangat seharusnya Presiden secara eksplisit dan tegas menyatakan menolak usulan penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatannya, termasuk amandemen UUD 1945.[]