Orang Belanda Mengenang Pulau Edam
Tahun 2012 muncul sebuah artikel tentang Pulau Edam di Stadskrant, koran terbitan pemerintah kota. Penulis menggambarkan pulau itu di tahun 1940-an tak ubahnya gundukan tanah sepi, dengan seorang penjaga mercusuar.
Muncul beragam tanggapan. Salah satunya dari seorang mantan serdadu KNIL. Ia menceritakan situasi pulau saat beberapa pekan ditugaskan di salah satu pulau di Kepulauan Seribu itu.
Situs oud-edam.nl, publikasi online milik pemerintah kota Edam, secara khusus menulis tentang mengapa diberi nama Pulau Edam.
Terletak 15 mil laut dari Tanjung Priok, Pulau Edam punya beberapa nama; Pulau Damar Besar dan Resin. Damar dan Resin mengacu pada tumbuhan, dari jenis konifer, yang mengeluarkan getah.
Getah mengering dengan cepat dan mengeras. Penduduk menggunakan damar dan resin untuk bahan pernis, perekat, pelapis makanan, campuran dupa, parfum, dan bahan mentah untuk bahan organik olahan.
Nama Pulau Damar Besar tertera dalam peta, tapi Resin tidak. Masyarakat Kepulauan Seribu lebih suka menyebut Pulau Edam.
Edam adalah kota kecil di Provinsi Noord-Holland, di Belanda. Edam terkenal dengan keju berbentuk bulat, berwarna kuning.
Pada abad ke-17, pelaut-pelaut VOC menggunakan nama-nama Belanda untuk pulau-pulau di Teluk Jakarta. Vader Smid Eyland, kini menjadi Pulau Putri, Cuijper Eyland (Pulau Cipir), Amsterdam Eyland (Ubi), Enkhuizen Eyland (Damar Kecil), Purmerend Eyland (Pulau Sakit), Edam, dan masih banyak lagi.
Alasan para pelaut bermacam-macam. Ada yang sekadar ingin membuat pelayaran lebih indah, dan sebagai kenangan akan kehadiran mereka. Lainnya, ya sekadar memberi nama saja.
Sejak 1615, VOC menggunakan pulau-pulau itu untuk berbagai kepentingan. Pulau Purmerent, misalnya, untuk mengasingkan orang berpenyakit kusta dan pengidap penyakit menular lainnya. Onrust sempat menjadi galangan kapal.
Pulau Edam digunakan untuk gudang dan penggergajian kayu. Orang Eropa yang dihukum kerja paksa akan dikirim ke Pulau Edam, dan diberdayakan sebagai pekerja tanpa upah, alias kerja paksa.
Gubernur Jenderal VOC Johannes Camphuys sempat menguasai pulau ini dan mengelolanya. Ia membangun rumah bergaya Jepang, mengumpulkan berbagai tanaman dan membawa hampir semua jenis hewan dari sekujur Hindia-Belanda ke pulau ini.
Camphuys juga mengumpulkan berbagai jenis kerang yang terdapat di pantai, yang membuat Pulau Edam kedatangan banyak pengunjung. Koleksi kerang Camphuys menjadi daya tarik tersendiri, selain sekitar pulau yang kaya ikan.
Tahun 1690, saat mengakhiri jabatan sebagai gubernur jenderal VOC, Camphuys melepas kepemilikan atas pulau itu. Pulau Edam menjadi milik pemerintah VOC, tapi Camphuys masih bisa menikmati semua propertinya.
Lima tahun setelah pulau itu berpindah kepemilikan, Camphuys meninggal dunia. Setelah VOC bangkrut tahun 1799, dan penjajahan pemerintah Belanda dimulai, Pulau Edam makin ramai.
Tahun 1879 Raja Willem III menginstruksikan pembangunan mercusuar di Pulau Edam untuk menavigasi kapal-kapal yang melewati pulau itu. Vast Licht, nama mercusuar itu, masih berdiri megah setinggi 65 meter dengan 270 anak tangga.
Ada empat makam di Pulau Edam. Salah satunya makam Ratu Syarifah, sosok dibenci masyarakat Banten karena dinobatkan VOC. Ratu Syarifah diasingkan ke Pulau Edam sampai menemui ajal tahun 1751.
Edam menjadi satu dari sedikit nama Belanda yang diberikan untuk sebuah pulau di Kepulauan Seribu yang mungkin akan abadi kendati dalam peta pulau itu bernama Damar Besar.